Scroll untuk membaca artikel
Tasmalinda
Minggu, 31 Januari 2021 | 19:44 WIB
Musir (40) berkopiah hitam saat menghadiri pernikahan penokannya [istimewa] Musir, pelaut OKI selama 46 tahun merantau akhirnya berjumpa keluarga karena facebook.

SuaraSumsel.id - Kisah haru, warga Ogan Komering Ilir (OKI) Sumatera Selatan yang hampir 46 tahun hilang kontak dari keluarganya setelah memutuskan merantau.

Kini, ia pun berhasil berkumpul lagi bersama dengan keluarga berkat bantuan Facebook. Mantan kepala desa (Kades) berhasil menemukannya di media sosial tersebut.

Nama pelaut itu Musin bin Salisin, yang kini menginjak usia.60 tahun.  Warga Desa Jermun Kecamatan Pampangan Kabupaten Ogan Komering Ilir berhasil jumpa keluarga setelah hampir 46 tahun hilang kontak karena merantau.

Bahkan keluarga sempat mengiranya sudah tiada.

Baca Juga: Sumsel Didorong Kembangkan Potensi Wisata Religi, Ini Alasannya

Saat pulang bersama anak dan menantu, Musir melepas rindu sekalian menghadiri undangan pernikahan keponakannya pada Minggu, (31/1/2021) di Desa Jermun Pampangan OKI.

Kisah ini bermula saat, Musir memulai perjalanan perantauannya sejak usia belia.

Akibat himpitan ekonomi Musir yang kala itu baru berusia 14 tahun nekat meninggalkan kampung halaman merantau ke wilayah pantai timur tepatnya di perkampungan nelayan Desa Sungai Pasir, Cengal OKI.

“Sekitar 1975, awalnya bekerja di perkebunan karet lalu ikut melaut jadi nelayan di lautan lepas” kenangnya.

Musir mengungkap kala itu kepergiaanya meninggalkan desa tercinta karena dorongan agar dapat hidup lebih baik. “Hanya 3 tahun di Sungai Pasir, lalu melaut dan tidak pernah pulang” ungkap ia.

Baca Juga: Palembang Dilanda Hujan, Ini Daerah Sumsel Diprakirakan Diguyur Hujan

Terombang-ambing di lautan hingga ditangkap Australian Coast Guard

Petualangan Musir di lautan lepas tak perlu diragukan. Pada 1978, ia bersama beberapa nelayan dengan kapal motor sederhana, berangkat mengarungi Selat Bangka dari perairan OKI, ke arah Lampung menuju Selat Sunda.

Kala itu, kapal yang mereka tumpangai diterpa badai.

Kapal yang berukuran 25 kaki atau 7,6 m itu dipenuhi dengan ikan tangkapan, dan perlengkapan berlayar, seperti bahan bakar, dan umpan.

Setelah beberapa minggu melaut, sebenarnya mereka berencana kembali setelah mendapatkan hasil tangkapan, namun gagal karena terjebak hujan badai.

Di tengah badai mereka harus bertahan. Musir kala muda sempat mabuk laut, muntah-muntah, menjerit dan akhirnya menangis karena takut.

Sedangkan, Sang Nahkoda yang merupakan warga negara asing tetap duduk, mencengkeram kemudi dengan erat. Ia bertekad menavigasi meski badai semakin kuat menerpa hingga akhirnya usaha itu gagal dan mereka terhempas di tengah lautan.

Bayangan kampung halaman datang seketika bersama badai yang mengombang-ambingkan kapal dan tubuhnya.

Saat itu, kenang Musir, peralatan navigasi belum secanggih saat ini.

Melaut hanya mengandalkan nyali dan pengetahuan falak yakni ilmu perbintangan yang dia peroleh dari sekolah rakyat warisan Belanda.

Berbulan-bulan, mereka terombang-ambing di lautan. Bahkan saat pembekalan mulai habis, mereka sempat memakan yang hanya terdapat di laut, yakni ikan mentah dan menadah air hujan untuk minum agar terhindar dari dehidari di lautan.

Pagi itu, kenang Musir setelah semalaman dihempas badai, langit hitam tampak hilang.

Mereka tidak menyadari ke mana kapal kayu berlabuh hingga sekitar pukul 10.00 pagi, sebuah kapal asing mendekati mereka.

"Orang-orang berkulit putih tinggi besar menghardik mereka," kenang ia.

Pertemuan ini pun meninggalkan kesan dan bahasa yang menjadi kendala antar kelompok ini.

"Tak satupun dari kami memahami makian atau pujian yang disampaikan orang berkulit putih, berseragam dengan senjata lengkap itu. Apalagi saya hanya pemuda dusun tamatan sekolah rakyat," akunya.

Musir mengenang saat itu. Mereka sempat di tahan selama dua minggu di daratan yang dia tidak mengetahui nama tempatnya dan hingga akhirnya di datangi tentara Indonesia dan barulah mereka dipulangkan.

Sempat ke Ikan ke Pasar 16 Palembang, namun bisa pulang

Meski sempat tersesat hingga pertabatasan Australia, nyali pelaut Musir tak pernah surut.

Setahun setelah kejadian itu ia kembali mencari kapal nelayan untuk berpetualang. “Kalau ikut kapal nelayan, sudah tidak mau kapal luar negeri. Cari kapal punya orang Indonesia saja biar lebih aman” ujarnya.

Akhirnya ia menemukan kapal tempat bekerja saat itu. Kapalnya cukup besar dengan rute melaut dari Selat Bangka menuju Natuna Kepulauan Riau.

Bekerja di kapal inilah akhirnya membuat Musir menemukan orang tua angkatnya di Tanjung Balai Karimun Kepulauan Riau. Hingga saat ini, ia pun menetap di Kepulauan Riau.

“Di Tanjung Balai sampai sekarang” terangnya.

Musir mengenang sekitar tahun 1984 kapal nelayan yang dia tumpangi pernah berlayar menyusuri Sungai Musi membawa ikan untuk di jual di pasar 16 Palembang.

“Pernah sih, lewat bawah Jembatan Ampera bawa ikan ke Pasar 16, dan sempat ingin pulang kampung namun tidak mengetahui jalannya,” kenangnya.

Setelah peristiwa itu, Musir mengaku tidak pernah lagi menginjakkan kaki ke Sumatera Selatan.

Puluhan tahun dia menetap di Kepulauan Riau hingga bekeluarga.

Kepada anak cucunya, ia selalu bercerita tentang asal-usulnya dan berharap suatu hari dapat mengajak mereka menengok tanah kelahirannya.

Dipertemukan Status Media Sosial

Kepala Desa Jermun Pampangan, Abus Roni Ali adalah orang yang pertama mengetahui keberadaan Musir setelah puluhan tahun menghilang.

Melalui komentar di status media sosial Abus mengenali Musir.

“Awalnya bertanya apa benar Kades Jermun Pampangan OKI, saya jawab iya. Kemudian ia menyebut beberapa nama warga yang saya kenal dan mengatakan bahwa dia (Musir), warga Jermun sekarang di Tanjung Balai,” cerita Abus.

Musir, kata Abus banyak menanyakan tetang keadaan di desa dan mengungkap kerinduannya pada kampung halaman.

Bahkan sebelumnya Musir yang sempat jatuh sakit dan akhirnya bergegas sembuh setelah mendengar kabar dari tanah kelahirannya.

Di masa Pandemi Covid-19 ini beberapa kali dia ingin mudik namun terhalang pandemi, hingga akhirnya dapat pulang dengan mengajak anak dan menantunya.

Baju Setelan yang Tidak Pernah Terpakai

Sebelum merantau dulu cerita Abus, Musir pernah minta dijahitkan baju setelan. Belum selesai jahitan Musir telah pergi meninggalkan dusun.

Oleh keluarganya, baju tersebut disimpan rapi, dibungkus plastik, ditaruh dalam lemari.

Saat dia pulang, Minggu lalu baju tersebut kembali diperlihatkan oleh keluarganya. Kakek yang rentak itu pun tak kuat menahan air matanya.

Di usianya yang senja, Musir bersyukur masih diberi kesempatan menginjakkan kakinya ke tanah kelahiran.

Jika pun, dia harus pulang dalam arti sebenarnya ia merasa ikhlas karena sudah bisa pulang setelah perjalanan yang panjang.

Load More