Detik-Detik Penembakan Lima Petani di Pino Raya, Hari Kerja yang Berubah Menjadi Luka

Lima petani di Pino Raya, Bengkulu Selatan, mengalami luka tembak dalam insiden konflik lahan sawit dengan PT ABS.

Tasmalinda
Senin, 24 November 2025 | 20:07 WIB
Detik-Detik Penembakan Lima Petani di Pino Raya, Hari Kerja yang Berubah Menjadi Luka
kolase detik-detik penembakan petani di Bengkulu selatan
Baca 10 detik
  • Lima petani terluka akibat tembakan di lahan sengketa.

  • Penembakan terjadi setelah bulldozer meratakan tanaman petani.

  • Korban kini dirawat dan keluarga menunggu keadilan.

SuaraSumsel.id - Hari kerja biasa bagi para petani di Desa Kembang Seri, Kecamatan Pino Raya, Bengkulu Selatan, berubah menjadi hari penuh kepanikan dan luka. Lima petani diduga tertembak oleh pihak keamanan perkebunan kelapa sawit milik PT Agro Bengkulu Selatan (ABS) pada Senin, 24 November 2025, setelah terjadi keributan terkait penggunaan alat berat perusahaan di lahan yang masih diperselisihkan statusnya.

Direktur WALHI Bengkulu, Dodi Faisal, menjelaskan bahwa insiden penembakan terjadi ketika warga memergoki perusahaan sedang menggunakan bulldozer untuk menghancurkan tanaman yang selama ini ditanam dan dirawat oleh petani.

“Terjadinya penembakan ini pada saat warga mendapati pihak PT ABS menggunakan bulldozer menghancurkan tanaman milik petani,” ucap Dodi.

Pagi hari sekitar pukul 10.00 WIB, para petani melihat alat berat perusahaan beroperasi di lahan yang mereka klaim sebagai wilayah garapan turun-temurun. Tanaman yang tumbuh di sana diratakan, dan warga menegur pihak perusahaan untuk menghentikan aktivitas tersebut. Namun kondisi tidak mereda.

Sekitar pukul 10.45 WIB, keributan terjadi antara petani dan pihak perusahaan, karena pihak perusahaan diduga bersikeras tidak ingin meninggalkan lokasi. Ketegangan terus meningkat hingga mendekati tengah hari, ketika massa petani mulai mengepung pihak perusahaan untuk menghentikan aktivitas alat berat.

Suasana berubah drastis pada pukul 12.45 WIB. Seorang anggota keamanan perusahaan bernama Ricky diduga menembakkan senjata api ke arah petani. Buyung, salah seorang petani, tersungkur setelah tertembak di bagian dada. Kepanikan langsung menyebar di antara warga yang menyaksikan peristiwa tersebut.

Beberapa menit kemudian, sekitar pukul 13.00 WIB, Ricky dilaporkan berlari sambil kembali menembakkan peluru ke arah belakang. Empat petani lain ikut menjadi korban: Linsurman mengalami luka tembak di bagian dengkul, Edi Hermanto di paha, Santo di bagian rusuk bawah dekat ketiak, dan Suhardin di bagian betis. Suara teriakan minta tolong bergema di antara dahan sawit dan tanah yang berserakan.

Sejumlah warga berusaha menangkap pelaku dan mengamankan senjata yang digunakan, sementara sebagian lainnya membawa korban ke rumah sakit menggunakan mobil bak terbuka pada pukul 13.15 WIB karena tidak ada ambulans yang tersedia di lokasi. Di sepanjang perjalanan, suasana penuh kecemasan dan ketakutan, dengan harapan bahwa para korban masih memiliki kesempatan untuk selamat.

Di ruang perawatan rumah sakit, keluarga korban hanya dapat menunggu kabar dengan perasaan campur aduk. Istri Buyung memegang pakaian suaminya yang berlumuran noda tanah dan darah. “Dia pergi hanya untuk menjaga tanaman. Tidak pernah terbayang saya menunggu di sini karena peluru,” katanya pelan.

Konflik lahan antara warga Pino Raya dan PT ABS telah berlangsung selama lebih dari satu dekade. Perselisihan terkait penguasaan sekitar 2.950 hektare lahan belum menemukan titik penyelesaian, dan insiden hari ini semakin memperjelas urgensi penanganan konflik agraria secara adil dan terbuka.

WALHI dan warga meminta penegakan hukum yang tegas dan transparan. Mereka mendesak Polda Bengkulu untuk mengusut kasus ini sampai tuntas serta meminta Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan Kompolnas melakukan investigasi independen terhadap kejadian tersebut.

Pihak PT ABS belum memberikan keterangan resmi mengenai insiden penembakan tersebut. Aparat kepolisian disebut telah mengamankan terduga pelaku untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Di tengah trauma yang membekas, warga Pino Raya berharap tidak ada lagi nyawa atau darah yang harus menjadi harga dari tanah yang mereka rawat setiap hari.

“Yang kami inginkan hanya bekerja dan pulang dengan tenang. Tanah ini tempat kami hidup, bukan tempat kami terluka,” ujar salah satu keluarga korban.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini

Tampilkan lebih banyak