-
Kasus perundungan pelajar SMP di Muratara menimbulkan keprihatinan karena pihak sekolah memilih menyelesaikannya melalui prosesi adat tepung tawar.
-
Masyarakat menilai perdamaian adat tidak sebanding dengan luka yang dialami korban dan menuntut adanya tindakan tegas serta transparansi dari pihak berwenang.
-
Dinas Pendidikan Muratara berkomitmen melakukan evaluasi dan pembinaan agar penyelesaian kasus serupa ke depan lebih adil dan berorientasi pada perlindungan anak.
SuaraSumsel.id - Kasus perundungan pelajar di SMP Negeri Karang Jaya, Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara), menuai sorotan luas setelah pihak sekolah menyelesaikan insiden tersebut melalui prosesi adat tepung tawar.
Masyarakat menilai langkah itu tidak cukup memberi efek jera dan berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap upaya penegakan disiplin di lingkungan pendidikan.
Peristiwa perundungan terjadi pada Rabu, 15 Oktober 2025 sekitar pukul 13.30 WIB, di kawasan Kelurahan Karang Jaya. Korban berinisial CR (15), siswa kelas IX.4 asal Desa Embacang Baru Ilir, menjadi sasaran tindakan kekerasan oleh pelaku berinisial HR (14), siswa kelas VIII.5 di sekolah yang sama.
Video berdurasi empat menit yang memperlihatkan korban menangis dan pelaku tertawa sambil menendang motor korban, tersebar luas di media sosial pada Kamis malam, 16 Oktober 2025.
Unggahan tersebut memancing reaksi keras masyarakat Muratara dan warganet dari berbagai daerah.
Baca Juga:Gara-Gara Salah Kirim Stiker WhatsApp, Siswa SMP di Muratara Dirundung Teman Sekelas
Menindaklanjuti insiden tersebut, pihak sekolah memanggil orang tua dari kedua siswa dan menggelar mediasi pada Kamis siang, 16 Oktober 2025, sehari setelah kejadian.
Dalam mediasi, kedua pihak sepakat berdamai melalui prosesi adat tepung tawar sebagai simbol penyucian dan perdamaian.
Namun, setelah video kekerasan beredar luas di TikTok dan Facebook, publik menilai penyelesaian dengan cara adat tidak sepadan dengan bentuk kekerasan yang terjadi.
“Perdamaian adat tidak bisa menggantikan tanggung jawab moral dan hukum. Anak-anak harus diajarkan bahwa kekerasan tetap salah,” ujar salah satu warga Karang Jaya melalui media sosial.
Tagar #KeadilanUntukCR pun ramai digunakan, menandakan tuntutan masyarakat agar pemerintah daerah dan aparat penegak hukum turun tangan secara tegas.
Menanggapi hal ini, Kepala Dinas Pendidikan Muratara, Zazili S.Sos, menyampaikan bahwa pihaknya telah memanggil seluruh pihak yang terlibat, termasuk kepala sekolah, guru, dan orang tua siswa.
Dinas juga akan melakukan evaluasi terhadap penerapan penyelesaian kasus di lingkungan pendidikan agar ke depan tidak ada lagi praktik yang menimbulkan kontroversi publik.
Baca Juga:Lulusan Tambang dan Perminyakan Masih Diburu? Ini Peluang Karier di Sumsel 2027
“Kami menghargai nilai-nilai adat yang hidup di masyarakat, namun setiap tindakan kekerasan di sekolah harus ditangani secara edukatif dan transparan,” tegas Zazili.
“Kami juga telah meminta sekolah memberikan pendampingan psikologis bagi korban serta pembinaan karakter untuk pelaku.”
Gelombang komentar di media sosial terus meningkat. Banyak masyarakat meminta agar Kapolres Muratara dan Unit PPA Polres turut meninjau kasus ini untuk memastikan perlindungan terhadap korban.
Sejumlah aktivis pendidikan dan psikolog anak di Palembang menilai bahwa penyelesaian secara adat tidak boleh menggantikan proses pembinaan dan penegakan aturan di lingkungan sekolah.
Mereka menekankan pentingnya pendidikan karakter, empati, dan disiplin hukum sejak dini.
“Tindakan kekerasan, meski antar siswa, tetap harus menjadi evaluasi besar. Sekolah adalah tempat mendidik, bukan tempat melukai,” ujar Retno Wahyuning, psikolog anak dari Palembang.
Pemerintah Kabupaten Musi Rawas Utara melalui Dinas Pendidikan menegaskan komitmennya untuk menjadikan sekolah sebagai ruang aman, bebas kekerasan, dan berkeadilan bagi seluruh siswa.
Kasus perundungan di SMP Negeri Karang Jaya menjadi pengingat penting bahwa nilai adat dan hukum harus berjalan beriringan untuk membentuk karakter generasi muda yang berempati dan bertanggung jawab.