-
Dunia parfum kini memasuki era baru di mana aroma tidak lagi dibatasi oleh label pria atau wanita.
-
Pergeseran menuju parfum genderless dipicu oleh cara pandang Gen Z, kejenuhan terhadap stereotip, dan kekuatan komunitas digital.
-
Parfum genderless menggabungkan aroma maskulin dan feminin menjadi wangi yang netral dan personal.
SuaraSumsel.id - Coba perhatikan lorong parfum di department store mana pun. Selama puluhan tahun, pemandangannya selalu sama yakni satu sisi dihiasi botol-botol ramping berwarna pink dengan aroma bunga dan buah, diberi label 'For Her'.
Sisi lainnya dipenuhi botol-botol gelap berbentuk tegas dengan aroma kayu dan rempah, diberi label 'For Him'. Sebuah pemisahan yang kaku, seolah tak bisa diganggu gugat. Tapi kini, tembok pemisah itu mulai retak dan runtuh.
Mereka tidak lagi bertanya, "Apakah ini parfum untuk pria atau wanita?". Mereka bertanya, "Apakah aku suka wangi ini?". Selamat datang di era parfum genderless. Ini bukan lagi sekadar tren *niche*, melainkan sebuah pergeseran fundamental dalam cara kita memandang identitas dan aroma.
Batasan yang dulu jelas kini menjadi kabur. Tapi, mengapa?
Baca Juga:Wangi Pelukan! 5 Parfum Hangat Ini Bikin Nyaman Saat Musim Hujan
![Ilustrasi parfum wanita yang cocok dipakai kencan bareng pacar. [google ai studio]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/09/25/75555-parfum-wanita.jpg)
Di Balik Kaburnya Batasan: 4 Pilar Revolusi Wangi
Runtuhnya stereotip gender dalam parfum bukanlah kebetulan. Ini didorong oleh empat kekuatan budaya yang kuat.
1. Fluiditas Identitas Gen Z
Penyebab utamanya adalah cara Gen Z memandang dunia. Bagi mereka, gender bukanlah sebuah kotak biner yang kaku, melainkan sebuah spektrum yang cair. Mereka merayakan ekspresi diri yang otentik di atas segalanya. Jika mereka bisa memakai pakaian *oversized* yang *gender-fluid*, mengapa parfum mereka harus terikat pada aturan usang? Parfum kini menjadi perpanjangan dari identitas personal, bukan penanda gender.
2. Bangkitnya Seni Parfum 'Niche'
Baca Juga:Review Onix Mexicola: Parfum Viral yang Wanginya Bikin Auto Nengok
Rumah parfum *niche* (seperti Le Labo, Byredo, atau Diptyque) telah menjadi pemain utama dalam perubahan ini. Tidak seperti merek desainer massal, mereka tidak menjual parfum berdasarkan target pasar pria/wanita.
Mereka menjual **seni, cerita, dan pengalaman olfaktori**. Fokusnya adalah pada keunikan bahan baku dan visi sang *perfumer*. Mereka merilis aroma "Oud & Rose" atau "Santal & Cardamom" dan membiarkan konsumen yang memutuskan siapa yang pantas memakainya.
3. Kejenuhan Terhadap Marketing Stereotip** Audiens modern, terutama Gen Z, sangat cerdas dan kritis terhadap iklan. Mereka lelah dengan marketing yang mengatakan "wanita harus wangi bunga agar feminin" atau "pria harus wangi kayu agar maskulin".
Stereotip ini terasa kuno dan tidak relevan. Mereka lebih menghargai merek yang jujur, transparan, dan fokus pada kualitas produknya, bukan pada label gender yang dipaksakan.
4. Kekuatan Komunitas Digital
Platform seperti TikTok, YouTube, dan forum Fragrantica telah menjadi ruang di mana batasan ini dihancurkan setiap hari. Kamu bisa menemukan pria yang dengan antusias me-review parfum mawar, atau wanita yang menjadikan parfum aroma tembakau sebagai *signature scent*-nya.