-
Penolakan keras terhadap program Makan Bergizi Gratis (MBG) datang dari sekolah elite Al Izzah. Para wali murid menilai program ini menimbulkan stigma “anak miskin”, sehingga mereka khawatir anak-anaknya merasa direndahkan meski tujuan pemerintah sebenarnya adalah kesehatan dan gizi untuk semua.
-
Curhatan seorang wali murid yang viral mengungkap anaknya mempertanyakan status ekonomi keluarga setelah mendengar akan mendapat MBG. Kasus ini memperlihatkan jurang persepsi: bagi sebagian kalangan atas, “gratis” identik dengan “tidak mampu”.
-
Dengan latar belakang orang tua yang mayoritas berpenghasilan tinggi, kasus Al Izzah menunjukkan tantangan besar pemerintah dalam membingkai MBG. Narasi “makan gratis” dianggap gagal menjangkau konteks sosial sekolah elite, sehingga menuai kritik sekaligus membuka diskusi soal stigma sosial dalam kebijakan publik.
SuaraSumsel.id - Sebuah penolakan keras yang tak terduga terhadap program Makan Bergizi Gratis (MBG) datang dari salah satu sekolah islam ternama dan elite, Al Izzah.
Para wali murid di sekolah tersebut secara terang-terangan menolak program unggulan pemerintah ini, bukan karena kualitas makanannya, melainkan karena sebuah alasan yang menohok yakni mereka merasa program ini adalah untuk siswa kurang mampu, dan mereka tidak mau anak-anaknya dicap miskin.
Kegeraman ini memuncak dalam sebuah pengakuan viral dari salah seorang wali murid, yang menceritakan bagaimana anaknya sendiri mempertanyakan status ekonomi keluarga mereka setelah mendengar akan mendapat makan gratis.
Kisah ini sontak membongkar jurang persepsi antara tujuan pemerintah dengan realitas stigma sosial di kalangan atas.
Baca Juga:Program Makan Bergizi Gratis di Lubuklinggau Viral, Buah Naga untuk Siswa Ditemukan Berulat
Merasa Kita Gak Mampu Ya?
Puncak dari penolakan ini terangkum dalam sebuah curahan hati seorang ibu yang viral di media sosial. Ia menceritakan bagaimana anaknya, yang terbiasa hidup berkecukupan, pulang ke rumah dengan sebuah pertanyaan polos yang menyayat hati.
Anak saya aja bilang, 'Bunda, Bunda, merasa kita ga mampu ya sampai harus makan MBG?' ungkap sang wali murid.
Pertanyaan ini adalah tamparan keras. Ia menunjukkan bagaimana sebuah program yang bertujuan baik justru bisa menciptakan stigma dan kebingungan di benak anak-anak. Bagi mereka, "gratis" secara otomatis diasosiasikan dengan "tidak mampu", sebuah label yang tidak ingin mereka sandang di lingkungan pergaulan mereka.
Realitas Al Izzah: Supir Pribadi 3 Juta, Mobilnya Pajero & Fortuner
Baca Juga:Viral Pelajar SMP Palembang Keluhkan Menu MBG Nasi Lauk Pempek: Dak Maju!
Untuk memberikan konteks mengapa penolakan ini begitu kuat, sang wali murid membeberkan realitas ekonomi di lingkungan sekolah tersebut. Ini bukanlah sekolah biasa.
Sebagian besar anak sekolah di sini supirnya satu-satu biayanya 3 Juta, mobil orangtua juga rata-rata Pajero Fortuner,"jelasnya. Dengan latar belakang ekonomi seperti ini, para orang tua merasa program MBG tidak hanya salah sasaran, tetapi juga berpotensi merusak psikologis anak-anak mereka.
Mereka khawatir anak-anak akan menjadi bahan olok-olok atau merasa rendah diri karena menerima sesuatu yang mereka anggap sebagai "bantuan untuk orang miskin".
Kasus Al Izzah ini membongkar masalah yang lebih besar dari sekadar arogansi orang kaya. Ini adalah soal mengenai stigma sosial.
Banyak program bantuan pemerintah di Indonesia secara historis memang ditujukan untuk masyarakat miskin. Stigma ini begitu kuat melekat sehingga program universal seperti MBG pun ikut bagian.
Pemerintah mungkin gagal membingkai program MBG sebagai program kesehatan dan gizi untuk semua anak bangsa, bukan sebagai program bantuan sosial. Narasi yang sampai ke publik adalah "makan gratis", bukan "makan sehat bersama".
Menerapkan kebijakan yang sama rata untuk sekolah elite dengan fasilitas kantin premium dan sekolah di daerah terpencil jelas menimbulkan masalah.
Sebuah program, sebaik apapun tujuannya, akan gagal jika ia tidak mempertimbangkan konteks sosial, budaya, dan psikologis dari masyarakat yang menjadi sasarannya.
Menurut Anda, apakah penolakan dari para wali murid ini adalah bentuk arogansi, atau sebuah kritik yang valid terhadap cara pemerintah menerapkan kebijakan?
Sampaikan analisis Anda di kolom komentar.