SuaraSumsel.id - Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sumatera Selatan melaporkan penurunan tingkat kemiskinan pada Maret 2025. Namun, benarkah kondisi kesejahteraan masyarakat Sumatera Selatan benar-benar membaik?
Mari kita bedah satu per satu data yang disajikan, dari distribusi pengeluaran, rasio gini, hingga profil kemiskinan secara detail.
Penurunan Kemiskinan: Fakta atau Sekadar Angka?
Menurut BPS, persentase penduduk miskin di Sumsel pada Maret 2025 mencapai 10,15 persen, menurun 0,36 persen poin dibandingkan September 2024 (10,51 persen).
Baca Juga:Bangkit, Meski Letih: Buku Baru Vebby Vretania Menginspirasi Perempuan Tetap Melaju
"Memang alami penurunan," ujar Kepala BPS Sumsel, Wahyu Yulianto.
Dalam jumlah absolut, ini berarti 29,2 ribu orang berhasil keluar dari garis kemiskinan, dengan total penduduk miskin kini sebesar 919,60 ribu orang.
Namun, apakah ini mencerminkan perbaikan nyata dalam kualitas hidup?

Meski angka kemiskinan di Sumatera Selatan tercatat menurun, potret distribusi pengeluaran justru membuka realitas yang tak kalah mencemaskan yakni ketimpangan masih lebar menganga.
Kelompok 40 persen penduduk terbawah hanya mampu menikmati 21,27 persen dari total pengeluaran, sementara 20 persen penduduk teratas menggenggam porsi hampir dua kali lipatnya, yakni 39,41 persen.
Baca Juga:Sumsel Sepekan: OTT Puluhan Kades & Anak Wali Kota Ditolak RS, Ini Rangkaian Kejadiannya
Di antara keduanya, kelompok menengah berbagi 39,33 persen.
Secara teknis, Bank Dunia masih mengkategorikan ketimpangan ini sebagai “relatif rendah”, karena kelompok terbawah menguasai lebih dari 17 persen.
Namun dalam praktiknya, kesenjangan antar lapisan tetap nyata terasa—bahwa sebagian besar kekayaan masih berputar di tangan segelintir orang.

Yang patut dicermati: garis kemiskinan juga naik. Maret 2025, garis kemiskinan Sumsel adalah Rp581.702 per kapita/bulan, naik 3,05 persen dari sebelumnya.
Untuk satu rumah tangga miskin, ambang minimumnya kini di kisaran Rp2.838.706 per bulan, dengan rata-rata 4,88 anggota keluarga.
Ini menunjukkan bahwa meskipun jumlah penduduk miskin menurun, standar kelayakan hidup pun meningkat, yang bisa menutupi gambaran sesungguhnya soal daya beli dan tekanan ekonomi riil masyarakat.
Indikator ketimpangan pengeluaran di Sumatera Selatan menunjukkan sinyal positif: Gini Ratio turun dari 0,331 pada September 2024 menjadi 0,311 pada Maret 2025.

Sekilas, ini memberi harapan bahwa kesenjangan sosial-ekonomi mulai mengecil. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, ketimpangan ternyata masih menancap kuat di wilayah perkotaan.
Gini Ratio di kota tercatat mencapai 0,370—jauh lebih timpang dibanding perdesaan yang hanya 0,224. Ini mengisyaratkan bahwa meskipun secara rata-rata ketimpangan menurun, ketimpangan di kota-kota justru lebih tajam.
Kekayaan dan daya beli lebih terkonsentrasi pada segelintir orang, sementara kelompok lain harus berjibaku di tengah tingginya biaya hidup urban.

Turun Secara Statistik, Tapi Ketimpangan Masih Menganga
Secara statistik, benar bahwa angka kemiskinan di Sumatera Selatan menurun. Tapi data juga menunjukkan bahwa ketimpangan antar kelompok masih lebar, kota mengalami kesenjangan lebih tinggi dibanding desa.
Kebutuhan minimum (garis kemiskinan) terus naik, menandakan tekanan hidup yang lebih besar.
Dengan demikian, penurunan ini patut diapresiasi sebagai langkah maju, namun belum cukup sebagai indikasi bahwa masalah kemiskinan telah selesai.
Tantangan berikutnya adalah mengatasi ketimpangan dan meningkatkan kualitas hidup secara merata.