Tunggu Tubang bukanlah tembok.
Ia adalah pelita. Dari generasi ke generasi, ia membimbing langkah anak cucu untuk tak melupakan dari mana mereka berasal. Dalam diam, dalam adat, Semende tetap berdiri.
Menikah, adalah salah satu syarat orang Semende dianggap sah untuk menyandang status sebagai Tunggu Tubang.
Eliana anak tengah. Awalnya, ia bukanlah Tunggu Tubang, yang mendapatkan pusaka berupa rumah, sawah, dan kebun.
Baca Juga:Modus Oknum Bhayangkari di Sumsel Janjikan Lulus Bintara, Ternyata Peras Rp1,6 Miliar
Dalam budaya Suku Semende, anak tertua perempuan atau laki-laki (jika sebuah keluarga .dak memiliki anak perempuan) akan dijadikan Tunggu Tubang. Mereka akan mengelola pusaka berupa rumah, sawah, dan kebun, untuk kepen.ngan keluarga. Pusaka tersebut .dak boleh diperjualbelikan, dan akan diwariskan ke generasi berikutnya. Fungsinya, sebagai kedaulatan pangan dan ekonomi bagi keluarga.
“Kami percaya Tunggu Tubang .dak akan pernah tumbang karena anak tengah dan anak bungsu yang .dak mendapat pusaka keluarga, tetap bisa dan mau membuka Tunggu Tubang baru,” kata Hasan Zen, salah satu tokoh adat di Desa Muara Tenang.
“Semende masih ada juga karena masih bertahannya Tunggu Tubang,” lanjut Hasan Zen.
Saat ini, semua wilayah adat awal Suku Semende dibagi .ga kecamatan; Semende Darat Ulu, Semende Darat Tengah, dan Semende Darat Laut, yang masuk Kabupaten Muara Enim.
Selama ratusan tahun, wilayah adat tersebut tetap bertahan. Tidak terjual atau tergusur oleh kelompok masyarakat lain, termasuk para pelaku usaha. Bahkan, beberapa rumah panggung kayu yang berusia ratusan tahun masih bertahan.
Baca Juga:Tips Hadapi Listrik Padam 5 Jam di Sumsel Akhir Pekan Ini, Nomor 4 Jarang Diketahui
Dengan sistem adat Tunggu Tubang, maka wilayah adat Suku Semende di Muara Enim adalah gabungan Semende Darat Ulu, Semende Darat Tengah, dan Semende Darat Laut, seluas 99.802 hektar.
Dari luasan tersebut, sekitar 15.640 hektar merupakan perkebunan kopi, yang menjadi sumber ekonomi utama Suku Semende. Sementara sawah sebagai sumber pangan, luasnya mencapai 3.650 hektar.
Dari tradisi yang dapat melahirkan Tunggu Tubang baru, maka wilayah adat Suku Semende yang semula hanya di lembah perbukitan Gunung Patah di Kabupaten Muara Enim, meluas ke Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan (OKUS), hingga wilayah Lampung dan Bengkulu.
Di Kabupaten OKUS, Suku Semende mengembangkan Marga Muara Saung dan Marga Pulau Beringin. Di Bengkulu, terdapat Marga Semende Ulu Nasal dan Marga Semende Pajarbulan Seginim. Sementara di Lampung, antara lain Marga Semende Wai Tenung, Marga Semende Wai Sepu.h,
Marga Semende Kasui, Marga Semende Pughung, dan Marga Semende Ulak Rengas. Sama seper. Suku Semende di Kabupaten Muara Enim, mereka yang menyebar tersebut juga menjalankan sistem adat Tunggu Tubang. Puluhan ribu hektar wilayah permukiman, persawahan, dan perkebunan menjadi harta pusaka keluarga, yang .dak dapat diperjualbelikan.
Karena diamanahkan untuk mengelola pusaka keluarga; sawah, rumah, kebun, dan tebat, sosok Tunggu Tubang harus punya banyak pengetahuan serta kearifan untuk memas.kan keberlanjutan pusaka yang dikelolanya bersama dengan keluarga.