SuaraSumsel.id - Ambruknya jembatan di Desa Muara Lawai, Kecamatan Merapi Timur, Kabupaten Lahat pada Minggu (29/06) malam bukan hanya bencana infrastruktur biasa.
Peristiwa ini kembali membuka luka lama soal penggunaan jalan umum oleh truk-truk angkutan batu bara bertonase besar, yang terus melintas tanpa pengawasan ketat, bukan di jalur khusus seperti yang diamanatkan berbagai kebijakan pemerintah.
Jembatan yang runtuh pukul 23.10 WIB, Minggu (29/6/2025), itu menjadi penghubung vital antara Kabupaten Lahat dan Muaraenim, sekaligus bagian dari Jalur Lintas Sumatera, yang kini lumpuh total.
Empat truk yang dilaporkan ikut terjun ke dalam reruntuhan diduga merupakan kendaraan angkutan berat—sejenis truk tambang—yang setiap hari hilir-mudik melintasi jembatan tua tersebut.
Baca Juga:Aroma Kopi Sumsel Menyebrangi Pulau: Dari Toko Kecil ke Cangkir Nusantara Bersama JNE
Beban Bertonase Besar, Jembatan Tua Dipaksa Bertahan
Jembatan yang ambruk merupakan struktur lama yang masih digunakan karena jembatan baru yang dibangun di lokasi yang sama sedang dalam tahap renovasi lantai.
Akibatnya, semua kendaraan—termasuk truk bertonase besar—dialihkan ke jembatan lama yang jelas tak lagi memenuhi standar daya dukung beban tinggi.
“Jembatan itu tiap hari dilintasi truk batu bara. Goyangannya terasa kalau satu saja lewat, apalagi empat truk sekaligus. Ini bukan soal teknis semata, tapi juga pembiaran,” ujar Rahmat, warga Merapi Timur.
Padahal, dalam regulasi yang ditegaskan sejak 2022, angkutan batu bara diwajibkan menggunakan jalur khusus untuk meminimalkan kerusakan jalan umum dan dampak lingkungan.
Baca Juga:Diterpa Sumsel United, Suporter Sriwijaya FC Tetap Padati Latihan Perdana
Namun, pelaksanaan kebijakan itu sering kali macet di lapangan, dan kendaraan tambang tetap melaju di jalur nasional.
Infrastruktur Nasional Rusak, Publik Tanggung Biaya
Dampak dari ambruknya jembatan bukan hanya kemacetan total.
Rel kereta api yang berada tepat di bawahnya ikut tertimpa reruntuhan, berpotensi menghentikan aktivitas kereta penumpang dan logistik yang melewati jalur tersebut.
Sementara itu, arus kendaraan dari kedua arah Lahat–Muaraenim dialihkan secara manual dan tidak semua kendaraan bisa melalui jalur alternatif yang ada.
“Ini tidak hanya merugikan negara dari sisi infrastruktur, tapi juga publik sebagai pengguna jalan dan kereta api. Siapa yang akan mengganti semua ini?” ungkap Dian, aktivis pemerhati transportasi Sumsel.
Meski berbagai aturan dan surat edaran dikeluarkan, hingga hari ini jalur khusus untuk angkutan batu bara di Sumatera Selatan masih belum berfungsi optimal.
Truk-truk tambang tetap melintas di jalur publik tanpa kontrol maksimal, dan aparat penegak hukum kerap abai atau kalah oleh tekanan ekonomi dan politik.
Pemerintah daerah dan provinsi belum juga memberikan pernyataan resmi, padahal peristiwa ini bukan hanya kerusakan fisik, tapi simbol dari gagalnya pengawasan dan tata kelola infrastruktur di jalur strategis negara.
Siapa Bertanggung Jawab?
Saat jalan nasional berubah jadi “koridor batu bara” dan jembatan tua dipaksa memikul beban tambang tanpa penguatan, maka yang runtuh bukan sekadar struktur baja dan beton—tapi juga kepercayaan masyarakat pada perlindungan negara terhadap keselamatan publik.
Warga sekitar kini hanya bisa menunggu. Sampai Senin (30/6/2025) terjadi, jalur Lahat–Muaraenim tetap lumpuh, dan tragedi ini akan terus menjadi pengingat bahwa pembiaran bisa lebih mematikan daripada bencana itu sendiri.