SuaraSumsel.id - Tanggal 1 Muharram tak sekadar penanda pergantian kalender Hijriah.
Di Sumatera Selatan, khususnya Kota Palembang dan beberapa kabupaten/kota lain seperti Ogan Ilir, Lahat, hingga OKU Timur, 1 Muharram menjadi momentum spiritual yang dirayakan dengan penuh kekhidmatan melalui berbagai tradisi turun-temurun.
Dibalut dalam semangat hijrah, warga Sumsel menyambut tahun baru Islam dengan tradisi-tradisi unik yang bukan hanya mempererat tali ukhuwah, tapi juga menguatkan kesadaran kolektif untuk kembali pada nilai-nilai kebaikan dan introspeksi diri.
Pawai Obor, Simbol Terang dalam Hijrah
Baca Juga:Gerakan Sultan Muda Sumsel Menyebar ke 5 Daerah, UMKM Lokal Kini Punya Akses KUR dan BPJS
Salah satu tradisi paling semarak adalah pawai obor yang digelar pada malam pergantian tahun Hijriah. Di Palembang, ribuan warga – mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang tua – memadati jalan-jalan utama sambil membawa obor bambu yang menyala terang.
Peserta biasanya berasal dari santri TPQ, sekolah-sekolah Islam, hingga majelis taklim.
Pawai diiringi shalawat, bendera tauhid, dan kadang juga diisi dengan tabuhan hadrah dan rebana. Suasana religius terasa kental, apalagi saat pembacaan doa awal tahun dilakukan bersama sebelum pawai berakhir.
Tradisi ini bukan hanya tontonan, tapi menjadi pengingat simbolis bahwa hijrah adalah meninggalkan kegelapan menuju cahaya.
.Minum Susu Putih: Simbol Awal yang Bersih
Baca Juga:Sumsel Tetapkan Status Siaga Karhutla, Apa Bisa Atasi Asap di Musim Kemarau Ini?
Di beberapa kampung tua di Palembang dan sekitarnya, terutama yang masih mempertahankan adat Melayu-Islam, masyarakat punya tradisi minum susu putih saat malam 1 Muharram.
Tradisi ini konon dibawa dari ajaran ulama besar Makkah, Abuya Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki, dan berkembang melalui jalur tarekat.

Minum susu putih menjadi simbol menyambut tahun baru dengan jiwa bersih, hati yang suci, serta niat baru yang tulus.
Doa Bersama dan Zikir Akbar
Masjid-masjid besar di Palembang seperti Masjid Agung SMB I, Masjid Taqwa Kenten, dan Masjid Cheng Ho rutin menggelar doa akhir dan awal tahun secara berjamaah. Bahkan beberapa masjid menyelenggarakan zikir akbar dan pengajian refleksi hijrah yang dihadiri ratusan jamaah.
Tak jarang, kegiatan ini dilanjutkan dengan tausiyah dari ulama lokal mengenai makna hijrah kontemporer, pentingnya memulai tahun dengan niat baik, serta evaluasi diri.
Beberapa pesantren seperti Al-Ittifaqiah Indralaya juga menjadikan malam 1 Muharram sebagai ajang "muhasabah akbar" untuk santri dan alumni. Mereka menyusun target ibadah dan pembinaan diri selama setahun ke depan.
Tradisi Ziarah ke Makam Wali dan Ulama
Warga Palembang juga memiliki kebiasaan ziarah ke kompleks makam Kawah Tengkurep, tempat dimakamkannya para Sultan Palembang Darussalam.
Ziarah ini dilakukan bukan untuk meminta sesuatu dari makam, tapi sebagai bentuk penghormatan atas perjuangan mereka menyebarkan Islam.
Tradisi-tradisi ini menunjukkan bahwa di Sumatera Selatan, tahun baru Islam disambut bukan dengan hura-hura atau pesta kembang api, tapi dengan nuansa spiritual yang dalam.
Menggabungkan nilai religius, budaya lokal, dan ajaran Islam klasik, masyarakat Sumsel menjaga warisan ini tetap hidup dan relevan bagi generasi muda.
Melalui pawai obor, minum susu putih, doa bersama, dan ziarah, 1 Muharram di Palembang bukan sekadar libur nasional, tapi momentum spiritual renewal—pembaharuan jiwa, niat, dan tekad untuk menjadi pribadi yang lebih baik di hadapan Allah SWT.