SuaraSumsel.id - Matahari hampir tepat di atas kepala saat deretan kursi mulai dipenuhi oleh berbagai komunitas di sebuah kost di Jalan Parameswara nomor 18 C, Bukit Baru, Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel).
Pada hari Kamis (5/6/2025 )kemarin itu, Festival Bulan Juni resmi dibuka — sebuah perayaan sederhana namun sarat makna bagi setiap peserta yang hadir.
Di tengah tekanan krisis ekologi yang makin mengkhawatirkan dan semakin sempitnya ruang publik yang dikendalikan oleh kepentingan pasar dan negara, Festival Bulan Juni hadir sebagai ruang otonom nan kekal.
Di sini, komunitas-komunitas berkumpul tanpa sekat, berbagi kisah, serta memperkuat solidaritas dalam semangat kebersamaan dan perlawanan.
Baca Juga:Panduan Lengkap Jadwal dan Lokasi Sholat Idul Adha di Palembang untuk Ibadah Khusyuk
"Kami ingin menciptakan ruang di mana komunitas bisa saling mengenal tanpa embel-embel institusi atau proyek. Ini ruang untuk kita, oleh kita," ujar Asmaran Dani, koordinator festival, membuka acara.
Doa untuk Bumi yang Terluka
Acara diawali dengan doa bersama dalam rangka memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia.
Dipimpin oleh Husni, Ketua Sarekat Hijau Indonesia Sumatera Selatan, doa-doa dipanjatkan dengan penuh harap agar bumi yang kian terluka segera mendapatkan pemulihan.
Di bawah terik matahari siang yang mulai hangat, perwakilan dari berbagai komunitas—seperti Ade Indriani dari SHI Pusat, JJ Polong dari akademisi UNSRI, Himpunan Mahasiswa Pertanian UNSRI (Himapersta), Readsistance, serta Mode Pesawat—ikut melantunkan doa dan harapan mereka, menyatukan suara demi masa depan lingkungan yang lebih baik.
Baca Juga:Olahan Daging Kurban Praktis: Resep Malbi Khas Palembang yang Wajib Dicoba
"Kerusakan lingkungan ini bukan karena alam semata, tapi karena kerakusan yang terorganisir. Kita perlu terus mengingatkan itu," kata Husni usai memimpin doa.
Makan Siang Solidaritas: Kritik dari Meja Makan
Sebelum memasuki sesi pembacaan esai dan puisi, para peserta diajak menikmati makan siang bersama. Namun, makan siang kali ini bukanlah sekadar santapan biasa.
Di balik hidangan sederhana yang tersaji, terselip sebuah kritik tajam terhadap program-program makan siang gratis bergizi yang tengah digalakkan Pemerintah.
Makan siang ini menjadi momen refleksi dan perlawanan, sebuah sindiran halus namun kuat tentang bagaimana konsumsi bisa menjadi alat politik yang membungkam kesadaran kritis masyarakat.
Husni menjelaskan bahwa makan siang bersama ini sengaja disajikan sebagai bentuk sindiran tajam kepada negara yang kerap memanfaatkan program konsumtif untuk meredam kesadaran politik masyarakat, bahkan sejak mereka masih duduk di bangku sekolah dasar.
- 1
- 2