SuaraSumsel.id - Rektor Universitas Bina Darma Palembang, Prof Dr Sunda Ariana, MPd, MM, resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri.
Ia diduga terlibat dalam kasus penggelapan dana yayasan serta tindak pidana pencucian uang (TPPU) senilai fantastis, mencapai Rp38 miliar.
Penetapan status hukum ini langsung direspons dari pihak kampus. Melalui kuasa hukum Rektor, mereka menilai bahwa langkah yang diambil oleh Bareskrim terkesan dipaksakan dan kurang berdasar.
Tak hanya sang rektor, YK selaku Direktur Keuangan UBD juga turut ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara yang tengah menyita perhatian publik ini.
Baca Juga:Rektor Universitas Bina Darma Diduga Gelapkan Rp38 Miliar, Kini Ditetapkan Tersangka?
Penetapan Prof Dr Sunda Ariana sebagai tersangka tercantum dalam Surat Penetapan Tersangka Nomor S.Tap/043/V/RES.1.11/2025/Dittipideksus, yang ditandatangani langsung oleh Brigjen Pol Helfi Assegaf, SIK, MH pada 21 Mei 2025.
Kasus ini mencuat dari laporan Suheriyatmono, pemilik atas beberapa bidang tanah yang sejak tahun 2001 disewa oleh Yayasan Bina Darma untuk pembangunan kampus UBD.
Perseteruan yang awalnya bersifat perdata itu kini berkembang menjadi perkara pidana bernilai puluhan miliaran rupiah.
Kuasa hukum rektor Universitas Bina Darma, Reinhard Richard A. Wattimena, SH, turut membenarkan bahwa kliennya telah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Dittipideksus Bareskrim Polri.
"Bahwa benar klien kami atas nama Sunda Ariana selaku Rektor UBD oleh penyidik dittipideksus ditetapkan sebagai tersangka sebagaimana tindak pidana yg dimaksud," ujarnya dihubungi Suara.com, Minggu (1/6/2025).
Baca Juga:Kerupuk Kemplang Menyapa Dunia: Live Shopping, Irama Baru UMKM Menaklukkan Era Digital
Menurut tim kuasa hukum, langkah penyidik Dittipideksus dalam menetapkan Prof Dr Sunda Ariana sebagai tersangka dinilai terlalu subjektivitas dan terkesan dipaksakan.
Mereka menyoroti bahwa hingga kini belum ada putusan hukum perdata yang berkekuatan tetap (inkracht) terkait sengketa kepemilikan tanah yang menjadi pokok perkara.
"Seharusnya penyidik menunggu kepastian hukum perdata sebelum melangkah ke proses pidana," ujar kuasa hukum, menegaskan bahwa penetapan tersangka dalam kondisi seperti ini rawan menimbulkan preseden buruk dalam penegakan hukum.
"Atas tindakan tersbut Klien kami merupakan korban dari sistem peradilan pidana yg tidak fair," sambungnya.
Mereka menyebut banyak kejanggalan dan ketidaksesuaian fakta dalam proses penyelidikan, yang berujung pada penerapan hukum secara sepihak dan terkesan dipaksakan.
Secara singkat, sengketa kepemilikan lahan antara Yayasan Bina Darma dan ahli waris sebelumnya telah menempuh jalur perdata hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung.
Namun, perkara tersebut berakhir dengan putusan Niet Ontvankelijke Verklaard (NO) atau tidak dapat diterima, sehingga belum menyentuh pokok perkara.
Tak berhenti di situ, Yayasan Bina Darma kembali mengajukan gugatan baru terhadap ahli waris atas sejumlah bidang tanah yang kini menjadi lokasi Kampus Universitas Bina Darma Palembang.
“Untuk gugatan perdata yang terbaru, saat ini masih dalam proses,” ujar kuasa hukum, menegaskan bahwa belum ada kepastian hukum yang seharusnya menjadi dasar sebelum munculnya penetapan pada kasus pidana.
Karena itu, ia pun mengungkapkan sebagai penetapan tersangka membuat rektor kebingungan,
“Secara pribadi, beliau (Rektor) bingung,” ujarnya.
Pihak kuasa hukum menilai tuduhan pencucian uang yang dialamatkan kepada Prof Dr Sunda Ariana tidak memiliki dasar yang kuat.
Mereka menegaskan, tidak pernah ada kesepakatan sewa-menyewa antara Yayasan Bina Darma dan pelapor sebagaimana yang dituduhkan.
Bahkan, uang sebesar Rp75 juta yang kini dijadikan sorotan bukanlah pembayaran sewa, melainkan gaji rutin yang selama ini diterima salah satu pelapor.
“Menyebut peristiwa ini sebagai tindak pidana pencucian uang jelas merupakan hal yang keliru,” ujar kuasa hukum.
"Tindakan ini kami anggap sebagai bentuk upaya kriminalisasi oleh penegak hukum kepada klien kami yang ditetapkan sebagai tersangka. Ada begitu banyak ketidaksesuaian fakta atau ketidakbenaran sehingga berakhir pada penerapan hukum yang sangat dipaksakan oleh penyidik dittipideksus bareskrim polri dalam penetapan status tersangka tersebut," ucapnya menjelaskan.
Ia pun meyakinkan bahwa kasus ini tidak akan mengganggu kelancaran aktivitas akademik di kampus, sehingga proses belajar-mengajar tetap berjalan seperti biasa.
Meski tengah menghadapi tekanan hukum, pihak universitas berkomitmen menjaga kualitas pendidikan dan pelayanan kepada mahasiswa tetap prima.
Diberitakan sebelumnya Muh Novel Suwa, SH, MM, MSi sebagai kuasa hukum Suheriyatmono menjelaskan sebelum Rektor Prof Sundari menjabat sebagai rektor, kliennya masih menerima haknya secara rutin.
Namun begitu SA mengambil alih kepemimpinan, uang sewa tidak lagi dibayarkan tanpa alasan yang jelas.
Kisah tanah UBD berawal dari tahun 2001 saat Suheriyatmono membeli lahan yang strategis untuk lokasi pendidikan.
Seiring waktu, tanah itu disewa oleh Yayasan Bina Darma untuk keperluan operasional kampus. Kerja sama awal berjalan lancar hingga akhirnya muncul konflik saat struktur internal yayasan dan universitas berubah.
Pihak korban pun melakukan berbagai upaya hukum sejak tahun 2022, yang akhirnya ditindaklanjuti oleh Dittipideksus hingga keluarnya surat tersangka terhadap dua pejabat kampus ternama di Palembang tersebut, termasuk Rektor Prof Sunda Ariana.