Data pribadi jutaan driver dan konsumen akan berada di tangan asing, membuka celah terhadap penyalahgunaan informasi.
Tak hanya itu, nilai-nilai budaya kerja lokal yang selama ini dibangun Gojek perlahan akan terpinggirkan oleh sistem dan atribut perusahaan luar.
Di sisi lain, dominasi Grab juga berpotensi melemahkan kemandirian digital nasional dan membuka pintu bagi praktik monopoli yang merugikan mitra pengemudi serta masyarakat pengguna jasa.

Bagi mereka, ini bukan hanya soal merger, tapi tentang mempertahankan kedaulatan digital Indonesia.
Penolakan terhadap akuisisi ini bukan hanya terjadi di Palembang.
Baca Juga:Kisah Haru Pengantin Dibacok di Hari Pernikahannya, Tetap Akad di Rumah Sakit
Di Makassar dan Bandung, berbagai komunitas ojol juga menyuarakan aspirasi serupa. Bahkan secara nasional, Koalisi Ojol Nasional (PN-KON) telah menyatakan sikap tegas menolak potensi merger atau akuisisi tersebut.
Ketua PN-KON, Andi Kristiyanto, dalam siaran persnya, menyoroti dampak serius dari akuisisi ini.
Salah satu kekhawatiran terbesar adalah potensi perubahan sistem kemitraan menjadi sistem karyawan, yang menurutnya akan menyisihkan banyak mitra ojol karena tidak semua memenuhi syarat administratif dan hukum untuk menjadi karyawan tetap.
“Dampak terhadap ojol bisa signifikan, terutama jika mengakibatkan pengurangan jumlah mitra dan potensi penurunan kesejahteraan,” kata Andi.
Selain itu, Andi juga menyebut risiko terbentuknya pemain dominan di sektor transportasi daring Indonesia. Jika Grab dan Gojek bergabung, maka kekuatan pasar mereka akan membuat kompetitor lain tidak mampu bersaing.
Baca Juga:Apakah Pempek Benar-Benar Asli dari Palembang? Ini Fakta Menariknya
“Pihak aplikator lain akan mati suri atau bahkan bangkrut, dan mitra ojol tidak punya pilihan selain tunduk pada satu perusahaan. Ini sangat berbahaya bagi ekosistem digital yang sehat,” lanjutnya.
Mereka meminta adanya kebijakan yang berpihak pada pelaku ekonomi lokal, termasuk perlindungan terhadap platform karya anak bangsa.