SuaraSumsel.id - Di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu, harga emas yang terus melambung menjadi salah satu kekhawatiran terbesar bagi calon pengantin di Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel).
Bagi banyak pasangan yang tengah mempersiapkan hari bahagia, tradisi mas kawin yang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam pernikahan, kini terasa semakin membebani.
Dengan harga emas yang terus merangkak naik, banyak calon pengantin bertanya-tanya: akankah mas kawin yang biasa diberikan dalam bentuk emas bisa diganti dengan uang tunai?
Mas kawin merupakan simbol penghargaan dan komitmen dalam pernikahan, yang sering kali diberikan oleh pihak pengantin pria kepada keluarga pengantin wanita.
Baca Juga:Proyek Rp330 Miliar Mangkrak, Siapa Bakal Jadi Tersangka Korupsi Pasar Cinde?
Tradisi ini memiliki akar budaya yang dalam, tidak hanya di Palembang, tetapi juga di banyak daerah di Indonesia.
Meskipun demikian, seiring dengan berjalannya waktu, ada perubahan dalam cara pandang masyarakat terhadap mas kawin, terutama dengan harga emas yang kini semakin tinggi.
“Beberapa bulan lalu, harga emas sekitar Rp800 ribu per gram, sekarang sudah hampir Rp1 juta. Itu belum termasuk jumlah gram yang harus diberikan, yang biasanya cukup banyak,” kata Andi, seorang calon pengantin pria asal Palembang.
“Kalau terus begini, mas kawin dalam bentuk emas bisa menjadi beban besar. Kami mulai berpikir, apakah lebih baik menggantinya dengan uang tunai,” sambungnya.
Pilihan Berbeda di Kalangan Calon Pengantin
Baca Juga:Trafik Data Indosat di Sumsel Melesat Saat Lebaran, Kinerja Jaringan Terjaga
Sejumlah calon pengantin di Palembang mengaku semakin mempertimbangkan alternatif untuk mengganti mas kawin dengan uang tunai.
Hal ini tidak hanya karena fluktuasi harga emas, tetapi juga untuk memberikan fleksibilitas finansial bagi kedua belah pihak dalam memulai kehidupan baru setelah pernikahan.
Beberapa pasangan bahkan berpendapat bahwa uang tunai dapat memberikan kesempatan untuk memulai usaha kecil atau menabung lebih fleksibel.
“Saya dan pasangan sepakat untuk mengganti mas kawin dengan uang tunai,” ujar Lina, calon pengantin perempuan yang tengah mempersiapkan pernikahan di Palembang.
“Kami lebih memilih untuk memulai kehidupan baru dengan sesuatu yang lebih berguna, seperti modal usaha, daripada terbebani oleh emas yang harga dan jumlahnya bisa terus berubah.” sambungnya.
Namun, meskipun banyak yang mulai beralih ke opsi ini, tradisi yang telah berlangsung lama masih cukup kuat di banyak keluarga.
Beberapa keluarga lebih memilih untuk tetap menggunakan emas sebagai simbol pemberian mas kawin, meski harus menghadapi tantangan finansial.
Konflik Budaya dan Ekonomi
Perdebatan tentang mas kawin dalam bentuk emas versus uang ini mencerminkan konflik antara tradisi budaya dan kebutuhan ekonomi modern.
Pada dasarnya, mas kawin adalah simbol dari rasa hormat dan komitmen. Namun, dengan harga emas yang melonjak tinggi, ini tentu menjadi dilema bagi banyak pasangan.
Perubahan nilai emas yang cepat sering kali memaksa keluarga untuk menyesuaikan, dan itu bisa menambah beban psikologis di tengah persiapan pernikahan.
Namun ini juga merupakan kesempatan untuk merefleksikan kembali makna dari mas kawin itu sendiri.
Mas kawin seharusnya bukan tentang jumlah yang besar atau bentuk tertentu, melainkan tentang niat dan makna dari pemberian itu.

Mas Kawin sebagai Simbol Komitmen
Di sisi lain, banyak pihak yang berpendapat bahwa mas kawin dalam bentuk emas tetap memegang peranan penting dalam memuliakan pernikahan.
Keluarga besar pengantin perempuan, terutama, masih melihat mas kawin sebagai simbol dari penghargaan yang diberikan oleh pihak pengantin pria.
“Mas kawin itu bukan hanya soal harga atau jumlah gramnya, tapi lebih ke komitmen. Emas, sebagai bentuk pemberian yang berharga, menunjukkan keseriusan dalam pernikahan,” ujar Nurul, ibu dari salah satu calon pengantin perempuan.
“Memang harganya naik, tapi itu bagian dari tradisi yang harus dihargai dan dijaga,” sambungnya.
Peluang untuk Perubahan Tradisi
Namun, ada juga pandangan yang lebih terbuka terhadap kemungkinan perubahan dalam praktik tradisional ini.
Beberapa kalangan di Palembang mulai melihat bahwa mengganti mas kawin dengan uang bukanlah hal yang salah, selama tetap mempertahankan esensi dari pernikahan itu sendiri.
“Tradisi bisa berkembang mengikuti zaman. Jika uang tunai lebih praktis dan membantu, mengapa tidak?” tambah Lina.
Tak jarang pula, beberapa pasangan memilih untuk melakukan kompromi, seperti memberikan emas dalam jumlah yang lebih sedikit atau memilih uang tunai dengan nilai yang setara.
Ini menunjukkan bahwa meskipun tradisi tetap dihormati, adaptasi terhadap kondisi ekonomi juga semakin penting.
Di tengah ketidakpastian ekonomi, kekhawatiran calon pengantin di Palembang terkait mas kawin yang terus merangkak naik harganya menjadi isu yang semakin relevan.
Meski banyak yang mempertimbangkan untuk mengganti emas dengan uang, tradisi yang telah ada tetap memiliki daya tarik tersendiri bagi sebagian besar keluarga.
Apapun pilihan yang diambil, yang terpenting adalah nilai dan makna dari mas kawin tersebut sebagai simbol komitmen dan pengorbanan dalam perjalanan hidup baru bagi pasangan yang menikah.