Satu Dekade Reforma Agraria Ala Jokowi, Gagal Padamkan Bara Konflik PTPN 7?

Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Direktorat Jenderal Perkebunan menargetkan pemenuhan kebutuhan gula demi swasembada gula tahun 2024.

Tasmalinda
Kamis, 20 Juni 2024 | 21:44 WIB
Satu Dekade Reforma Agraria Ala Jokowi, Gagal Padamkan Bara Konflik PTPN 7?
Ilustrasi petani demo sengketa agraria. Menguak Ironi Reforma Agraria Ala Jokowi

SuaraSumsel.id - Reforma Agraria Summit 2024 digelar di Bali pada pertengahan bulan Juni ini disebut menjadi penanda perjalanan satu dekade upaya pemerintah memberikan akses tanah kepada rakyat.

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menyebutnya sebagai keberhasilan program Reforma Agraria Pemerintahan Jokowi.

Selama 10 tahun, Jokowi disebutkan berhasil menata aset berupa legalisasi sekaligus redistribusi tanah yang disebutkan juga telah mencapai 12,5 juta hektar (ha). Angka tersebut disebutkan melebihi dari target yang seharusnya, 9 juta hektar (ha).

Pemerintah disebutkan telah membuat 364.397 kepala keluarga (KK) mengalami peningkatan pendapatan baik dari sektor pertanian, perkebunan, perikanan, UMKM dan lainnya.

Baca Juga:Fakta Baru! Tersangka Korupsi Internet Musi Banyuasin Terima Rp 7 Miliar

Kelompok masyarakat ini pun kemudian berhasil meningkatkan pendapatan mencapai 41 persen yang melebihi 20 persen dari target yang merupakan rencana strategis Kementerian tersebut.

Namun, dari ratusan ribu masyarakat yang disebut menerima manfaat atas program yang menjadi turunan dari Nawacita tersebut tidak ada nama Emilia dan warga Seri Bandung, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan (Sumsel).

Meski merasakan satu dekade kepemimpinan Jokowi, tanahnya yang berkonflik dengan PTPN VII di Ogan Ilir tak kunjung kembali.

Di desa yang hanya 2 jam dari ibu kota Sumsel, Palembang masih mewariskan konflik agraria sampai saat ini. Masyarakat Sri Bandung mengungkapkan bagaimana konflik tersebut meninggalkan bara kesedihan akan hilangnya akses tanah mereka.

Hilang Akses Kehidupan

Baca Juga:Kisah Pilu SD Negeri 20 Palembang Tak Ada Pendaftar, Sekolah Terancam Ditutup?

Menilik laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam dua tahun terakhir, menyatakan konflik agraria terkait perusahaan negara seperti PTPN masih meninggalkan pekerjaan rumah.

Konflik agraria yang diartikan merupakan situasi akibat adanya pertentangan klaim hak atas tanah antara dua pihak atau lebih baik persoalan ketidakadilan agraria yang dialami masyarakat akibat terbitnya kebijakan/keputusan pejabat publik.

KPA mengartikan konflik agraria yang bersifat struktural merupakan manifestasi terjadinya perampasan tanah masyarakat oleh badan usaha negara atau swasta, yang difasilitasi oleh instrumen hukum.

Konflik agraria juga menunjukkan adanya relasi kuasa yang timpang atas sumber-sumber agraria. Oleh karena ini, konflik agraria yang dilaporkan oleh KPA mengacu kepada masalah agraria struktural yang dialami oleh kelompok petani, masyarakat adat, nelayan, masyarakat agraris yang berhadap-hadapan langsung dengan klaim-klaim izin dan hak atas tanah oleh kelompok badan usaha dan bisnis (perusahaan) baik perusahaan milik negara maupun swasta, serta dengan instansi pemerintahan/lembaga negara.

KPA mencatat letusan konflik agraria perkebunan sebagian besar terjadi di Sumatera Utara dan Kalimantan Barat dengan 11 letusan konflik.

Konflik lahan terbanyak lainnya berada di Jawa Barat dan Jawa Timur mencapai 7 konflik. Sementara di Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan masing-masing terjadi lima letusan konflik.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak