Buku Puisi Sungai dan Rawang Karya Gen Z Peduli Lahan Basah Sungai Musi

Puisi bukan hanya mengungkapkan rasa cinta, juga pikiran dan perasaan terhadap berbagai persoalan di lingkungan penulisnya.

Tasmalinda
Selasa, 13 Februari 2024 | 14:22 WIB
Buku Puisi Sungai dan Rawang Karya Gen Z Peduli Lahan Basah Sungai Musi
Buku Puisi Sungai dan Rawang [dok Nopri Ismli]

SuaraSumsel.id - Puisi merupakan karya sastra nan isinya mengungkapkan pikiran dan rasa dari penyair atau penulisnya. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia [KBBI], puisi adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait; gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus.

Puisi bukan hanya mengungkapkan rasa cinta, juga pikiran dan perasaan terhadap berbagai persoalan di lingkungan penulisnya.

“Sungai dan Rawang” yang diterbitkan Teater Potlot [2024] adalah buku kumpulan puisi yang menyajikan 82 karya 10 penyair muda Palembang atau dari generasi Gen Z.

Buku setebal 99 halaman ini diluncurkan dalam puncak peringatan Hari Lahan Basah Sedunia di Kopi Mibar Palembang, Minggu (4/2/2024).

Mereka membicarakan sungai dan rawang, yang merupakan bagian penting dari lahan basah. Rawang adalah rawa gambut, ekosistem kompleks lahan basah dimana ada keseimbangan hasil-hasil alam dan kebutuhan manusia sekitarnya. Sementara sungai adalah aliran air yang besar memanjang yang mengalir terus-menerus dari hulu [sumber] menuju hilir [muara].

Lahan basah Sungai Musi di Sumatera Selatan luasnya mencapai tiga juta hektare. Di lahan basah Sungai Musi mengalir sembilan sungai besar, dan ratusan anak sungai, serta terdapat jutaan hektare rawang. Ada jutaan manusia yang hidup di sekitarnya sejak ratusan tahun lalu.

Arbi Tanjung, sastrawan dari Pasaman, Sumatera Barat, menjadi pembahas buku puisi Sungai dan Rawang. [dok Nopri Ismi]
Arbi Tanjung, sastrawan dari Pasaman, Sumatera Barat, menjadi pembahas buku puisi Sungai dan Rawang. [dok Nopri Ismi]

Sungai dan Ikan

Musi, aku masih belum mengenalmu

Meski sudah 24 tahun aku menyetubuhi mu

Apakah aku harus menjadi antu banyu

Agar bisa lebih menikmati indah lekukmu...

Bait pertama puisi naratif berjudul “Keruh Tubuhmu” yang ditulis Kemas Yudha [24 tahun] di atas semacam pengakuan dirinya sebagai generasi Gen Z terhadap Sungai Musi.

Meskipun dirinya lahir dan tumbuh di kampung yang berada di tepian Sungai Musi [selama 24 tahun], dia merasa tidak memberikan sesuatu yang berarti terhadap sungai terpanjang di Sumatera Selatan tersebut yang terus mengalami pencemaran.

Yudha pun berandai menjadi “antu banyu” agar mampu memahami Sungai Musi. Antu banyu adalah mitos tentang makhluk yang hidup di Sungai Musi, yang sering menangkap anak-anak yang tengah mandi atau berenang.

Ketidakpedulian terhadap Sungai Musi pada akhirnya menjadi semacam penerimaan terhadap kerusakan dan pencemaran yang terjadi di sungai yang panjangnya sekitar 750 kilometer. Pasrah menunggu masa depan Sungai Musi.

Musi, pada sendu muaramu

Aku menyusup dengan peluk dalam pelikmu

Musi, ku terima semua limbahmu

Sebagai bumbu pemantik nafsu

Cukup sepi dan sunyi malam ini menjadi saksi

Tak tahu nasib apa yang akan menantimu, Musi!

Mahesa Putra [23 tahun] dengan puisi “Ikan Kehilangan Puisi” semacam pernyataan masyarakat di Sumatera Selatan tidak lagi peduli dengan keberadaan beragam jenis ikan. Padahal ikan adalah sumber pangan [protein] dan ekonomi utama bagi masyarakat yang menetap di lahan basah Sungai Musi. Ikan kehilangan pemaknaan dalam pikiran dan rasa, seperti halnya sebuah puisi.

Ikan-ikan terpanggang

Di lebak yang kering

Ranting sungai

gagal mencumbui rawang

Sementara ikan setiap detik menghadapi berbagai persoalan, seperti kehilangan rawang dan hutan.

diantara bait-bait sungai

himpunan kata mengeja permukaan

dimana letak induk kalimat

sementara mata air ditimbun

ranting-ranting batang ari ditebang

rawa berganti perkebunan monokultur

ikan-ikan kehilangan puisi...

Reza Maulana [20] mencoba mengajak orang-orang di sekitarnya, yang asik dengan bermain game, menikmati Tik Tok atau film drama Korea, untuk melihat lingkungan sekitarnya.

langit sudah keruh

bumi telah kumuh

sayang bangunlah

dari ranjang tidurmu

sekarang pukul 5 pagi

jalan masih jauh jarak kita kayuh...

Reza Maulana yang akrab dipanggil “Sojek” lahir dan tumbuh di kawasan lebak sekitar Sungai Bayas. Dia pun mencoba menggambarkan kampungnya dalam kenangan masa kecilnya dan neneknya dalam puisi “Tak Lupus”.

Di hadapan nenekku kita seolah-olah

sedang merayakaan perpisahan di lebak sungai bayas

Kau mengajaku untuk bermain di tepi sungai bayas,

hingga kumpai mengingkat kaki mengores betis kita...

Lebak itu tak lagi memelukmu.

Sebuah lompatan

Arbi Tanjung, seorang pekerja sastra dan budaya dari Pasaman, Sumatera Barat, sebagai pembahas buku “Sungai dan Rawang” yang diluncurkan pada rangkaian kegiatan “Kembalikan Lahan Basah Kami” dalam memperingati Hari Lahan Basah Sedunia, yang didukung Mongabay Indonesia, Rumah Sriksetra dan Pulitzer Center menyatakan puisi-puisi yang para penyair muda atau generasi Gen Z di Palembang yang terkumpul dalam buku tersebut adalah sebuah “lompatan”.

“Sangat sulit mendapatkan karya puisi para penyair muda yang mencerminkan kepedulian terhadap lingkungan, termasuk tentang lahan basah. Ternyata di Palembang muncul para penyair muda itu, meskipun sebagian besar dari penyair muda yang karyanya masuk di dalam buku ini sebagian sulit dilacak karyanya di dunia maya. Mereka mungkin tidak rajin atau tidak suka mengirim puisi ke media massa,” kata Arbi di Kopi Mibar, Palembang, 2-4 Februari 2024 

Dijelaskan Arbi, beberapa penyair bukan hanya mengangkat tema lingkungan di dalam puisinya, juga menggunakan diksi-diksi yang diambil dari alam. Misalnya nama ikan, tanaman, alat tangkap ikan, hingga nama sungai kecil.

“Saya berharap alam atau lingkungan menjadi kamus atau laboratarium bagi para penyair muda ini dalam melahirkan berbagai karyanya ke depan. Bukan sebatas respon terhadap isu yang tengah terjadi atau berlangsung.”

Di sisi lain, Arbi menyayangkan ada sejumlah puisi di dalam buku tersebut, melompat dari tema buku. “Masih ada puisi yang bicara soal cinta. Cinta tentang hubungan asmara. Puisi seperti ini mungkin ratusan atau ribuan kita temukan di berbagai media sosial.”

Berikut daftar penyair dan karyanya:

Mahesa Putra: Perahu Meninggalkan Proksemik, Kota Beku, Mencari Rumah, Ikan Kehilangan Puisi, Berperahu Mengejar Bulan, Tempoyak & Takoyaki, Kota Merias Dusun Ujang, dan Bercak.

Unggul NU: Lama dengan Sampan, Perawan, Sungai Nan Cantik, Bakau, Air Tua, Belantara, Sepi, Sumringah, Implisit, Hanya Aku dan Kau.

Almer Deo F: Lebak Tanah Kuning, Padamu Payung, Duhai, Kacau Balau, Dekus Angin Pagi, Cintaku Liana, Patah Hati Tumbuhlah Sepi, Temu, Bayang-Bayang Kenangan, Segelintir Interogasi.

KemasYudha: Keruh Tubuhmu, Batin dan Logika, Kamu Hebat, Ya!, Penghuni Asbak Tua, Hanyut Dalam Penantian, Keterpaksaan, Izinkan Aku Sembunyi, Ancang-ancang, Jauhi Sepi.

Pardesela: Sumpah katak, Bahasaku, Rencana Ikan Asin, Lagu Katak, Cakap-cakap, Hikayat seorang Ibu yang bernama Sungai, Alkisah layar dan rempah, Merk ikan, Perahu bungsu, Di mana.

Reza Maulana: Tak Lupus, Jalang Rawa, Romantika di Ujung Senja, Napas Bahasa, Ibu Mengasuh Hujan, Sebuah Sajak Mimpi, Pesan, Satu.

Mohammad Iqbal: Sungai Musi, Aku Terhanyut di Lematang Enim, Aku, Ikan Sampah?, Berselimut Asap, Kamu, di dalamnya.

Siti Wahyu Vitamagistra: Baung Tidak Pernah Pulang, Musimku Bernama Panceklik, Perahu dan Kejayaanku Dulu, Buntung, Hiruk Pikuk-mu, Jalanan, Beli Sampah, Kupu-Kupu dan Luka Masa Lalu.

Abdurrahman Arif: Purun, Katanya Harta Karun, Selusur Sungai, Sisi Gelap Kuasa, Tiada Maaf dari Sungai, Tulisan Tangan, Berdua, Lingkungan, Hidup Sendiri.

Qaf Muhammad: (keadaan memaksa kita berpisah, tapi bukan untuk mengesampingkan cinta), (dalam cerita tunggal ini, kau telah menjadi misteri paling indah di badan hati), (pada kesekian kali, waktu memberikan lagi pedih atas pergi yang telah lama terjadi), (bait yang gugur dimedan harapan) telah berkalang isak tangis; berhenti pada kata merelakan), Kemarau, Fa.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini