SuaraSumsel.id - Puisi merupakan karya sastra nan isinya mengungkapkan pikiran dan rasa dari penyair atau penulisnya. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia [KBBI], puisi adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait; gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus.
Puisi bukan hanya mengungkapkan rasa cinta, juga pikiran dan perasaan terhadap berbagai persoalan di lingkungan penulisnya.
“Sungai dan Rawang” yang diterbitkan Teater Potlot [2024] adalah buku kumpulan puisi yang menyajikan 82 karya 10 penyair muda Palembang atau dari generasi Gen Z.
Buku setebal 99 halaman ini diluncurkan dalam puncak peringatan Hari Lahan Basah Sedunia di Kopi Mibar Palembang, Minggu (4/2/2024).
Mereka membicarakan sungai dan rawang, yang merupakan bagian penting dari lahan basah. Rawang adalah rawa gambut, ekosistem kompleks lahan basah dimana ada keseimbangan hasil-hasil alam dan kebutuhan manusia sekitarnya. Sementara sungai adalah aliran air yang besar memanjang yang mengalir terus-menerus dari hulu [sumber] menuju hilir [muara].
Lahan basah Sungai Musi di Sumatera Selatan luasnya mencapai tiga juta hektare. Di lahan basah Sungai Musi mengalir sembilan sungai besar, dan ratusan anak sungai, serta terdapat jutaan hektare rawang. Ada jutaan manusia yang hidup di sekitarnya sejak ratusan tahun lalu.
Sungai dan Ikan
Musi, aku masih belum mengenalmu
Meski sudah 24 tahun aku menyetubuhi mu
Apakah aku harus menjadi antu banyu
Agar bisa lebih menikmati indah lekukmu...
Bait pertama puisi naratif berjudul “Keruh Tubuhmu” yang ditulis Kemas Yudha [24 tahun] di atas semacam pengakuan dirinya sebagai generasi Gen Z terhadap Sungai Musi.
Meskipun dirinya lahir dan tumbuh di kampung yang berada di tepian Sungai Musi [selama 24 tahun], dia merasa tidak memberikan sesuatu yang berarti terhadap sungai terpanjang di Sumatera Selatan tersebut yang terus mengalami pencemaran.
Yudha pun berandai menjadi “antu banyu” agar mampu memahami Sungai Musi. Antu banyu adalah mitos tentang makhluk yang hidup di Sungai Musi, yang sering menangkap anak-anak yang tengah mandi atau berenang.
Ketidakpedulian terhadap Sungai Musi pada akhirnya menjadi semacam penerimaan terhadap kerusakan dan pencemaran yang terjadi di sungai yang panjangnya sekitar 750 kilometer. Pasrah menunggu masa depan Sungai Musi.
Musi, pada sendu muaramu
Aku menyusup dengan peluk dalam pelikmu
Musi, ku terima semua limbahmu
Sebagai bumbu pemantik nafsu
Cukup sepi dan sunyi malam ini menjadi saksi
Tak tahu nasib apa yang akan menantimu, Musi!
Mahesa Putra [23 tahun] dengan puisi “Ikan Kehilangan Puisi” semacam pernyataan masyarakat di Sumatera Selatan tidak lagi peduli dengan keberadaan beragam jenis ikan. Padahal ikan adalah sumber pangan [protein] dan ekonomi utama bagi masyarakat yang menetap di lahan basah Sungai Musi. Ikan kehilangan pemaknaan dalam pikiran dan rasa, seperti halnya sebuah puisi.
Ikan-ikan terpanggang
Di lebak yang kering
Ranting sungai
gagal mencumbui rawang
Sementara ikan setiap detik menghadapi berbagai persoalan, seperti kehilangan rawang dan hutan.
diantara bait-bait sungai
himpunan kata mengeja permukaan
dimana letak induk kalimat
sementara mata air ditimbun
ranting-ranting batang ari ditebang
rawa berganti perkebunan monokultur
ikan-ikan kehilangan puisi...
Reza Maulana [20] mencoba mengajak orang-orang di sekitarnya, yang asik dengan bermain game, menikmati Tik Tok atau film drama Korea, untuk melihat lingkungan sekitarnya.
langit sudah keruh
bumi telah kumuh
sayang bangunlah
dari ranjang tidurmu
sekarang pukul 5 pagi
jalan masih jauh jarak kita kayuh...
Reza Maulana yang akrab dipanggil “Sojek” lahir dan tumbuh di kawasan lebak sekitar Sungai Bayas. Dia pun mencoba menggambarkan kampungnya dalam kenangan masa kecilnya dan neneknya dalam puisi “Tak Lupus”.
Di hadapan nenekku kita seolah-olah
sedang merayakaan perpisahan di lebak sungai bayas
Kau mengajaku untuk bermain di tepi sungai bayas,
hingga kumpai mengingkat kaki mengores betis kita...
Lebak itu tak lagi memelukmu.
Sebuah lompatan
Arbi Tanjung, seorang pekerja sastra dan budaya dari Pasaman, Sumatera Barat, sebagai pembahas buku “Sungai dan Rawang” yang diluncurkan pada rangkaian kegiatan “Kembalikan Lahan Basah Kami” dalam memperingati Hari Lahan Basah Sedunia, yang didukung Mongabay Indonesia, Rumah Sriksetra dan Pulitzer Center menyatakan puisi-puisi yang para penyair muda atau generasi Gen Z di Palembang yang terkumpul dalam buku tersebut adalah sebuah “lompatan”.
“Sangat sulit mendapatkan karya puisi para penyair muda yang mencerminkan kepedulian terhadap lingkungan, termasuk tentang lahan basah. Ternyata di Palembang muncul para penyair muda itu, meskipun sebagian besar dari penyair muda yang karyanya masuk di dalam buku ini sebagian sulit dilacak karyanya di dunia maya. Mereka mungkin tidak rajin atau tidak suka mengirim puisi ke media massa,” kata Arbi di Kopi Mibar, Palembang, 2-4 Februari 2024
Dijelaskan Arbi, beberapa penyair bukan hanya mengangkat tema lingkungan di dalam puisinya, juga menggunakan diksi-diksi yang diambil dari alam. Misalnya nama ikan, tanaman, alat tangkap ikan, hingga nama sungai kecil.
“Saya berharap alam atau lingkungan menjadi kamus atau laboratarium bagi para penyair muda ini dalam melahirkan berbagai karyanya ke depan. Bukan sebatas respon terhadap isu yang tengah terjadi atau berlangsung.”
Di sisi lain, Arbi menyayangkan ada sejumlah puisi di dalam buku tersebut, melompat dari tema buku. “Masih ada puisi yang bicara soal cinta. Cinta tentang hubungan asmara. Puisi seperti ini mungkin ratusan atau ribuan kita temukan di berbagai media sosial.”
Berikut daftar penyair dan karyanya:
Mahesa Putra: Perahu Meninggalkan Proksemik, Kota Beku, Mencari Rumah, Ikan Kehilangan Puisi, Berperahu Mengejar Bulan, Tempoyak & Takoyaki, Kota Merias Dusun Ujang, dan Bercak.
Unggul NU: Lama dengan Sampan, Perawan, Sungai Nan Cantik, Bakau, Air Tua, Belantara, Sepi, Sumringah, Implisit, Hanya Aku dan Kau.
Almer Deo F: Lebak Tanah Kuning, Padamu Payung, Duhai, Kacau Balau, Dekus Angin Pagi, Cintaku Liana, Patah Hati Tumbuhlah Sepi, Temu, Bayang-Bayang Kenangan, Segelintir Interogasi.
KemasYudha: Keruh Tubuhmu, Batin dan Logika, Kamu Hebat, Ya!, Penghuni Asbak Tua, Hanyut Dalam Penantian, Keterpaksaan, Izinkan Aku Sembunyi, Ancang-ancang, Jauhi Sepi.
Pardesela: Sumpah katak, Bahasaku, Rencana Ikan Asin, Lagu Katak, Cakap-cakap, Hikayat seorang Ibu yang bernama Sungai, Alkisah layar dan rempah, Merk ikan, Perahu bungsu, Di mana.
Reza Maulana: Tak Lupus, Jalang Rawa, Romantika di Ujung Senja, Napas Bahasa, Ibu Mengasuh Hujan, Sebuah Sajak Mimpi, Pesan, Satu.
Mohammad Iqbal: Sungai Musi, Aku Terhanyut di Lematang Enim, Aku, Ikan Sampah?, Berselimut Asap, Kamu, di dalamnya.
Siti Wahyu Vitamagistra: Baung Tidak Pernah Pulang, Musimku Bernama Panceklik, Perahu dan Kejayaanku Dulu, Buntung, Hiruk Pikuk-mu, Jalanan, Beli Sampah, Kupu-Kupu dan Luka Masa Lalu.
Abdurrahman Arif: Purun, Katanya Harta Karun, Selusur Sungai, Sisi Gelap Kuasa, Tiada Maaf dari Sungai, Tulisan Tangan, Berdua, Lingkungan, Hidup Sendiri.
Qaf Muhammad: (keadaan memaksa kita berpisah, tapi bukan untuk mengesampingkan cinta), (dalam cerita tunggal ini, kau telah menjadi misteri paling indah di badan hati), (pada kesekian kali, waktu memberikan lagi pedih atas pergi yang telah lama terjadi), (bait yang gugur dimedan harapan) telah berkalang isak tangis; berhenti pada kata merelakan), Kemarau, Fa.