SuaraSumsel.id - Setiap kali memasuki bulan Rajab banyak yang membiasakan doa khusus yang meminta keberkahan dari sang pencipta akan dua bulan menjelang Ramadan.
Berikut doa yang sering dibacakan “Allâhumma bârik lanâ fi Rajab wa Sya’bâna wa ballighnâ Ramadhân” dengan artinya “Ya Allah berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikanlah kami pada bulan Ramadhan.”
Doa ini tidak hanya dibaca secara sendiri-sendiri oleh umat Islam tapi juga secara bersama-sama setiap kali selesai salat fardhu di masjid ataupun mushalla.
Melansir website NU.online, apakah doa tersebut pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW atau itu hanya sebatas doa para ulama yang hingga saat ini terus populer dan diriwayatkan secara lisan?
Apakah boleh kita membaca dan mengamalkannya setiap selesai shalat atau tidak?
Doa tersebut diriwayatkan oleh beberapa ahli hadits di antaranya Abdullah bin Ahmad dalam kitab Syakir, Imam Al-Bazzar dalam kitab Kasyful Astar, Ibnu Abid Dunya dalam kitab Fadhail Ramadhan, Ibnus Sinni dalam kitab Al-Yaum wal Lailah, Imam At-Thabarani dalam kitab Mu’jamul Ausath, Abu Nu’aim dalam kitab Hilyatul Auliya’, Imam Al-Baihaqi dalam kitab Fadhailul Auqat, dan bahkan Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Adzkar-nya juga mengutip doa tersebut dan menempatkannya di bab zikir-zikir yang berkaitan dengan ibadah puasa.
Doa dalam kitab Al-Adzkar Imam An-Nawawi:
وروينا في حلية الأولياء بإسناد فيه ضعفٌ، عن زياد النميري عن أنس رضي الله عنه قال : كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا دخل رجب قال : "اللَّهُمَّ بارِكْ لَنا في رَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنا رَمَضَانَ"، ورويناه أيضاً في كتاب ابن السني بزيادة.
Artinya
“Kami riwayatkan dalam kitab Hilyatul Auliya dengan sanad yang dhaif (lemah), bersumber dari Ziyad An-Numairi dari Anas bin Malik RA. Ia berkata, ‘Rasulullah Saw ketika memasuki bulan Rajab berkata: Ya Allah berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban. Sampaikanlah kami pada bulan Ramadhan.’ Riwayat serupa juga kami riwayatkan dari kitab Ibnus Sinni dengan sedikit tambahan redaksi.”
Sanad hadits tersebut agak sedikit bermasalah. Imam An-Nawawi menilainya dhaif (lemah). Imam At-Thabarani menggolongkannya sebagai hadits mungkar karena salah seorang perawinya yang bernama Zaidah bin Abir Riqad dinilai sebagai seorang rawi yang munkarul hadits. Ibn Abi Hatim juga menyebutkan bahwa Zaidah sering meriwayatkan hadits dari Ziyad An-Numairi, dari Anas bin Malik RA berupa hadits-hadits marfu’ yang munkar. Sementara itu, Imam Abu Dawud mengakui, beliau tidak mengetahui sumbernya.
Kemudian Ziyad bin Abdillah An-Numairi (salah seorang perawi lain dari hadits tersebut) juga dianggap dhaif oleh Ibnu Ma’in dan Abu Dawud. Ibn Hibban menilainya sebagai seorang yang munkarul hadits juga. Abu Hatim menegaskan, haditsnya dapat ditulis tapi tidak bisa dijadikan sebagai hujah (dalil).
Hadits ini hanya berisi konten terkait doa dan harapan kebaikan yang tidak ada hubungannya dengan akidah ataupun ibadah mahdhah (murni), tapi masuk dalam ranah fadhail (keutamaan-keutamaan) saja. Kedhaifannya juga menurut versi Imam An-Nawawi tampaknya tidak terlalu parah dengan bukti ia tetap memasukkannya ke dalam kitabnya al-Adzkar, padahal kitab tersebut diniatkan sebagai rujukan bagi mereka yang ahli ibadah. Berikut nukilan perkataan Imam An-Nawawi dalam mukadimah kitabnya sebagai berikut.
فلهذا أرجو أن يكون هذا الكتاب أصلاً معتمداً، ثم لا أذكر في الباب من الأحاديث إلا ما كانت دلالته ظاهرة في المسألة.
Artinya:
“Karena ini, saya berharap agar kitab ini (Al-Adzkar) menjadi sumber rujukan yang mu’tamad (diakui). Lalu, tidak saya sebutkan pada bab-babnya kecuali hadits-hadits yang memunyai hubungan makna yang jelas dengan tema yang sedang dibahas.”
Disimpulkan jika hadits tersebut berstatus dhaif (lemah), namun tetap bisa diamalkan karena tingkat kedhaifannya yang tidak terlalu parah (berpatokan kepada pendapat Imam An-Nawawi) dan tidak berkaitan dengan masalah akidah dan ibadah mahdhah. Selain itu mengamalkan doa tersebut juga boleh selama tidak diyakini bahwa ia bersumber dari Nabi Muhammad SAW. Allahu a‘lam.