Raperda RTRW Sumsel Ditolak Karena Asal-Asalan, Pansus DPRD Diminta Kaji Ulang

Padahal berdasarkan datanya, luas lahan gambut di Sumsel sebesar 1,2 juta hektar

Tasmalinda
Jum'at, 31 Maret 2023 | 21:01 WIB
Raperda RTRW Sumsel Ditolak Karena Asal-Asalan, Pansus DPRD Diminta Kaji Ulang
lahan gambut. Raperda RTRW Sumsel Ditolak Karena Asal-Asalan(Foto: CIFOR)

SuaraSumsel.id - Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) RTRW Sumsel tahun 2023-2043 dipersoalkan karena substansi yakni naskah akademik yang dinilai asal-asalan. Produk hukum daerah ini dinilai tidak ramah terhadap isu krusial terkait dampak perubahan iklim, kebakaran hutan dan lahan (Karhutlah), bencana banjir, pencemaran serta kerusakan lingkungan hidup.

Karena itu, Aliansi Masyarakat Sipil (AMS) menuntut agar pembahasan Raperda ini dihentikan.

Dalam aksi pengawalan tersebut AMS menuntut tiga poin tuntutan yang perlu dibenahi oleh Panitia Khusus (Pansus) IV DPRD Sumsel.  Koordinator aksi Yusri Arafat menyampaikan bahwa naskah akademik yang diperoleh sampai saat terkesan asal-asalan. “Kita juga tidak mengetahui siapa yang menyusun RTRW ini, jadi ketika naskah akademik tidak sempurna, kebijakan ini akan tidak sempurna juga tentunya,” katanya dalam orasi.

Salah satu contoh narasi yang tidak sempurna yang tertuang dalam rancangan RTRW 2023 - 2043 yakni, pihak perancang menyebutkan luas wilayah gambut di Sumsel hanya sebesar 3.200 hektar saja. Padahal berdasarkan datanya, luas lahan gambut di Sumsel sebesar 1,2 juta hektar, artinya dia menegaskan dalam naskah tersebut ada banyak sekali poin-poin yang perlu direvisi.

Baca Juga:Bulog Sumsel Babel Batasi Pembelian Beras di Pasar Murah, Penyebabnya Karena Ini

“Itu dari sisi isu sektoral yang kita cermati, takutnya ini akan meluas ke sektor pertambangan. Dari conttoh itu, maka dokumen ini tidak layak untuk dilanjutkan, karena tidak lengkap untuk dibahas. Kami meminta kepada Pansus IV DPRD Sumsel untuk menyusun ulang naskah. Kalau tidak sempurna bagaimana bisa menyusun aturan itu,” tambahnya.

Adapun poin tuntutan lainnya yakni mendesak DPRD Provinsi untuk menghentikan pembahasan RANPERDA RTRW Provinsi
Sumatera Selatan Tahun 2023- 2043, karena isi draft dokumen RANPERDA RTRW tidak menjawab hal-hal yang krusial seperti; perubahan iklim, karhutlah, bencana banjir, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup lainnya.

Penyusunan RANPERDA RTRW Provinsi seharusnya dilandasi Naskah Akademik yang memuat situasi dan kondisi objektif kabupaten/ kota di Sumatera Selatan, serta terintegrasi berbagai persoalan khususnya terkait dengan tumpang tindih lahan dalam kawasan dan untuk menjawab persoalan konflik dan kesejahteraan masyarakat.

Naskah Akademik RANPERDA RTRW Provinsi harus mencerminkan kondisi objektif tata ruang kabupaten/ kota dan rencana perlindungan. Karena dasar pijakan yang menjadi alasan penyusunan RANPERDA RTRW haruslah mempertimbangkan beberapa situasi seperti Indeks Pertumbuhan Manusia, Kesenjangan Pertumbuhan, Deforestasi dan Bencana.

Naskah Akademik RANPERDA RTRW Provinsi sama sekali tidak menjawab dasar persoalan yang diuraikan, struktur penyusun tidak jelas, isinya asal-asalan, dan tata cara penyusunan hanya sebatas template tanpa isi sebagaimana yang diamanatkan.

Baca Juga:Ramai-Ramai Promosikan Diri Saat Ramadhan, Bacaleg di Sumsel Padati Jalan Dan Pemukiman Pasang Baliho

Naskah Akademik yang tidak berkualitas dipastikan melahirkan RANPERDA RTRWP ang tidak berkualitas dan menjadi produk hukum yang tidak berkualitas dan kacau. Maka patutlah keilmuan tim penyusun naskah ini untuk dipertanyakan.

Anggota Pansus IV DPRD Sumsel Susanto Aziz akan mengabulkan permintaan yang disampaikan dengan kembali melakukan pembahasan terkait RTRW hingga naskah akademik diperbaiki. Kemudian dia juga akan melibatkan sejumlah pihak yang berasal dari elemen masyarakat dalam peneratapan RTRW ini sendiri, bahkan dia akan menyarankan kepada tim perancang untuk memperpanjang target waktu pembuatan atau bahkan menghapuskannya.

“Baiklah mengenai ini nanti akan kita perbaiki lagi soal naskahnya dan saya meminta agar tidak ada target waktu yang cepat. Dan terkait lahan gambut 1,2 juta hektar yang ditulis 3.200 hektar itu sepengetahuan saya regulasinya ada di kota kabupaten, karena yang mempunyai wilayah mereka. Dan kota dan kabupaten harus duduk bersama untuk membahas apa yang perlu direvisi,” tegasnya.

Kontributor: Mita Rosnita.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini