Dengan lebih terbuka sebenarnya sudah bisa memasukkan ganja sebagai bagian obat keras dalam katagori medis. Dengan demikian penggunannya berada dalam pengawasan dokter secara terukur, peruntukkan dan petunjuk penggunaan atau SOP medis."Seberapa butuh, pasien tersebut bisa diketahui legal," terang Prof Yu.
Dorongan melegalkan juga berkaca dari situasi saat ini yang akhirnya menciptakan pasar gelap dengan harga tinggi. "Karena praktik di sejumlah negara, hal ini mampu mendidik masyarakat lebih sadar akan apa yang dipakai, apa yang dikonsumsi dan bagaimana dampak bagi kesehatannya" ujar Prof Yu.
Di dunia medis sendiri, sambung Prof Yu penggunaan obat-obat keras pun diatur berdasarkan peraturan medis. Misalnya di operasi besar, seperti operasi bagian tulang, dokter juga dibutuhkan obat opium.
"Denga semakin dilegalkan, maka akan lebih tertib. Negara menjadi tahu kebutuhan akan obat tersebut bagi masyarakatnya, bagaimana SOP yang seharusnya dijalankan," terangnya.
Baca Juga:Tata Niaga Bokar di Sumsel Picu Monopoli, KPPU: Dikendalikan Asosiasi
![Seorang pekerja merawat tanaman ganja di pertanian Rak Jang, salah satu pertanian pertama yang diberi izin oleh pemerintah Thailand untuk menanam ganja. [Dok.Antara/Reuters]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2022/06/27/27836-ganja.jpg)
Ia pun menilai sudah saatnya, warga Indonesia cerdas mengenai kesehatan diri dan lingkungan. "Ya, tidak serta semua dilarang, dan akhirnya butuh biaya besar dalam pengendalian. Masyarakat harus diedukasi lebih cerdas. Di Amerika itu, dilegalkan dengan syarat ketat," kata Prof.
Ada juga, ia mencontohkan di masyarakat kawasan Gunung Fuji juga mengkonsumsi daun varietas atau sejenis ganja yang ternyata membuat warga menjadi lebih rentan atau kebal terhadap penyakit malaria. Semacam membentuk resisten kolektif.
"Penelitian-penelitian (manfaat tanaman) seperti ini harusnya makin ditingkatkan, bukan negara menyamaratakan dilarang dan merta tidak boleh," harapnya.