SuaraSumsel.id - Berusaha merangkum rasa sakit yang dialami para korban pelecehan seksual di kampus ternama di Sumatera Selatan. Bukan untuk terus mengingatnya sebagai luka, namun berharap kejadian serupa tidak lagi terulang.
Jumat pagi di awal Desember lalu (3/12/2021), suasana kampus tampak ramai. Tidak seperti biasanya, suasana kampus saat Pandemi COVID-19 yang lebih banyak mengalihkan proses pembelajaran secara daring.
Sebelum matahari makin meninggi, suasana kampus di Fakultas Ekonomi Unsri atau Universitas Sriwijaya makin riuh. Ratusan mahasiswa, tengah bersiap menjalani prosesi yudisium sebagai bagian syarat kelulusan.
Mereka tampil dengan lebih rapi, menggunakan jas sekaligus busana kebaya bagi mahasiswinya. Persiapan ini pun telah dilakukan jauh hari, tentu setelah memastikan mendapatkan undangan sebagai peserta yang berhak duduk di ruangan yudisium tersebut.
Baca Juga:Kalahkan Persimura, PS Palembang Mulus Melaju Empat Besar Liga 3 Sumsel
Prosesi yudisium ini dibagi dua sesi, yakni sesi pagi dan sesi siang. Undangan yudisium menjadi syarat “legal” melepas status mahasiswa agar resmi disebut sarjana.
Pihak jurusan telah membagikan undangan yudisium tersebut, beberapa pekan sebelum acara yang dipusatkan di aula Fakultas Ekonomi tersebut digelar. Undangan ini pun memastikan, apakah peserta berhak menjalani sesi yudisium pada pagi atau siang hari.
Seperti peserta lainnya, sosok mahasiswi ini pun bersiap mengikuti prosesi yang dinanti-nanti setelah menempuh pendidikan di kampus kesayangan tersebut.
Dia bersiap dengan kebaya yang sudah dipilih, dan aktif mengikuti perbincangan di group komunikasi guna memastikan jika ia tidak terlambat menghadiri prosesi penting dalam hidupnya tersebut.
Sama seperti peserta yudisium lainnya, ia pun berdandan agar bisa menikmati momen berharga ini. Undangan yang sudah di tangan, menguatkannya menjadi salah satu peserta yang berhak diyudisium oleh pihak Dekanat.
Baca Juga:Masyarakat 3 Kabupaten di Sumsel Tidak Patuh Pakai Masker Selama Pandemi COVID-19
Langkahnya kian pasti menuju gedung aula tersebut bersama teman-temannya.
Namun setibanya di pintu aula, beberapa panitia malah menggiringnya ke ruangan tempat menyiapkan makanan (katering). Dia dilarang keluar dari ruangan itu, oleh beberapa panitia lainnya.
Hal ini membuatnya curiga, karena merasa berhak dan ingin mengikuti yudisium. Kecurigaannya kian bertambah, saat beberapa orang panitia malah mendorongnya ke kamar mandi laki-laki.
Saat momen yudisium yang segera berlangsung, ia malah disekap oleh panitia di toilet wc pria. Jiwanya memberontah, menangis hingga terus berteriak. Prosesi yudisium yang seharusnya dilalui dengan kegembiraan telah pupus.
Dia disekap dalam ruangan kamar mandi yang gelap tanpa ventilasi. Suasana riuh yudisium pun berubah menjadi tegang. Banyak pula, peserta yudisium kebingungan atas suara tangisan dan jeritan dari kamar mandi tersebut.
Salah satu dosen akhirnya memberanikan diri meminta panitia agar mengeluarkan mahasiswi tersebut. Perwakilan BEM-KM Unsri yang mengetahui perihal tersebut berusaha mempertanyakan kejadiannya.
Korban termasuk aktif melaporkan berbagai peristiwa dialami karena telah memberi kuasa pada BEM-KM atas kasus pelecehan seksual yang dialaminya.
“Dia (korban) shock, terkejut. Mengapa namanya hilang, lebih tepatnya dihapus. Padahal sudah mendapat undangan. Kami pun berusaha mempertanyakan, tapi kami sempat dihadang panitia,” ujar perwakilan BEM saat itu.
Tindakan penghadangan ini kemudian berlanjut saat korban berusaha menemui perwakilan pihak Dekanat, apalagi Dekan Fakultas Ekonomi di ruang yudisium tersebut.
Setelah disekap dalam ruangan “tak layak”, mahasiswi dan BEM berusaha mempertanyakan kebijakan sepihak tersebut.
Situasi semakin memanas. Bersamaan dengan video aksi bersama mempertanyakan kebijakan sepihak tersebut viral di media sosial, pihak Dekanat tetiba menggelar rapat atas permasalahan tersebut.
Mahasiswa pun terus menggalang solidaritas menolak kebijakan sepihak bagi korban pelecehan seksual tersebut.
Tindakan penyekapan ini disinyalir buntut dari pelaporan Kepala Program Studi (Kaprodi) Manajemen Fakultas Ekonomi, Reza Ghasarma ke Polda Sumsel yang dilakukan mahasiswi tersebut.
Dalam rapat yang digelar usai salat Jumat, Dekanat akhirnya memutuskan mahasiswi itu bisa mengikuti yudisium di sesi kedua meski undangan yang diterima ialah yudisium sesi pertama.
Peristiwa ini diungkap Kuasa Hukum korban dari Dosen Reza Ghasarma, Sri Lestari, menimbulkan trauma bagi mahasiswi tersebut.
Korban mengalami luka dua kali, luka sebagai korban pelecehan seksual, sekaligus luka karena diperlakukan tidak seharusnya dialami peserta didik. “Selain menjadi korban pelecehan seksual, ia pun jadi korban penyekapan, ada dua pelanggaran hukum terjadi padanya,” ujar Sri.
Diminta Nomor Rekening lalu Dikirim Pesan Porno
“Oh ya, gak usah panggil “pak”, panggil “kak”, pesan WhatsApp yang tiba-tiba diterima korban, menjelang tengah malam.
Awalnya dia bingung, mengapa dosen yang dikenalnya sebagai dosen pembimbing minta dipanggil seorang kakak.
Tidak hanya minta dipanggil sebagai seorang kakak, nomor WhatsApp itu menanyakan nomor rekening para korban yang menjadi sasarannya.
“Tadi lagi nunggu siapa?, kirim nomor rekening ya,” isi pesan WhatsApp, kepada korban lainnya.
Tampaknya “jurus” pelaku sama. Pertanyaan yang sama disampaikan pada korban lainnya.
Bermula menawarkan diri sebagai calon pembimbing skripsi. Saat korban kebingungan karena bahan skripsi, ia pun menawarkan skripsi yang telah jadi. Semua penawaran ini membuat para korban curiga.
Selain isi pesan yang dikirim menanyakan alamat rumah, tinggal sama siapa dan apakah sudah punya pacar atau belum, minta nomor rekening, menawarkan skripsi yang sudah jadi, hingga menawarkan bekerja di perbankan ternama, pesan-pesan ini pun berusaha menyakinkan jika pelaku ingin menjadi teman dekat, best friend.
Beberapa penawaran lainnya makin membuat korban curiga, saat pesan dikirim mulai tidak senonoh sebagai seorang dosen pembimbing.
Misalnya menanyakan keperawanan, dan hal-hal berbau seks lainnya.
Selain tindakan mengirim pesan, pelaku pun pernah berusaha “mengambil kesempatan” kuasanya atas kewenangan sebagai dosen pembimbing, seperti menyentuh berlebihan saat bersalaman, menawarkan mengantarkan ke rumah lalu menunggu korban saat akan pulang ke rumah.
Pesan-pesan yang dikirim bermula saat pelaku menanyakan nomor WhatsApp, tidak hanya satu nomor, namun juga berganti tiga nomor berbeda. Bahkan, meminta korban menggunakan aplikasi yang bisa menghapus otomatis pesan selama berkomunikasi.
Para korban yang berusaha menyelesaikan tugas akademik pun mulai resah, marah, dan sedih.
Sempat ditanya pada pelaku, apa kesalahan para korban hingga harus mendapatkan dosen dengan permintaan yang tidak senonoh.
“Jika baca isi pesan-pesannya sudah sangat tidak senonoh. Hal-hal yang seharusnya tidak perlu ditanyakan sebagai seorang dosen pembimbing, sampai menanyakan keperawanan, dan hal-hal yang berhubungan dengan seks,” sambung Sri, saat ditemui Suarasumsel.id belum lama ini.
Perilaku tidak seharusnya dilakukan dosen pembimbing, misalnya menghubungi berkali-kali tanpa jelas apa tujuan dan maksud, mengajak video call bukan untuk urusan akademik, sekaligus inten menghubungi di malam hari.
“Ini akan menjadi trauma bagi anak-anak, peserta didik yang seharusnya dilindungi. Apalagi ini lembaga pendidik,” ujar Sri.
Diakui Sri, tidak mudah membuat para korban untuk bersuara, menyampaikan jika dia pun menjadi korban “kesewenangan” dosen yang tidak seharusnya.
Sri mengungkapkan saat ini tengah menjadi pendamping empat mahasiswi korban pelecehan dari Dosen Reza Ghasarma.
“Kita menguatkan mental, anak-anak ini, agar mau dan berani mengungkapkan. Perkara pelecehan seksual ini, bukan perkara pidana biasa. Karena itu, polisi pun hendaknya berperspektif melindungi korban, sekaligus bisa menjeratnya dengan UU ITE,” harap Sri.
Dosen Memeluk Saat Bimbingan Skripsi
Akhir September lalu, di awal pekan tepatnya, 27 September pagi. Media sosial dengan tagar Unsri banyak dibagikan netizen di media sosial Twitter.
Sehari sebelumnya utas tersebut sudah muncul dan baru kemudian netizen membicarakannya sebagai tindakan tidak seharusnya dilakukan dosen pembimbing.
Mulanya sang pengirim pesan ini mengenalkan sebagai mahasiswi semester atas yang sedang mengejar ketertinggalan skripsinya karena sakit.
Akhir pekan sebelumnya, dia mendatangi dosen di ruang laboratorium. Tindakan bergegas ini dilakukannya setelah mendapatkan informasi dari adik tingkat, jika dosen pembimbing tersebut berada di kampus dan tengah berada di ruang laboratorium FKIP.
Diceritakan mahasiswi ini, jika saat itu, dosen tengah sendiri di kantornya. Setelah dipersilakan masuk, keduanya terlibat obrolan mengenai skripsi.
Pelaku sempat menanyakan kondisinya yang memang terlihat pucat karena masih tahap pemulihan setelah sakit.
Pelaku kemudian bertanya penyebab mahasiswi yang lambat lulus ini. Karena terus dipaksa bertanya, mahasiswi ini pun menceritakan situasi yang dialaminya.
Diungkapkannya, jika ia pun menghadapi masalah keluarga, yang mana kedua orang tuanya bakal bercerai. Selain masalah itu, mahasiswi pun mengungkapkan jika menghadapi masalah ekonomi.
“Karena terus dipancing untuk bercerita, aku sedih dan terkesan mewek,” tulisnya dalam cerita tersebut.
Situasi ini dimanfaatkan dosen dengan langsung memeluk mahasiswi tersebut. "Aku kaget dan aku pikir itu hanya bentuk empati atas masalah yang ku alami," sambung mahasiswi ini.
Saat akan pamitan, pelaku kembali mengulang tindakan asusilanya tersebut dan meminta agar mahasiswi ini tidak menceritakan kejadian tersebut pada siapapun.
Hingga akhirnya mahasiswi ini kebingungan menghadapi kondisinya saat ini. Apakah ia harus mendiamkan, atau menceritakan hal ini pada Ketua Prodi atau Kaprodi.
Mahasiswi ini pun ragu karena, ia tidak memiliki bukti yang cukup kuat, sekaligus keberlangsungan akademik yang tengah ia jalani. "Demi Allah, aku idak (tidak) ngarang cerito (mengarang cerita) ini, tolong di up, aku butuh saran," ujarnya menutup cerita.
Polisi Menahan Dua Pelaku
Setelah menerima laporan para korban, polisi pun melakukan pemeriksaan mendalam (penyidikan). Proses penyidikan pertama dilakukan pada Dosen Adhitya Rol Asmi, M.Pd, pada Senin (6/12/2021).
Pemeriksaan dilakukan setelah Unit PPA Ditreskrimum Polda Sumsel memeriksa korban, saksi dan olah Tempat Kejadian Perkara (TKP).
Penahanan dilakukan setelah polisi menilai pelaporan telah memenuhi unsur tindak pidana.
Dosen Adhitya Rol Asmi yang pernah menjabat sebagai Kepala Laboratorium FKIP Sejarah ini dijerat pasal 289 atau 294 ayat 2 point 1, dengan ancaman 7 hingga 9 tahun kurungan penjara.
Menyusul dosen Adhitya Rol Asmi, dosen Reza Ghasarma yang dilaporkan oleh tiga mahasiswi pun ditahan oleh Unit PPA Ditreskrimum Polda Sumsel, Jumat (11/12/2021).
Penahanan dilakukan setelah polisi mendapatkan bukti kuat, jika nomor ponsel yang dilaporkan korban adalah milik pelaku. “Penelusuran nomor ponsel ke provider, hingga mengetahui rekam jejak digital atas nomor ponsel bersangkutan. Polisi melakukan penahanan 20 hari ke depan,” ujar Dirkrimum Polda Sumsel, Kombes Pol Hisar Siallagan, Jumat (11/12/2021).
Meski membatah, sambung Hisar, polisi sudah mempunyai bukti kuat guna menjerat pelaku dosen ini dengan ancaman Pasal 9 Junto 35 Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008, tentang Pornografi, dengan ancaman hukuman 11 tahun penjara.
Penahanan dua dosen ini pun mendapatkan apresiasi publik, terutama kalangan alumni Unsri.
Kekerasan Seksual Ibarat Fenomena Gunung Es
Kasus kekerasan seksual di kampus, seperti halnya yang terjadi di Unsri ini ibarat fenomena gunung es. Fenomena yang baru sedikit terungkap di permukaan dan dipastikan bakal lebih banyak ditemukan yang belum terungkap.
Banyak korban yang memilih tidak melaporkan peristiwa kekerasan atau pelecehan seksual tersebut. Penyebabnya karena banyak alasan, di antaranya relasi hubungan kuasa yang kuat atau tidak imbang antar pelaku dan korban.
Selain itu itu, proses hukum yang panjang sekaligus tekanan sosial atas nama menjaga nama baik institusi atau lembaga.
"Jika di lembaga pendidikan ini, tidak adanya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual yang melindungi korban, terutama kerahasiaan dan keamanan korban," ujar Ketua Dewan Pengurus WCC Palembang, Yeni Roslaini Izzi.
Yenni pun berpendapat, masih kuat budaya patriarki termasuk di Sumsel yang membuat budaya victim bliming, kepada korban yang melaporkan peristiwa tersebut.
Pada kasus mahasiswi Unsri, Yenni menambahkan saat para korban telah berani mengungkapkan peristiwa kekerasan seksual yang dialami, pihak Rektorat malah terkesan melindungi pelaku.
"Adanya upaya-upaya pemanggilan yang dilakukan kampus, tanpa adanya pendampingan, sekaligus menegaskan jika tidak hadir maka akan mempengaruhi adanya masalah-masalah lainnya, maka ini jelas sebuah intimidasi," terang Yenni.
Diungkapkan Yenni, saat pandemi ini, kasus kekerasan seksual memang mengalami peningkatan, baik karena mediumnya kini beralih ke digital, dan juga makin mudah diakses oleh berbagai kalangan.
“Misalnya, makin muncul group-group open booking, di aplikasi pertemanan dan aplikasi digital lainnya. Ini yang sebenarnya juga membahayakan saat pandemi, rutinitas lebih banyak beralih ke smartphone, terutama kalangan yang rentan ya, seperti anak-anak dan remaja putri,” ujarnya.
Selain di kalangan lingkungan perguruan tinggi, Sumsel juga mencatat kasus kekerasan di lingkungan Pondok Pesantren atau Ponpes.
Polisi belakangan mampu mengungkap kasus kekerasan seksual yang terjadi malah pada lembaga pendidikan agama, yang dilakukan oleh guru atau pengurus pondoknya sendiri.
Situasi ini menjadi catatan pentingnya pengesahan UU Penghapusan Kekerasan Seksual atau UU PKS.
LBH Palembang, juga menemukan kasus kekerasan seksual di kampus lainnya, yang belum terungkap ke permukaan.
Unsri Beri Saksi
Dari hasil kerja tim etik FKIP, terbit surat keputusan Rektor Nomor 0435/UN9/SK.BUK.KP/2021,tgl 18 November, Tentang Penetapan Sanksi Tegas terhadap Dosen FKIP.
Adapun saksi diberikan yakni, pemberhentian Kepala Laboratorium, penundaan kenaikan gaji berkala selama 4 tahun, penundaan kenaikan pangkat selama 4 tahun , sekaligus penundaan pengajuan sertifikasi dosen selama 4 tahun.
Sedangkan untuk dosen di Fakultas Ekonomi (FE), berdasarkan hasil kerja tim etik dan surat edaran Dekan FE NO. 0458/UN9.FE/TU-SB4/2021 tentang pembebasan tugas sementara dosen Reza Ghasarma dari tugas - tugas sebagai dosen.
"Sekarang kedua dosen ini sedang berproses masalah hukum di Polda Sumsel ,mari kita hormati proses hukum di Polda ini," ungkap Rektor Unsri, Anis Saggaf belum lama ini.
Untuk percepatan penyelesaian masalah ini, lanjut Anis Unsri telah membentuk tim pencari fakta yang diketuai Dekan Fakultas Hukum, Dr. Febrian, SH, MH.
"Untuk mencegah terjadinya kejadian berulang dan mengacu pada Permendikbud Ristek No.30 tahun 2021, Unsri telah membentuk tim satgas penanganan kekerasan seksual Unsri, Ketua Prof.Dr.Alfitri,MSi, anggota 10 orang," ujar Anis.
"Kita serahkan kasus ini ke Polda Sumsel, apakah benar atau tidak kita lihat nanti kebenarannya, apa pun keputusannya kita hormati. Jika terkuak kebenarannya kita tidak bisa tawar-tawar lagi," ujar Ketua Satgas, Alfitri.
Kontributor : Welly Jasrial Tanjung