SuaraSumsel.id - Koflik lahan yang terjadi di Desa Suka Mukti, Kecamatan Mesuji Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan mendapatkan perhatian dari Komnas HAM.
Komisioner Komnas HAM, Sandrayati Moniaga mengungkapkan saat terjadi permasalahan di suatu bidang lahan, hendaknya semua pihak dapat menahan agar tidak terjadi tindakan anarkis. Perlu diingatkan mengenai moratorium lahan, baik dari masyarakat maupun dari perusahaan.
"Dengan situasi yang masih harus mengungkapkan fakta-fakata kebeneran akan aset tanah, maka hendaknya harus ada moratorium baik antar petani dan perusahaan," kata Sandrayanti, dalam acara Webinar yang diselenggarakan guna memperingati Hak Asasi Manusia (HAM)
Webinar dengan mengangkat studi dan diskusi hukum dan HAM, tentang studi kasus sengketa lahan Mesuji, Praktik Nyata Mafia Tanah oleh Pejabat Negara, diingatkan agar moratorium harus dilakukan guna menghormati proses hukum.
Baca Juga:Ini Klasemen Sementara Liga 3 Zona Sumsel, Group A dan Group B
Moratorium yang dimaksud ialah perusahaan agar tidak mengelola lahan tersebut, dan masyarakat pun menahan tindakan agar tidak anarkis.
Ditegaskan Sandrayanti, upaya pembatalan yang dilakukan BPN di tingkat Sumatera Selatan harus juga diusut. Apakah pembatalan sertifikat dengan dalih sertifikat cacat adminitrasi sudah sesuai dengan aturannya.
Karena berdasarkan peraturan, pembatalan sertifikat tanah memiliki alasan yang kuat. Perlu juga BPN mengecek ulang, pembalatan 36 sertifikat dengan dalil disebabkan karena cacat adminitrasi.
"Penting juga BPN menggali penyebab pembatalan 36 sertifikat tanah tersebut," ujarnya.
Komnas HAM pun mengingatkan agar masyarakat petani juga makin memperkuat peta-peta atas kepemilikan lahannya. "Butuh penelitian yang lebih mendalam akan hal ini, karena itu Komnas HAM belum mengeluarkan pernyataan resmi untuk saat ini," imbuh Sandrayati.
Baca Juga:Dua Kabupaten di Sumsel Ini, Capaian Target Vaksin COVID-19 Terendah
Dalam webinar tersebut, Komnas HAM berharap pihak kepolisian pun hendaknya tidak memihak atau mampu berdiri pada dasar hukum yang dibenarkan.
Walaupun sampai saat ini, terjadi pelaporan terhadap petani ke polisi, ia pun berharap polisi dapat memperdalam kasus hukumnya.
"Melakukan pelaporan memang hak setiap warga negara, misalnya saat ini perusahaan melaporkan petani, namun yang diharapkan dari polisi ialah sikap agar melihat kasus ini berdasarkan dasar hukum yang tepat, apalagi lahannya masih berkonflik," tutupnya.
Menanggapi permasalahan ini, Direktur Penanganan Sengketa Pertanahan Kementerian ATR/BPN, Firdaus mengungkapkan permasalahan pembatalan 36 sertifikat petani di Desa Suka Mukti disebabkan karena pelaporan tumpang tidih lahan sertifikat tersebut di HGU perusahaan.
Karena itu, sertifikat yang dikeluarkan oleh BPN pada tahun 2020 dinilai cacat adminitrasi.
"Laporan yang diperoleh, pembatalan karena adanya tumpang tindih, namun nanti BPN akan kroscek kembali mengenai hal tersebut," ujar dia.
HGU di lahan Trasmigrasi
Konflik pertahanan di desa Suka Mukti Mesuji kabupaten Ogan Komering Ilir ini dinilai Kadiv Kampanye Walhi, Hadi Djatmika kerap terjadi di banyak daerah.
Hal tersebut disebabkan banyak hal, namun muaranya BPN sebagai lembaga yang bertugas menetapkan keabsahan dari hak tanah tidak transparan.
Misalnya di Desa Suka Mukti yang masyarakat sebelumnya ialah masyarakat dalam program transmigrasi sejak tahun 1981 an tergusur oleh HGU perkebunan sawit.
Perlu diteliti kembali, apakah HGU yang terbit di perusahaan ini diperbolehkan di lahan yang masih berstatus program transmigrasi pemerintah.
"Apalagi jika dikatakan memiliki HGU, maka masyarakat mana bisa menjual lahan tersebut karena masih terikat program transmigrasi. Karena dalam program transmigrasi, lahan baru bisa dijual belikan setelah 15 tahun," ujar dia.
Sehingga, sambung Hadi, jika muncul HGU pada tahun 1991 milik perusahaan PT Treekreasi Marga Mulya atau PT. TMM, maka perlu diperdalam transaksi jual belinya.