SuaraSumsel.id - Berbagai persoalan lingkungan hidup pada saat ini, termasuk sejumlah wabah virus yang mematikan seperti Covid-19, besar kemungkinan dikarenakan masyarakat di dunia pada hari ini telah kehilangan banyak pengetahuan.
Misalnya pengetahuan tentang hidup harmonis dengan alam, serta makanan sehat dan obat-obatan.
Teater Potlot mengusung Festival Panggung Kecil [FPK] 2021, yang didukung Taman Budaya Sriwijaya [TBS] dan Mongabay Indonesia, dengan tema “Batang Waktu Memaknai Lembang” di Taman Budaya Sriwijaya, 25 September-17 Oktober 2021.
“FPK 2021 ini mencoba menggali berbagai pengetahuan terkait nilai-nilai yang memosisikan manusia sebagai makhluk yang hidup harmonis dengan alam, yang digali dan dipresentasikan oleh para pekerja seni di Sumatera Selatan, khususnya dari para pekerja seni dari generasi kekinian,” kata Ketua Teater Potlot, Conie Sema.
Presentasi karya dimulai dari “Hula Hope Hole” oleh Kristian Padmasari. Karya ini mencoba menceritakan bagaimana wabah virus dan bakteri yang mematikan, pernah terjadi pada kehidupan manusia di masa lalu.
Pesannya, manusia seharusnya belajar dari peristiwa tersebut, sehingga bencana tersebut tidak berulang. Ternyata, sebagian besar umat manusia lupa dengan sejarah tersebut. Mereka begitu yakin [sombong], jika alam dapat ditaklukan atau dikendalikan.
Dandi Riandi [Studi Teater] menampilkan “Sepotong Tubuh Kembangan”.
Pertunjukan yang didasari dari studi gerak seni silat ini mencoba mencari gerak baru. Sebab “guru” dari seni silat yakni alam dan makhluk hidup lainnya pada saat ini sudah mengalami perubahan. Misalnya harimau, yang selama ini merupakan guru dari seni silat, pada saat ini hubungannya tidak lagi harmonis dengan manusia.
Atta dan Jaid Saidi menampilkan musikalisasi dari sejumlah puisi yang bertutur atau menarasikan tentang kehidupan rawa gambut.
Komunitas Kota Kata menyajikan kegelisahan manusia pada saat ini dalam karya “Kelabu di Kepala Anwar”. Palembang Mime Club menampilkan “Rectum Manner”. Sanggar Harapan Jaya menampilkan pertunjukan Dul Muluk secara tunggal.
Teater Teriax menyajikan realitas kehidupan remaja pada saat ini. Tentang ancaman budaya asing terhadap kehidupan remaja. Sebuah tema lama, yang terus menghiasi kehidupan remaja Indonesia dalam beberapa generasi.
Musik diwakili tiga pekerja seni dengan minat yang berbeda.
Fadel Semende menyajikan “Sardundun”. Sastra tutur yang menggambarkan bagaimana manusia ingin hidup nyaman dengan lingkungan sekitarnya.
Silo Siswanto, pemusik dan peneliti musik dari Universitas PGRI Palembang, mempresentasikan karya berjudul “Ayunan Umak” yang artinya “ayunan ibu”. Sementara Fikri MS mempresentasikan “Artmosf [Industrial versus Theremin Light]”.
Baca Juga:Unik! Nama Anak di Sumsel Ini, ABCDEF GHIJKL Zuzu
Sonia Anisah Utami yang menampilkan “Remembering Mother In The River” dalam bentuk tari.
Tari ini menyajikan kenangan para perempuan terkait dengan kehidupan di Sungai Musi. FPT 2021 diutup dengan pertunjukan “Inscribe Body” oleh Teater Potlot. Teks ini mencoba menyajikan sejarah narasi-narasi penguasaan di Indonesia, khususnya Sumatera Selatan.
“Memang tidak semua karya yang tampil dalam FPT 2021 ini berdasarkan kajian yang mendalam, tapi setidaknya ada keinginan untuk menempatkan seni sebagai sumber ilmu pengetahuan. Semoga pada FPT 2022, para pekerja seni yang tampil memberikan pengetahuan-pengetahuan yang selama ini terkubur,” kata Conie Sema.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Selatan, Aufa Syahrizal berharap para seniman atau pekerja seni di Sumatera Selatan dapat melahirkan banyak karya atau menunjukan jati dirinya melalui karya, sehingga karya-karya seni tersebut mampu memaknai peradaban manusia pada hari ini