SuaraSumsel.id - Ahmad Abdul Halim nampak resah duduk di lapaknya. Selama tiga puluh menit tidak ada satupun pembeli yang datang. Ia nampak menyibukkan diri berbincang dengan sang istri sembari merapikan ponsel dagangannya.
Pria berusia 54 tahun tersebut mulanya seorang fotografer yang sudah bergerak lama di berbagai acara hajatan pernikahan.
Sebelum terjadi pandemi Covid-19, bisa-bisa sampai tiga kali dalam seminggu ia mondar-mandir memenuhi panggilan sebagai pengabadi momen hajatan, ia pun sering menjadi pemotret candangan di salah satu studio ternama di Palembang. Pada akhir pekan, mulai dari Jum’at, Sabtu, Minggu waktu-waktu emasnya mengumpulkan rejeki.
Namun kini, ia mengurangi aktivitas fotografinya dan lebih banyak menghabiskan waktu di konter ponsel milik istrinya. Bukan karena memasuki usia senja, melainkan pandemi dan PPKM Level empat yang menimpa Palembang, Sumatera Selatan melarang pengantin menggelar resepsi pernikahan maupun hajatan skala besar hingga mengakibatkan kerumunan.
Baca Juga:Pasien COVID 19 Sumsel Sembuh Meningkat, Keterisian RS Menurun
“Sekarang resepsi tidak boleh sama sekali, paling-paling untuk pernikahan hanya acara akad dan jarang menggunakan jasa profesional karena cuma acara singkat,”ungkapnya di lapak ponsel miliknya di Depan Internasional Plaza (IP) mal.
Berkarir sebagai fotografer sejak masih bujangan 20 tahun silam, Pria yang akrab disapa Halim ini baru kali ini merasakan sepi job dengan penurunan yang begitu drastis. Bahkan, dia bersama tim fotografer hajatannya harus menurunkan harga agar tetap ada yang memakai jasanya.
“Biasanya satu kali acara tim fotografer dapat diupah 3,5 juta sampai lima juta, sekarang Rp2 Juta malahan Rp1,5 juta pun kami ambil, daripada tidak ada job,” ceritanya.
Saat ini dalam sebulan, jarang sekali ia ada pekerjaan untuk memotret. Pengantin yang melangsungkan acara merasakan was-was karena takut acaranya dibubarkan. Baginya acaranya jadi tidak teratur, tamu undangan hanya datang, makan, langsung pulang, terkadang tak ada foto-foto.
“Kalau senadainya motret, diingatkan sekali agar tidak di publikasikan ke media sosial karena khawatir bakal viral dan dibubarkan acaranya,”bebernya.
Baca Juga:Ekspor Karet Sumsel Kian Menanjak, Meski Pandemi COVID 19
Menghadapi keresahannya menanti job memotret, saat ini yang ia lakukan menemani sang istri yang juga terdampak PPKM Level empat yang membuat wanita tersebut membuka lapak jual beli ponsel di pelataran IP Mal.
Ia bermodalkan meja kecil dengan pajangan beberapa ponsel baru dan sudah dipakai di lapaknya. Karena dipinggir jalan, Halim memilih untuk menemani sang istri berjualan dari pukul 10.00 pagi sampai jam 5 petang.
Dua lapak jual beli ponsel di dalam Gedung IP Mal milik istrinya harus ditutup seiring larangan operasional Mal, seorang karyawannya juga terpaksa diberhentikan.
“Kalau kita jadi PNS enak, di rumah aja ngapain di sini (di lapak) panas-panasan, kadangan hujan. Tapi sekarang di sinilah sumber penghasilan,” katanya langsung menghela napas panjang.
Bertahan di tengah himpitan ekonomi, Halim dan istrinya akhirnya pasrah dan harus tetap beryukur. Ada seorang gadis yang masih SMP yang harus dipenuhi kebutuhannya, belum lagi biaya hidup yang tidak murah.
“Sekarang sehari dapat Rp100 ribu - Rp200 ribu syukur, setidaknya uang makan sudah bisa dipenuhi hari itu.” akunya.
Menurut keterangannya, bantuan sosial dari pemerintah tak pernah datang ke rumah Halim. Yang ia tau justru bantuan tersebut singgah di tangan orang-orang yang bisa disebut memiliki harta.
Namun setidaknya, bantuan subisdi pembayaran atau penangguhan cicilan cukup meringankan beban di kala Pandemi yang mencekik.
“Bayar rumah kan rumah kredit, anak sekolah online kuota tidak berhenti-henti, SPP nya tetap di bayar padahal sekolah dari rumah, belum biaya lainnya,”terang ia diiringi tawa kecil.
Sesekali Halim menyapa orang yang lewat lapaknya, ia tawarkan dengan ramah berharap ada yang singgah. “Cari Ponsel apa mbak, mampir dulu,” katanya sambil menjukkan ponsel dagangannya. Satu, dua orang yang lewat terlihat tak memberi respon atau sebagian hanya melambaikan tangan tanda menolak.
“Dulu enak fotografer masih ada saja pekerjaan, namun sejak PPKM level 4 semua menjerit,” pungkasnya.