SuaraSumsel.id - Patah hati memang jadi pembahasan yang selalu menarik. Ibarat bermimpi, tapi belum tercapai. Retak di perjalanan dan berujung sakit hati.
Obrolan mengenai patah hati ini dibahas dalam bedah buku Evolusi Patah Hati A Jurney from tears to happiness, yang ditulis oleh Lely Mela Sari.
Dalam momen Amarta Talks, yakni komunitas perempuan di Palembang berbicara, penulis buku Evolusi Patah Hati membagikan kisah bagaimana ia menjalani sebuah proses kehilangan untuk belajar melepaskan dengan ikhlas dan memaafkan.
"Berusaha memahami definisi kehilangan dan apa yang menjadi kebahagian sesungguhnya," ujarnya, Sabtu (15/8/2021).
Baca Juga:Sumsel Disiapkan Jadi Produsen Tanaman Porang
Memahami kehilangan atau lebih dikenal patah hati memang tidak mudah. Apalagi, sambung Lely, ada stigma-stigma sosial yang muncul tertuju kepada perempuan.
Misalnya, kehilangan saat pernikahan yang belum berlangsung lama. Stigma kegagalan pernikahan muda, lebih banyak terarah kepada perempuan.
"Misalnya dianggap selingkuh duluan, tidak bisa menjaga keharmonisan, atau hal-hal buruk lainnya yang langsung tertuju pada perempuannya," ujar ia.
Hal-hal tersebut yang cendrung membuat perempuan akhirnya lebih merasa jatuh. Situasi sosial yang kurang mendukung pada stigma-stigma perempuan memberi tekanan yang lebih berat.
"Belum lagi misalnya perempuan tersebut hidup di kota besar, rencana pernikahan yang kembali gagal dan lainnya. Perempuan cendrung lebih merasa terbeban," ungkap Ayi.
Baca Juga:Medio Agustus, Baru 1 Juta Warga Sumsel Divaksin Dosis Pertama COVID 19
Keberadaan stigma sosial ini pun diakui membuat perempuan harus bisa lebih kuat. Patah hati harus diselesaikan.
Dikatakan Ayi, patah hati sebenarnya membuat semua yang merasakan akan jauh lebih ikhlas, lebih dalam memahami hidup, dan lebih mudah mememukan kebahagian diri.
Pembahasan patah hati ini pun diramaikan dengan sekelumit pengalaman dari mereka yang hadir untuk berbagi, saling menguatkan dan menganggap patah hati sebuah realita hidup.
Dalam pendapatnya, pematik diskusi Ade Indriani Zuchri mengungkapkan patah ini, hanya meletakkan kesedihan yang kemudian bisa dikelola menjadi kemerdekaan bagi diri sendiri.
Dalam teorinya, pemikiran seseorang memang mistri, meski bisa ditebak atau dipahami oleh orang lain. Bisa jadi apa yang dipikirkan sama dengan orang lain, atau pikiran orang lain akan sama dengan yang kita pikirkan.
Termasuk bagaimana seseorang yang mengalami patah hati, bagi yang sudah sama-sama merasakan maka akan menyatakan hal yang sama, dan kependihan yang sama.
Menurut Ludwig Wittgeinsten, seorang filsuf bahasa abad 20 dari Wina dalam bukunya Philosphical Investigation bahwa hipotesa dua orang yang sama tentang hal yang sama akan menjadi tidak sama atau berbeda atau juga disebut Inverted Qualia.
"Jadi pada saat penulis Evolusi Patah Hati Ada dalam Qualia kepedihan, maka orang yang mengalami keadaan yang sama, akan menjadi dua orang dalam hipotesa yang sama tentang Qualia kepedihan dan patah hati.. Namun apakah Qualia tentang patah hati bermakna mapan/ permanen? Belum tentu, karena Qualia terhadap bahasa sangat dipengaruhi pada keadaan seseorang saat itu," ungkapnya..