Tasmalinda
Kamis, 13 November 2025 | 14:06 WIB
Ribka Tjiptaning. (istimewa)
Baca 10 detik
  • Ribka Tjiptaning kembali disorot setelah pernyataannya tentang Soeharto memicu laporan ke Bareskrim.

  • Ia dikenal sebagai aktivis garis depan yang tumbuh dengan stigma akibat peristiwa 1965.

  • Ribka menulis buku “Aku Bangga Jadi Anak PKI” yang menceritakan pengalaman masa kecilnya.

SuaraSumsel.id -
Sosok Ribka Tjiptaning Proletariyati kembali menjadi sorotan setelah pernyataannya memicu kontroversi dan berujung pada laporan ke Bareskrim Polri. Nama Ribka bukanlah nama baru dalam dunia politik Indonesia.

Sejak era sebelum Reformasi, ia sudah dikenal sebagai aktivis yang berani bersuara, vokal mengkritik kebijakan yang dianggapnya tidak berpihak pada rakyat kecil, dan konsisten membawa pengalaman personal ke dalam sikap politiknya.

Perjalanan Ribka tidak bisa dilepaskan dari latar masa kecilnya yang hidup di tengah stigma peristiwa 1965. Ia tumbuh sebagai anak dari keluarga yang terkena dampak langsung situasi politik saat itu. Pengalaman tersebut terekam jelas dalam memoarnya yang berjudul “Aku Bangga Jadi Anak PKI”, sebuah buku yang membuka kisah tentang diskriminasi sosial, tekanan psikologis, dan pergulatannya memahami identitas di tengah stigma masyarakat.

Buku ini bukan hanya catatan pribadi, tetapi juga gambaran tentang luka sejarah yang jarang dituturkan secara terbuka.

Karier aktivismenya dimulai jauh sebelum ia masuk ke panggung politik formal. Ribka terlibat dalam berbagai gerakan pro-demokrasi dan aksi mahasiswa yang menuntut pembukaan ruang kebebasan sipil menjelang runtuhnya rezim Orde Baru. Sikapnya yang keras, lantang, dan tanpa kompromi membuatnya dikenal sebagai salah satu aktivis perempuan paling vokal pada masanya.

Setelah Reformasi, Ribka kemudian bergabung dengan PDI Perjuangan (PDI-P) dan terpilih menjadi anggota DPR RI selama beberapa periode. Di Senayan, gaya politiknya tidak berubah. Ia tetap menjadi figur yang berani mengkritik kebijakan pemerintah, termasuk ketika kritik itu disampaikan kepada pemerintahan yang didukung partainya sendiri. Ribka sering tampil dalam isu kesehatan, BPJS, harga obat, hingga perlindungan bagi kelompok rentan. Sikapnya yang blak-blakan menjadikannya sosok yang sering muncul dalam perdebatan publik.

Belakangan ini, Ribka kembali mengundang perhatian setelah pernyataannya mengenai Soeharto beredar luas. Dalam sebuah wawancara di Sekolah PDI-P Lenteng Agung pada 28 Oktober 2025, ia menyatakan bahwa Soeharto “membunuh jutaan rakyat” dan mempertanyakan rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada mantan presiden tersebut.

Pernyataan itu kemudian dilaporkan oleh Aliansi Rakyat Anti Hoaks (ARAH) ke Bareskrim Polri pada 12 November 2025. Pelapor menilai ucapannya dapat menyesatkan publik karena tidak didukung putusan pengadilan yang menyatakan kebenaran fakta tersebut.

Laporan tersebut langsung memicu diskusi luas di ruang publik. Ada yang menilai bahwa Ribka hanya menyuarakan pendapat berdasarkan pengalaman sejarah keluarga dan persepsi politiknya, sementara pihak lain menilai pernyataannya berpotensi memicu konflik sosial.

Baca Juga: Bank Sumsel Babel Hadir untuk ASN: Solusi Keuangan Aman di Masa Pensiun

Meski demikian, Ribka belum memberikan banyak tanggapan dan memilih untuk melanjutkan aktivitasnya seperti biasa.

Perjalanan panjang Ribka Tjiptaning yakni dari anak yang tumbuh dalam stigma, menjadi aktivis yang selalu berada di garis depan, hingga politisi senior yang keberaniannya tidak pernah surut—membuatnya menjadi salah satu tokoh yang selalu menarik perhatian.

Setiap pernyataan dan langkah politiknya tidak pernah lepas dari pembicaraan publik, menjadikannya figur yang terus hadir dalam dinamika politik Indonesia.

Load More