Tasmalinda
Jum'at, 03 Oktober 2025 | 12:03 WIB
acara nonton bareng film dokumenter Tunggu Tumbang yang Tak Tumbang
Baca 10 detik
  • Ketua Dewan Kopi Sumatera Selatan, Zain Ismed, memberikan apresiasi tinggi terhadap film Tunggu Tubang Tak Akan Pernah Tumbang karena dianggap sebagai upaya pelestarian budaya dan lingkungan.

  • Zain menekankan pentingnya menjaga keberlanjutan kopi Semendo dan ekosistemnya agar produksi tetap stabil dan generasi mendatang tidak dirugikan.

  • Film ini menyoroti filosofi tunggu tubang, tradisi Semendo yang menempatkan perempuan sebagai pengelola aset keluarga, sekaligus mengingatkan bahwa pembangunan harus selaras dengan pelestarian lingkungan.

SuaraSumsel.id - Ketua Dewan Kopi Sumatera Selatan, Zain Ismed, memberikan apresiasi tinggi terhadap film Tunggu Tubang Tak Akan Tumbang.

Usai mengikuti nonton bersama sekaligus diskusi, Zain mengungkapkan jika film ini bukan sekadar karya seni, tetapi juga sebuah upaya pelestarian budaya dan lingkungan, khususnya terkait kopi Semendo di Kecamatan Muara Enim, Sumatera Selatan.

“Semua kopi memang enak, tapi kopi Semendo punya keistimewaan. Kopi ini enak bukan hanya karena rasa, melainkan karena hutannya masih ada dan lingkungannya masih terjaga,” kata Zain.

Dalam pandangannya, kopi Semendo kini menghadapi ancaman cukup serius. Selama tiga hingga empat tahun terakhir, aktivitas pertambangan di wilayah Semendo telah menimbulkan kerusakan alam yang berdampak langsung pada menurunnya produksi kopi.

Kondisi ini, menurut Zain, mirip dengan apa yang terjadi di Vietnam dan Brasil, dua negara penghasil kopi besar yang gagal menjaga keberlanjutan karena eksploitasi berlebihan.

“Lingkungan harus seimbang. Kalau tidak, kopi yang menjadi kebanggaan kita akan hilang. Yang rugi bukan hanya petani, tapi juga generasi yang akan datang,” tegasnya.

Lebih jauh, ia menyoroti bahwa kopi Semendo selama ini banyak digunakan perusahaan besar, namun identitasnya kerap diklaim daerah lain seperti Lampung dan Medan.

Padahal, Semendo memiliki filosofi kuat dalam menjaga ekosistem dan keberlanjutan. Selain itu, masyarakat setempat kini mulai dikenalkan pada cara bertani yang lebih organik, sebab penggunaan pupuk kimia berlebihan bisa merusak ekosistem tanah sekaligus mengubah rasa kopi.

Film Tunggu Tubang Tak Akan Pernah Tumbang yang digarap generasi Z dan milenial ini mengangkat filosofi tunggu tubang, tradisi Semendo yang menempatkan perempuan sebagai pewaris utama keluarga.

Baca Juga: Saksikan Kisah Tunggu Tubang di UIN Raden Fatah Palembang: Film, Foto, dan Diskusi Publik

Menurut Zain, filosofi tersebut sangat relevan dengan pembangunan daerah masa kini.

“Jika perempuan boleh sekolah, itu akan lebih baik. Karena tunggu tubang bukan hanya penjaga aset, tapi pengelola hasil yang berkelanjutan,” ujarnya.

Ia menambahkan, prinsip tunggu tubang selaras dengan gagasan pelestarian lingkungan yakni hasil bumi boleh dijual, tetapi aset berupa tanah dan hutan harus tetap dijaga.

Selain itu, Zain menyinggung kearifan lokal masyarakat Semendo dalam mengatur pola tanam. Mereka menanam padi hanya sekali setahun untuk menghindari serangan hama, lalu beralih menanam jagung atau kacang-kacangan.

“Kalau dipaksa meningkatkan produksi terus-menerus, ekosistem rusak. Lebih baik padi sekali, lalu ganti tanaman lain. Itu menjaga keseimbangan tanah,” jelasnya.

Menurut Zain, film Tunggu Tubang Tak Akan Pernah Tumbang bukan hanya membuka ruang diskusi tentang budaya, tetapi juga menjadi pengingat penting bahwa pembangunan harus berjalan beriringan dengan pelestarian lingkungan.

Load More