Tasmalinda
Sabtu, 13 September 2025 | 15:16 WIB
pemutaran film Tunggu Tubang tak akan tumbang
Baca 10 detik
  • Ghompok Kolektif akan mendesiminasikan karya budaya mereka lewat pameran foto, pemutaran film dokumenter “Mother Earth”, dan diskusi publik di UIN Raden Fatah Palembang pada 15 September 2025.
  • Film “Mother Earth” dan buku foto “Badah Puyang” mengangkat perjuangan keluarga Tunggu Tubang dalam menjaga pusaka leluhur—sawah, rumah, kebun, dan tebat. Karya ini menekankan pentingnya kearifan lokal
  • Ghompok Kolektif menghadirkan gerakan kultural yang menggabungkan visual, cerita, dan diskusi.
[batas-kesimpulan]

SuaraSumsel.id - Bagaimana jika sebuah tradisi lama yang diwariskan leluhur ternyata menyimpan kunci bagi ketahanan pangan masa kini? Pertanyaan itu menjadi pintu masuk karya-karya terbaru Ghompok Kolektif, komunitas visual storytelling asal Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel) yang segera mendesiminasikan hasil kerjanya lewat film, buku foto, dan pameran publik.

Acara bertajuk “Tunggu Tubang Tak Akan Tumbang: Kedaulatan Pangan Berkelanjutan” ini akan digelar di Bioskop Mini Gedung Auditorium UPT Perpustakaan UIN Raden Fatah, Kampus B Jakabaring Palembang, pada Senin, 15 September 2025.

Menghidupkan Kembali Sistem Adat Semende

Karya utama berupa film dokumenter “Mother Earth” disutradarai Muhammad Tohir. Film ini menyoroti perjalanan sebuah keluarga Tunggu Tubang, sistem adat khas masyarakat Semende Darat, Muara Enim, yang memberikan kuasa kepada perempuan untuk mengelola pusaka keluarga berupa sawah, rumah, kebun, dan tebat (danau buatan).

“Bagi seorang Tunggu Tubang, menjaga pusaka adalah amanah leluhur. Di dalamnya ada larangan menjual sawah, rumah, atau kebun. Amanah ini tak hanya soal warisan benda, tapi juga kedaulatan pangan,” jelas Tohir.

Selain film, Ghompok juga meluncurkan buku foto berjudul ‘Badah Puyang’ karya fotografer Ahmad Rizki Prabu. Buku ini berisi puluhan foto hitam putih yang menyoroti kehidupan sehari-hari masyarakat Tunggu Tubang, dipadukan dengan narasi penulis Yuni Rahmawati.

“Foto hitam putih kami pilih untuk menajamkan makna. Ia menyimpan pesan keabadian, seperti halnya nilai adat yang diwariskan dari puyang (leluhur),” ujar Prabu.

Agenda Pameran dan Diskusi Publik

Acara di Palembang ini akan berlangsung sepanjang hari:

Baca Juga: Sumsel Dipuji Ketum KORPRI Nasional: Tuan Rumah PORNAS XVII 2025 yang Paling Siap

  • Pameran Foto (09.00–16.00 WIB) menampilkan karya dari Badah Puyang.
  • Pemutaran Film “Mother Earth” (13.00 WIB).
  • Diskusi Publik (14.00–17.00 WIB), menghadirkan narasumber Dian Maulina, M.M. (dosen UIN Raden Fatah), Yuni Rahmawati (penulis), Ahmad Rizki Prabu (fotografer), serta Muhammad Tohir (sutradara).
  • Diskusi akan dimoderatori jurnalis Nopri Ismi.

Menurut panitia, kegiatan ini terbuka untuk umum dan diharapkan menjadi ruang belajar bersama tentang bagaimana kearifan lokal bisa memberi inspirasi bagi solusi pangan berkelanjutan.

Tak berhenti di Palembang, Ghompok Kolektif juga akan membawa karya ini kembali ke akar budaya. Rangkaian diseminasi akan dilanjutkan di Desa Muara Tenang, Kecamatan Semende Darat Ulu, Kabupaten Muara Enim, pada akhir September atau awal Oktober 2025.

Tohir berharap karya ini bisa menjadi pemantik kajian lebih luas.

“Ada begitu banyak pengetahuan luar biasa dalam sistem adat Tunggu Tubang. Film dan buku ini hanya permulaan. Semoga masyarakat semakin menyadari bahwa Tunggu Tubang tak akan pernah tumbang,” tegasnya.

Jejak yang Lebih dari Sekadar Karya

Apa yang dilakukan Ghompok Kolektif bukan hanya produksi film atau buku, melainkan sebuah gerakan kultural. Di tengah modernisasi yang kerap mengikis adat, Mother Earth dan Badah Puyang menjadi pengingat bahwa kedaulatan pangan bisa berangkat dari nilai-nilai leluhur.

Dengan menggabungkan visual, cerita, dan ruang diskusi, acara ini tak hanya menyajikan tontonan, tapi juga mengundang publik untuk merenungkan: bagaimana warisan adat bisa menjadi jawaban bagi krisis pangan global?

Load More