Scroll untuk membaca artikel
Tasmalinda
Selasa, 22 April 2025 | 21:18 WIB
Jaringan Sumatera Terang untuk Energi Bersih gelar aksi di Palembang

SuaraSumsel.id - Hari Bumi bukan sekadar seremoni tahunan atau kampanye hijau sesaat—ia adalah seruan mendesak untuk bertindak nyata.

Di tengah eskalasi krisis iklim yang kian tak terbantahkan, Pulau Sumatera berdiri di titik kritis, sebuah persimpangan antara harapan dan kehancuran: memilih jalan transisi energi bersih, atau perlahan tenggelam dalam pusaran polusi dan ketamakan yang menggerogoti bumi dari dalam.

Dahulu, Sumatera dikenal sebagai paru-paru Indonesia, rumah bagi hutan tropis lebat, satwa endemik, dan kehidupan masyarakat adat yang bersinergi dengan alam.

Namun kini, citra itu kian memudar.

Baca Juga: Ini Penjelasan Panjang Alex Noerdin Usai Diperiksa Kasus Pasar Cinde

Dominasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batubara masih mencengkeram sistem energi di Sumatera, menjadi salah satu sumber polusi terbesar yang mengoyak ekosistem, meracuni udara, dan melepaskan emisi karbon dalam jumlah masif.

Kebergantungan pada energi kotor ini bukan hanya mencederai lingkungan lokal, tetapi juga menjadi penyumbang krisis iklim global yang dampaknya kian dirasakan: banjir bandang, kebakaran hutan, hingga perubahan cuaca ekstrem.

Saatnya kita mengubah arah. Hari Bumi harus menjadi momentum bagi Sumatera untuk berani melangkah ke depan—menuju transisi energi yang adil, berkelanjutan, dan berpihak pada kehidupan.

Seruan untuk transisi energi bersih di Sumatera kembali menggema dengan tegas dari para aktivis lingkungan dan pembela hak masyarakat.

Ali Akbar, Konsolidator Sumatera Terang untuk Energi Bersih (STuEB) sekaligus Ketua Kanopi Hijau Indonesia, menyoroti minimnya langkah konkret dari negara dalam menjalankan agenda transisi energi yang sejati.

Baca Juga: Terpidana Korupsi Alex Noerdin Diperiksa Lagi, Kali ini Kasus Pasar Cinde

“Belum ada pergerakan yang signifikan dari negara,” tegasnya.

Load More