Scroll untuk membaca artikel
Tasmalinda
Selasa, 17 Desember 2024 | 09:09 WIB
FGD buku Sastra Tutur dan Perempuan Lahan Basah Sungai Musi yang diterbitkan Teater Potlot. Sejak ratusan tahun lalu, perempuan sudah mengekspresikan dirinya melalui sastra. Foto Yudi Semai.

SuaraSumsel.id - Sejak dahulu perempuan yang hidup di wilayah lahan basah Sungai Musi, sudah akrab dengan dunia sastra. Karya sastra, baik puisi maupun prosa, dijadikan media ekspresi. Baik terkait dengan kegelisahaan dirinya maupun dengan lingkungan sekitarnya.

“Buku yang kami terbitkan ini merupakan respon perempuan terhadap alam, dan hubungan manusia dengan alam, melalui sastra tutur, sejalan dengan perjalanan kondisi lahan basah Sungai Musi, yang saat ini terus mengalami kerusakan,” kata Dian Maulina saat FGD [Focus Group Discussion] “Sastra Tutur dan Perempuan Lahan Basah Sungai Musi” oleh Teater Potlot yang bekerjasama dengan Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri [UIN] Raden Fatah Palembang, di Café & Resto Kawan Ngopi, Palembang, Kamis [12/12/2024].

Dian menjelaskan tujuan dari penerbitan buku yang ditulisnya bersama Arbi Tanjung, yakni memberikan dampak bagi masyarakat di Sumatera Selatan guna menyelamatkan lahan basah Sungai Musi yang tersisa.

Dengan terselamatnya lahan basah tersisa, maka berbagai tradisi terkait dengan perempuan, seperti sastra tutur, kuliner, kerajinan, akan tetap bertahan atau tumbuh kembali.

Baca Juga: Dukungan BRI untuk UMKM Jadi Sorotan di Perayaan HUT ke-129

“Adanya sastra tutur yang berkembang pada masyarakat yang menetap di lahan basah Sumatera Selatan, membuktikan sejak dulu banyak perempuan di Sumatera Selatan yang menjadi pelaku sastra. Bahkan berdasarkan penelitian saya, perempuan di Palembang, di awal abad ke-20, sudah ada yang menuliskan karya puisi pada sejumlah surat kabar, seperti di Pertja Selatan dan Kemudi,” kata Prof. Dr. Endang Rochmiatun, M.Hum., Dekan Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri [UIN] Raden Fatah.

Sastra [klasik maupun modern] sudah menjadi ruang ekspresi perempuan untuk mengisahkan atau menggambarkan kehidupan mereka. Baik yang terkait dengan dirinya, keluarga, maupun dengan lingkungan.

“Tentunya karya sastra tutur yang masih bertahan, yang masih diingat para maestro atau pelestarinya penting untuk diarsipkan dan dipertunjukkan, sehingga menjadi bahan yang baik untuk dikaji dan diteliti terutama untuk menggambarkan kehidupan di masa lalu, dan berbagai pengetahuan yang terkandung di dalamnya,” jelas Endang.

FGD Buku “Sastra Tutur dan Perempuan Lahan Basah Sungai Musi” digelar Teater Potlot yang bekerjasama dengan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Raden Fatah, dihadiri puluhan mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi, pekerja seni dan budaya.

Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan [BPK] Wilayah VI Sumatera Selatan Kristanto Januardi menjelaskan  jika di masa lalu, di Indonesia sudah banyak perempuan yang menyuarakan keresahan atau pikirannya melalui karya sastra. Baik di masa sebelum kedatangan Belanda, maupun di masa pemerintahan Hindia Belanda.

Baca Juga: BRI Bukukan Laba Bersih Rp45,36 Triliun dan Bagikan Dividen Interim 2024

“Tapi perempuan yang menyurakan persoalan lingkungan, seperti di dalam buku ini, bisa jadi merupakan sudut pandang yang berbeda cara membaca karya sastra tutur yang diekspresikan perempuan,” ujarnya.

Peneliti sastra dari Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri [UIN] Raden Fatah Dr. Muhammad Walidin, M.Hum mengapresiasi buku yang diterbitkan Teater Potlot atas dukungan Indonesiana dan LPDP tersebut. Dia lebih khusus menyoroti sastra tutur andai-andai yang dituturkan Cik Isa atau Kajut Odon [109 tahun].

“Mengutip James James Dananjaya, bahwa penelitian terhadap tradisi lisan merupakan aspek penting bagi pembangunan sebuah bangsa.  Pembangunan mempunyai dua aspek: aspek fisik dan aspek psikis. Keduanya penting, namun yang terpenting adalah aspek psikis, karena tanpa persiapan mental, tanpa adanya motivasi untuk maju, pembangunan fisik akan sukar dilaksanakan,” katanya.

Beranjak dari pemikiran tersebut, Walidin juga merekomendasikan agar penampilan sastra lisan, seperti andai-andai, harus sering diadakan. Bahkan perlu diadakan pelatihan penulisan versi andai-andai. Sasarannya untuk semua usia. Termasuk melalui digital.

Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Selatan Cahyo Sulistyaningsih mengatakan selain pemerintah daerah, Teater Potlot dan bersama lembaga lainnya, termasuk perguruan tinggi seperti UIN Raden Fatah, dapat mengusulkan penutur [sastra tutur] yang karyanya dikutip dalam buku sebagai maestro.

“Jika mereka ditetapkan oleh pemerintah sebagai maestro, maka mereka akan mendapatkan jaminan hidup atau santunan setiap bulan dari pemerintah pusat,” kata Cahyo.*

Tapi yang terpenting yang harus dilakukan adalah pengarsipan semua karya sastra yang masih diingat mereka, sebelum mereka keburu “berpulang”.

Load More