Scroll untuk membaca artikel
Tasmalinda
Jum'at, 27 September 2024 | 11:40 WIB
Peringatan hari tani di Sumatera Selatan, 26 September 2024.

SuaraSumsel.id - Situasi krisis iklim nan kian mengancam, membutuhkan peran serta kalangan petani guna mencegahnya. Namun sejalan dengan situasi itu, petani masih dihadapkan pada situasi penyerobotan dan akses lahan yang kian menurun.

Hal ini yang menjadi tema dalam peringatan hari Tani di Sumatera Selatan (Sumsel) pada tahun 2024. Dalam peringatan hari tani, dilakukan dialog perwakilan petani dari tiga wilayah di Sumsel.

Ketiga wilayah ini merupakan proses dampingan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Sumsel. Ketua Serikat Tani Bumi Makmur Kabupaten Musi Banyuasin, Susanto mengungkapkan konflik agraria yang dialami bersama dengan ratusan warga lainnya masih belum ada kejelasan sampai saat ini.

Padahal bersama kelompok taninya sudah berjuang sejak 2009 lalu.Dalam kesempatan itu, ia menceritakan bagaimana warga kehilangan akses lahan transmigrasi mereka.

Baca Juga: Aspenku Sumsel 5 Tahun Berkarya, Dorong UMKM Sumsel Go Internasional

Dia menceritakan sebelum tahun 2004 telah dijanjikan adanya plasma perkebunan perusahaan sawit di lahan-lahan tersebut, namun kemudian tanah-tanah tersebut dicaplok menjadi kawasan inti perusahaan.

"Sampai di tahun 2024, kami terus berjuang menuntut lahan kami yang diambil paksa itu," ucapnya.

Berdasarkan pendataannya, konflik ini mengakibatkan 149 kepala keluarga (KK) kehilangan lahan sekitar 298 hektar (ha) lahan yang overlay (dicaplok) menjadi kawasan inti perusahaan.

"Kini kami hanya mengandalkan hidup dari lahan sisa transmigrasi, sekitar 1 hektar dengan kehidupan yang sangat tergantung pada lahan itu. Kami akan terus berjuang menuntut hak kami," ucapnya.

Selain di desa di kabupaten Musi Banyuasin ini, juga hadir perwakilan petani asal Musi Rawas yang sebelumnya berkonflik dengan PT Musi Hutan Persada (MHP), namun sudah lepas dan dinyatakan berada di kawasan hutan.

Baca Juga: 12.431 WBP di Lapas dan Rutan Sumsel Masuk DPT Pilkada 2024

Selain itu, juga ada petani Ogan Ilir yang kehilangan lahannya akibat penyerobotan.

Situasi konflik agraria seperti ini, diungkapkan Kepala Divisi Advokasi Lembaga Bantuasn Hukum (LBH) Palembang, Fribertson Parulian Samosir masih banyak ditemui di Sumsel. LBH pun banyak menerima pengaduan sengketa agraria.

Dalam proses advokasi, LBH akan lebih dahulu mengetahui sumber permasalahan yang kemudian dilakukan upaya litigasi dan non litigasi.

"Kebanyakan konflik agraria karena stuktural, karena itu upaya advokasinya yang juga stuktural dengan memberikan kesadaran berorganisasi dan hukum kepada kelompok tani," ucapnya,

Koordinator KPA Sumsel, Untung Saputra menambahkan jika konflik yang berkepanjangan terjadi karena belum seriusnya Pemerintah memahami reforma agraria yang hanya diartikan sebagai pembuatan sertifikat lahan.

"Banyak konflik yang terjadi karena masifnya oligarki menyerobot dan Pemerintah cenderung mengabaikannya sampai bertahun-tahun. Ketiga kelompok masyarakat petani yang hadir di acara ini, bukti jika Pemerintah belum selesai mewujudkan Reforma Agraria," ungkapnya pada masa petani.

Kepala Bidang Penataan dan Pemberdayaan BPN Sumsel, Kelik Budiono menilai pihaknya mengedepankan kehati-hatian dalam penyelesaian konflik agraria. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam penyelesaian konflik yang berlarut-larut ini.

"BPN memperhatikan 3 syarat yang harus jelas objek, subjek dan riwayat tanahnya. Kebetulan saya baru di Sumsel dan dari yang saya dengar permasalahannya ini, saya akan mengupayakan membuka data kembali. Keseluruhan konflik yang disampaikan sudah menjadi catatan dan atensi saya," ucapnya usai acara.

Load More