Scroll untuk membaca artikel
Tasmalinda
Sabtu, 21 September 2024 | 13:47 WIB
Hutan adat Tebat Benawa di Pagar Alam Sumatera Selatan

SuaraSumsel.id - Udara dingin nan sejuk sungguh terasa ketika memasuki Desa Tebat Benawa di Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan (Sumsel) meski di siang hari sekalipun. Berada diatas 1200 meter dari permukaan laut (mdpl), desa ini menyuguhkan cerita adat nan terus terawat. 

Bukan hanya adat mengenai pernikahan atau segi kehidupan formal. Di desa ini, adat juga menjaga mampu lingkungan, terutama hutan. Desa ini mengajarkan bagaimana adat mampu menjaga hutan yang turun temurun hingga berabad-abad.

Adatnya pun tidak hanya melekat pada laki-laki, kaum perempuanlah yang justru berperan mendukung adat di suku Basemah ini tetap terwariskan. Adat menjaga hutan terwariskan hingga akhirnya Pemerintah menetapkannya sebagai hutan adat pertama di Sumsel.

Hutan adat ini menjadi sumber kehidupan bagi warga desa. Hutan adat tersebut bernama Tebat Benawa. Perempuan menjadi bagian tak terpisahkan dari hutan adat ini.

Baca Juga: Eks JI Sumsel Evaluasi Paham Radikalisme, Komitmen Kembali ke NKRI

Surainah, perempuan di desa ini menceritakan bagaimana kaumnya berperan dalam ekonomi keluarga dan desa. Di desa ini, perempuannya mempunyai peran yang cukup sama dengan kalangan laki-laki dalam berproduksi.

“Kami juga ke kebun, menanam, membersihkan rumput, panen, juga angkut, pasca panen sampai jual beli biji kopi pun kami ikut lakukan,” ujarnya.

Tidak hanya berkebun di lahan mereka, perempuan di desa namun juga berkebun di pekarangan rumah selain melakukan pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mengurus anak dan juga rumah. “Namun memang perempuan lebih ke kebun dengan jarak yang dekat dengan desa, sementara kebun yang jauh atau lebih ke hutan, itu dilakukan laki-laki,” ungkapnya menjelaskan.

Pembagian kerja yang cukup adil dalam mengelola hasil lahan. Misalnya, perempuan juga ikut menjemur kopi, mengatur pengelolaannya di kebun juga sampai mengolah menjadi bubuk kopi dan lainnya. “Perempuan juga secara berkelompok melakukan olahan kopi yang tergabung Kelompok usaha Perhutanan Sosial (KUPS) di desa,” ujar Surainah yang dipercaya warga desa menjadi Ketua KUPS-nya.

Keaktifan perempuan desa ini pun menyokong pelestarian hutan adat yang juga dilakukan kaum laki-laki. Hutan adat Tebat Benawa diperkirakan sudah lebih berusia 1 abad atau 100 tahun yang lalu.

Baca Juga: Fraksi-fraksi DPRD Prov Sumsel Sampaikan Pandangan Umum Raperda APBD TA 2025

Hitungan usia hutan ini diungkapkan Ketua Adat Masyarakat Adat di Dusun Tebat Benawa , Budiono. Ia mengungkapkan sebagai generasi ketiga dari masyarakat adat Kedung Samad. “Awalnya kakek, lalu turun ke ayah, lalu saya. Berdasarkan hukum adatnya, ketua adat adalah anak laki-laki pertama di silsilah keluarga kami. Dari kakek, ayah, meski saya anak kelima, namun jadi ketua adat karena anak pertama laki-laki tidak tinggal atau berada di dusun,” ujarnya menjelaskan silsilah mengapa ditunjuk sebagai ketua adat.

Dia mengungkapkan kekuatan adat masih sangat mengikat sampai saat ini. Salah satu yang paling dilarang ialah mengambil tumbuhan (merambah) hutan adat untuk keperluan perseorangan (diperdagangkan). Warga hanya diperbolehkan mengambil kayu hutan untuk membangun rumah dan terdapat kewajiban kembali menanam pohon yang diambil. Kayu hutan juga boleh diambil untuk keperluan bangunan publik, seperti rumah ibadah mushola dan infrastuktur desa.

“Siapapun harus patuh pada aturan ini, warga harus patuh pada hukum adat ini. Larangannya ialah mengambil, menjual, merambah, itu menjadi pantangan” ucapnya.

Hutan adat Tebat Benawa di Pagar Alam Sumatera Selatan

Sampai kekinian warga desa sangat patuh atas hukum adat tersebut. Mereka meyakini adat menjaga hutan ialah menjaga kehidupan warga dan desa. “Merusak hutan adat, berarti merusak desa,” sambung Budiono yang sudah berusia kepala lima ini.

Keyakinan menjaga alam dan lingkungan hutan sangat rasional, karena hutan adat menyimpan sumber kehidupan warga, yakni sumber mata air. 

Hutan adat Tebat Benawa ialah sumber mata air bagi Sungai Lematang. Sungai yang dikenal sebagai salah satu bagian dari Batanghari Sembilan, yakni 9 sungai terbesar di Sumsel.

Peran Sungai Lematang setidaknya menghidupi dengan mengalir melintas pada lima kota dan kabupaten di Sumsel, yakni dari Kota Pagar Alam, Kabupaten Lahat, Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir, kota Prabumulih dan kabupaten Muara Enim.

Budiono mengungkapkan luasan hutan adat Tebat Benawa mencapai 336 hektar (ha). Nama Tebat Benawa berasal dari kata Tebat atau danau kecil yang terdapat di hutan tersebut, sementara Benawa adalah nama pohon endemik yang hanya bisa dijumpai di hutan tersebut. 

“Pohon Benawa ini diceritakan secara turun temurun, jumlahnya hanya ada 1 dengan usia berpuluh tahun dan ukurannya sangat besar,” ucapnya.

Di hutan adat ini terdapat tiga mata air, yakni mata air Ringkeh, Ayek Puding dan Basemah, yang kemudian ketiganya mengalir ke Sungai Lematang. Hutan adat Tebat Benawa yang berada di kaki Bukit Patah disebutkan sejak tahun 1940 an sampai 1950 an mulai ditata untuk dialirkan ke pemukiman warga dusun.

“Di Tebat (danau kecil), warga memelihara ikan, yang diperbolehkan diambil warga untuk dimakan,” ujarnya.

Di hutan ini diungkapkan Budiono masih banyak menyimpan pohon-pohon endemik iklim tropis. Seperti jenis pohon Medang, Rasamala, Meranti, sampai Kayu Lanang yang biasa digunakan sebagai pondasi dan bangunan rumah. 

“Banyak pohon yang ada di hutan ini, ada nama pohon jika bahasa daerah seperti pohon Tenam, Cemage, Mampat dan pohon-pohon asli (endemik)” ujarnya.

Hutan Adat Dijaga Puyang

Budiono menceritakan kerusakan hutan adat cenderung dilakukan warga datangan, mereka merambah dengan membuka hutan-hutan adat (hutan larangan), untuk berkebun. Peristiwa ini pernah terjadi antara tahun 1990 an atau di sekitar 1992.

Saat perambah datang dan merusak hutan adat, warga dengan cepat meresponnya. Warga desa pun menggelar rapat guna memberikan sanksi yang bertahap. Sanksi awalnya ialah berupa teguran langsung kepada masyarakat perambah tersebut, namun sayangnya teguran ini malah tidak diindahkan.

“Yang merusak, warga luar desa (datangan) mereka mencari lahan bertanam. Kami sepakat menegur, namun kemudian kami menindak dengan merusak langsung kebun mereka. Kami yakin jika dibiarkan akan semakin banyak yang datang dan merusak,” ucapnya tegas.

Beruntungnya setelah lahan dirusak warga maka masyarakat perambah pun pergi dengan sendirinya. “Kami membiasakan agar lebih berani mencegah demi adat dan lingkungan desa yang lestari. Karena kerusakan hutan adat akan membuat kerusakan pada banyak wilayah, bukan hanya desa Tebat Benawa dan pemekarannya desa Rempasai, karena hutan adat ini sumber penghidupan Basemah,” ujarnya menjelaskan.

Setelah peristiwa ini pun mendekati tahun 2004 sempat terjadi konflik Harimau Sumatera. Saat itu, Harimau Sumatera menyerang salah seorang perambah yang ingin membuka lahan di hutan adat untuk bertanam. “Kejadian ini makin membuat warga desa yakin, jika hutan adat pun dijaga puyang Harimau Sumatera jika tidak patuh,” ujarnya. 

Selain pohon endemik, hutan adat juga ditemui rotan sebagai vegetasi tutupan hutan. Rotan dan bambu ini pun diolah untuk kebutuhan rumah tangga, seperti wadah biji kopi, piring, gelas, tas, wadah ikan, keranjang, tudung saji.

Hutan adat Tebat Benawa di Pagar Alam Sumatera Selatan

Lekat Kenyakinan Dijaga Sesepuh

Budiono juga menceritakan jika hutana adat ini melekat mitos dijaga sesepuh (leluhur), sehingga warga desa juga meyakini untuk mengingat nama sosok tersebut jika tersesat saat berada di hutan adat.

Kejadian ini pun dialami oleh bapak dua anak ini saat hendak ke Bukit Patah, lanskap utara hutan adat. Dia pun menceritakan jika di kawasan hutan adat, ada sebuah lokasi yang sempat tidak mampu direkam secara digital. Kejadian ini terjadi beberapa tahun yang lalu yang ingin mendokumentasikan hutan adat, namun tampilannya hanya muncul warna gelap.

“Di lokasi itu, hasil rekamannya gelap, tidak bisa direkam. Namun entah apa yang menyebabkannya, titik itu tidak bisa direkam,” ucap Budiono.

Sesepuh yang diceritakan merupakan sosok laki-laki. Budiono pun mengungkapkan jika berdasarkan hukum adatnya, kepala adat meski berjenis kelamin laki-laki.

Ketua adat pun dipilih merupakan keturunan pertama, atau kedua anak laki-laki. Ketua adat pun menjadi perwakilan masyarakat desa dalam setiap pertemuan dengan pihak luar. Jika dalam acara-acara adat, Ketua adat pun akan menjadi simbol masyarakat desa.

“Perempuan tidak boleh menjadi ketua adat, karena perannya besar untuk menjaga hutan, jika ada kejadian di hutan, maka akan sulit buat dia (perempuan). Peran menjaga hutan akan khawatir membahayakan nyawa perempuan. Namun meski saya ketua adat laki-laki, saya pun tidak bisa sendiri menjaga hutan perlu juga dukungan keluarga dan masyarakat yang tentu juga terdapat kaum perempuannya,” ucap Budiono menyakinkan.


Adat, dan Umur Panjang Perempuan Basemah

Jika berkunjung ke desa ini, akan sangat mudah ditemui kalangan perempuan yang panjang usia. Saat ada acara di desa, setidaknya memperlihatkan cukup banyak perempuan desa yang usia lebih dari 70 tahun.

Meski sudah berusia lanjut, namun perempuan-perempuan Besemah pun masih kuat berjalan. Nenek Rasma misalnya, di usianya sudah 74 tahun namun masih kuat melakukan pekerjaan di kebun. Dia pun mengaku masih bertanam kopi, tomat yang kemudian dijual atau dimasak bagi keperluan sehari-hari.

Rasma menceritakan jika kehidupan di desa membuat awet muda. Sikap hidup yang menghargai alam dengan tidak mengambil yang bukan menjadi hak, atau menyimpan yang sesuai kebutuhan. Hidup di desa juga masih mendapatkan udara yang segar dan udara yang masih sejuk.

Sikap sadar akan kemampuan diri juga diakui Rasma turut menyehatkannya. Dia meyakini tidak memaksakan pekerjaan yang sudah bukan waktunya, tempatnya dan bekerja cukup dengan kemampuan diri menjadi penyambung usia.

“Hidup jangan stress, kerja jangan dipaksa, sesuai kemampuan. Jika sudah ada lauk ikan, sayur dan buah, ada kayu bakar, ada kopi, ya cukup. Tidur juga harus cukup, berkebun sesuai kemampuan. Mampu tanam tomat, tanam tomat, mampu tanam pisang, tanam pisang. Hidup sesuai kemampuan,” ujarnya.

Masyarakat di desa dengan penduduk mencapai 230 KK atau sebanyak 916 jiwa, memegang teguh sejumlah hukum adat, seperti Dik tau ngiluk'i jangan merusak jadilah yang artinya jangan menjadi perusak apalagi merusak lingkungan.

Hukum adat tersebut mengajak agar berbuat baik kepada orang lain, namun jika belum mampu berbuat kebaikan maka sebaiknya jangan melakukan tindakan merusak yang merugikan kepentingan banyak orang (warga adat).

Selain sikap hidup tersebut, kebiasaan mengkonsumsi makanan segar juga diungkap Daniah, yang kekinian sudah menginjak usia 80 tahun.

Daniah menceritakan bagaimana sangat mudah mendapatkan makanan segar seperti ikan, sayuran segar yang dimasak menjadi lalapan atau dicocol dengan sambal. Ia pun mengungkapkan tidak terlalu sering mengkonsumsi makanan berbahan kimia seperti kebiasaan masyarakat perkotaan.

Apalagi diakuinya, setiap hari dia pun menghabiskan waktu cukup untuk berjalan ke kebun sebagai olahraga harian. “Hidup perlu keseimbangan kapan ke kebun, istirahat dan ibadah,” ucapnya.

Load More