Scroll untuk membaca artikel
Tasmalinda
Kamis, 20 Juni 2024 | 21:44 WIB
Ilustrasi petani demo sengketa agraria. Menguak Ironi Reforma Agraria Ala Jokowi

Tingginya angka letusan konflik perkebunan di Sumatera dan Kalimantan tidak terlepas dari penguasaan perkebunan seperti sawit dan lainnya.

Ketua KPA Sumsel Untung Saputra menjelaskan konflik lahan dengan perusahaan negara, seperti BUMN PTPN VII menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Di Sumsel sendiri, PTPN bergerak dalam lini usaha komoditi yang menjadi unggulan daerah, seperti halnya tebu, sawit, teh dan karet.

Ironisnya perusahaan yang merupakan perusahaan di rumah sendiri, perusahaan negara malah masih menyisakan konflik menahun.

“Ironi sebuah Nawacita pemimpin, janji memberikan akses akan tanah pada kelompok petani dan masyarakat (rakyat) tidak menyelesaikan sengketa di perusahaan milik sendiri,” ujarnya kepada Suara.com belum lama ini.

Baca Juga: Fakta Baru! Tersangka Korupsi Internet Musi Banyuasin Terima Rp 7 Miliar

KPA mendata sebagai perusahaan plat merah seperti PTPN juga punya catatan sejumlah konflik di Sumsel. Seperti di kabupaten Ogan Ilir yang belum ada solusi bagi masyarakat Seri Bandung.

“Nyaris semua bermasalah (PTPN) di Sumsel, seperti di Muara Enim, di Musi Banyuasin itu komoditas sawit juga masih ada konflik, di Ogan Ilir komoditi nya tebu ada konflik juga di dua wilayah. Cenderung yang tidak ada masalah di Pagar Alam, komoditinya teh karena berada di kaki bukit Gunung api Dempo,” ucapnya.

Di konflik PTPN Cinta Manis Ogan Ilir, KPA Sumsel, Solidaritas Perempuan. Walhi melakukan advokasi (pendampingan) bersama. Saat konflik sejak tahun 1980 an, Walhi mengatakan berdampak pada 62 orang mengalami kriminalisasi, 18 mengalami luka tembak ada yang mengalami cacat fisik, satu orang mengalami gangguan jiwa dan dua orang meninggal dunia.

“Di Ogan Ilir itu, sudah lama sekali. Sebelum Jokowi memimpin, sampai saat ini, saat Jokowi akan lengser pun belum selesai. Ada dua lokasi, di Rengas memang berhasil menguasai lahan namun kepemilikan tidak diakui, di Seri Bandung, warga sama sekali kehilangan lahannya, hilang akses kehidupan,” ucapnya.

‘Warisan’ Konflik Agraria 

Baca Juga: Kisah Pilu SD Negeri 20 Palembang Tak Ada Pendaftar, Sekolah Terancam Ditutup?

Solidaritas Perempuan (SP) Palembang sebagai lembaga yang mendampingi pada konflik ini mengurai banyak fakta dampak konflik agraria menahun di Sumsel ini.

Dalam laporan SP sebelumnya mengungkapkan 22 desa di Kabupaten Ogan Ilir bersengketa dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VII unit Cinta Manis. Lahan yang menjadi sengketa antara masyarakat petani Ogan Ilir dengan pihak PTPN XIV, pada awalnya merupakan tanah pertanian yang dikuasai dan digarap masyarakat setempat.

SP mendata tanah yang menjadi perkebunan tebu oleh PTPN VII telah diolah masyarakat sejak tahun 1980-1983, namun HGU I seluas 6.512 ha baru diterbitkan sekitar tahun 1995. Sementara HGU II seluas 8.866,75 Ha baru diterbitkan tahun 2016. 

PTPN VII Cinta manis malah telah menggarap sekitar 20.089 ha lahan pertanian yang dikuasai oleh masyarakat setempat. Lahan tersebut terdiri dari tiga lokasi, masing-masing seluas 7.289 ha, 9500 ha dan 3.500 ha. 

SP mencatat 22 Desa di Ogan Ilir, yaitu Desa Betung, Ketiau, Limbang Jaya, Lubuk Bandung, Lubuk Keliat, Meranjat 1, Meranjat 2, Meranjat Ilir, Payalingkung, Rengas, Sentul, Sejaro Sakti, Seri Bandung, Seri Kembang, Siring Alam, Tanjung Agung, Tanjung Atap, Tanjung Baru Petai, Tanjung Gelam, Tanjung Laut, Tanjung Pinang, dan Tanjung Sejaro. 

Pada tahun 2010 masyarakat Desa Rengas berhasil menguasai tanah seluas 1.500 ha dan masyarakat Desa Lubuk Bandung berhasil menguasai tanah seluas 1.200 ha. 

Load More