Scroll untuk membaca artikel
Wakos Reza Gautama
Minggu, 13 Februari 2022 | 08:37 WIB
Ilustrasi kekerasan pada anak. Seorang kepala sekolah SMP di Palembang diduga melakukan kekerasan terhadap seorang anak muridnya. [Shutterstock]

SuaraSumsel.id - Oknum kepala sekolah menengah pertama (SMP) Kota Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel), diduga melakukan kekerasan terhadap seorang anak muridnya. 

Akibat tindakan kekerasan tersebut diduga anak murid berinisial H (15) itu harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit.

Dinas Pendidikan Kota Palembang menindaklanjuti terkait dugaan tindak kekerasan yang dilakukan oleh oknum kepala sekolah menengah pertama (SMP).

Kepala Dinas Pendidikan Kota Palembang Ahmad Zulinto mengatakan pihaknya sudah menindaklanjuti dugaan kekerasan tersebut dengan langsung menghubungi kepala sekolah bersangkutan.

Baca Juga: Pura-pura ke Toilet, Remaja di Palembang Merampok Uang Minimarket Rp31,8 Juta

Menurut Zulinto, F selaku kepala SMP swasta yang berlokasi di Jalan Kadir Tkr Kelurahan 36 Ilir, Kecamatan Gandus itu mengaku tidak ada kekerasan yang ia lakukan terhadap seorang anak murid tersebut.

Meskipun memang F membenarkan, kata Zulinto, dirinya pernah memberi hukuman berupa push-up kepada H pada November 2021 karena yang bersangkutan itu terlambat masuk sekolah.

"Saya minta dijelaskan bagaimana peristiwanya. Kemudian F mengakui dia (H) di push-up tapi itu tidak ada kekerasan (kontak fisik)," kata dia saat dihubungi melalui saluran telepon di Palembang, Sabtu (12/2/2022) dikutip dari ANTARA.

Informasinya saat ini H mengalami sakit usus buntu dan dioperasi sejak bulan Januari.

Sekalipun demikian, ia meminta, pihak rumah sakit harus menjelaskan hasil pemeriksaan medisnya untuk dapat diketahui lebih jauh apakah sakit yang diderita H itu berkesinambungan dengan dugaan kekerasan.

Baca Juga: Panen Padi Gogo, Menko Airlangga Hartanto Ungkap Lampung Bersaing dengan Sumsel Soal Produksi Beras

Sehingga peristiwa dugaan ini dapat ditengahi secara jernih jangan sampai ada kekeliruan khususnya di ruang publik.

"Apakah itu kekerasan juga belum bisa dipastikan, yang menyatakan itu harusnya kepolisian. Pihak sekolah sudah menjawab itu tidak benar, namun kalau memang ada keberatan dari keluarga ke mana mereka harus menyampaikan. Sampaikanlah dengan aturan yang ada," imbuhnya.

Menurut Zulinto, terlepas dari hal tersebut ia meminta kepada pihak sekolah untuk memperhatikan anak muridnya yang sakit tersebut.

"Sebab yang pasti ada anak didik yang sakit. Saya minta sekolah untuk memperhatikan anak didiknya yang sakit itu," kata dia.

Ketua PGRI Sumsel itu pun mengimbau kepada semua pihak penyelenggara lembaga pendidikan harus mengedepankan tindakan-tindakan pedagogi sebagai seorang guru jangan sampai ada tindak kekerasan kepada setiap peserta didik dalam kondisi apapun.

Sementara itu Kepala Sekolah F melalui penasihat hukumnya Septalia Furwani mengatakan, saat itu pada 16 November 2021 H diberi hukuman push-up sebanyak 10 kali bersama dengan beberapa rekannya yang lain.

Karena posisi tubuhnya salah maka F berusaha meluruskannya dengan cara ditekan menggunakan kaki pada bagian pantatnya H sehingga push-up-nya menjadi sempurna.

"Itu pun dengan perhitungan bukan maksud lain, ya," kata dia.

Setelah mendapatkan hukuman push-up itu, lanjutnya, kondisi H sehat dan mengikuti pembelajaran dengan baik bahkan ujian sekolah diselesaikannya.

Kemudian beberapa waktu berselang tepatnya pada 7 Januari 2021 H dikabarkan sakit dan melakukan tindakan operasi usus buntu, yang belakangan menurut pengakuan keluarganya itu dampak dari dugaan kekerasan dari F.

Septalia menganggap dugaan itu tidak benar sebab berdasarkan diagnosa dari rumah sakit tempat H dirawat menyebutkan penyakit itu merupakan sakit bawaan H.

"Jadi melihat rentang waktu saat pemberian hukuman sampai ia dirawat, kemudian, penyakit yang diderita itu, bagaimana mungkin bisa dikatakan sakitnya itu adalah akibat kekerasan atau penganiayaan," kata dia.

Kendati demikian, ia memastikan, bahwa pihaknya sangat terbuka untuk menengahi dugaan tersebut, sekaligus bakal koperatif apabila pihak keluarga merasa harus memprosesnya secara hukum nantinya.

"Sampai saat ini belum ada pelaporan. Kami pasif saja, namun akan koperatif bila memang keluarga melapor ke polisi, yang jelas tidak ada korelasinya antara usus buntu dengan tindakan dari belakang itu," ujarnya. (ANTARA)

Load More