Scroll untuk membaca artikel
Suhardiman
Sabtu, 03 Oktober 2020 | 11:22 WIB
Pengunjung saat memilih kain jumputan yang dijual di Local Pride di PIM, Sabtu (3/10/2020). (Suara.com/Rio)

SuaraSumsel.id - Banyak orang beranggapan limbah merupakan sampah yang tidak berguna lagi. Karena itu, banyak yang memilih untuk membuangnya begitu saja.

Di Palembang justru ada yang memanfaatkan limbah berupa kulit jengkol menjadi pewarna alami kain jumputan yang bernilai ekonomis.

Adalah perajin kain jumputan bernama Cahya Sege. Ia menyulap limbah kulit jengkol menjadi pewarna alami pada kain jumputan yang bernilai tinggi. Kekinian ia bisa meraup untung dari bisnisnya butiknya bernama Butik Palembang Sege.

Cahya mengatakan, mulanya proses pewarnaan itu didapat usai mengikuti pelatihan pewarnaan alami dari pemerintah provinsi setempat.

Baca Juga: Kesal Istri Tak Pulang Ke Rumah, Pria Ini Gantung Anaknya

"Dari sana akhirnya saya mencoba mengembangkan pewarnaan alami dari limbah di sekitar rumah. Ya, salah satunya ialah kulit jengkol itu,” kata Cahya kepada  SuaraSumsel.id, di sela-sela kegiatan Local Pride di PIM, Sabtu (3/10/2020).

Dalam pemilihan bahan pewarna alami untuk kain jumputan, kulit jengkol dinilai memiliki stok yang mudah didapat dan tak pernah kehabisan.

“Kita memerlukan bahan yang bisa rutin didapat. Jadi dipilihlah kulit jengkol. Ya, sebenarnya sih kita juga kembangkan pewarna alami dari buah-buahan (durian, duku, dan manggis), tapi stok buah itu tadi tergantung musim, makanya kita jarang memproduksinya,” kata Cahya.

Cahya membeberkan sedikit proses pewarnaan alami dari kulit jengkol tersebut.

"Cukup mudah kok untuk pembuatannya (pewarna alami kain jumputan dari kulit jengkol)," ujar Cahya.

Baca Juga: 46 Pemuda Disangka Preman Diamankan, Yang Bergaya Punk Malah Mewek

Langkah pertama, kulit jengkol yang sudah didapat bisa direndam kurang lebih satu kilogram di dalam air hujan atau air murni hasil penyulingan yang biasanya diperoleh dari Air Conditioner atau AC. Rendam di dalam air itu sebanyak dua liter dan selama 24 jam.

Kemudian, air berserta bahan bisa dipanaskan hingga mendapat setengah dari jumlah air. Ia mencontohkan misal dari 20 liter akan menjadi 10 liter.

Hasil pemanasan itu yang akan dijadikan pewarna. Sedagkan untuk mengatur kepekatan warna, pewarna dapat dicampur dengan bahan pelekat warna. Mulai dari kapur, tawas, tunjung, gula merah, maupun besi dua sulfat.

"Kalau mau menghasilkan warna yang lebih muda, campurannya bisa bahan tawas atau kapur. Kalau mau abu-abu bisa campur dengan tunjung dan kalau mau cokelat muda campur dengan gula merah," ungkapnya.

Kain dapat dicelupkan ke dalam bahan tersebut atau bisa juga dilakukan dengan cara disiram. Namun, Cahya menyarankan lebih baik melakukan dengan disiram secara berulang kali ke kain jumputan tersebut.

"Itu agar kita bisa mendapatkan warna yang memang benar-benar kita inginkan. Intinya warna yang dihasilkan dari pewarna alami ini tetap unik dan memiliki khas yang tak didapat dari pewarna sintetis," jelasnya.

Kekinian sebanyak 20 kain jumputan berbentuk jilbab diproduksi dalam sepekan. Sedangkan untuk bahan kain 3 meter lebih itu bisa satu hingga empat kain dalam sebulan.

“Menekuni ini (kain jumputan) sudah tiga tahun terakhir. Kalau bentuk jilbab dibanderol Rp 150.000. Sementara bahan kain dibanderol Rp 450.000," katanya.

Kepala Dinas Koperasi dan UKM Sumsel Musiawati mengatakan, pemerintah provinsi setempat memberikan dukungan terhadap perajin dengan menyediakan stan khusus di dalam mal yang ada di kota pempek ini.

"Ya, Local Pride saat ini menjadi wadah bagi UMKM dalam memasarkan produknya. Ke depan masyarakat bisa lebih mengenal produk-produk UKM asal Bumi Sriwijaya," pungkasnya.

Kontributor : Rio Adi Pratama

Load More