SuaraSumsel.id - Tragedi meninggalnya Briptu Farras Attalah, anggota Satresnarkoba Polres Lahat, dalam operasi penggerebekan narkoba menjadi titik balik penting bagi Polda Sumatera Selatan. Operasi yang seharusnya menegakkan hukum justru berakhir dengan kehilangan nyawa seorang aparat muda, membuka luka mendalam sekaligus pertanyaan besar tentang tata kelola prosedur dan akuntabilitas di tubuh kepolisian.
Sidang Komisi Kode Etik Profesi (KKEP) yang digelar pada akhir September 2025 kemudian menghadirkan keputusan tegas. Tiga perwira, yakni AKP H selaku mantan Kasat Narkoba Polres Lahat, Iptu M sebagai Kanit, dan Ipda Y selaku Panit, dinyatakan terbukti melanggar kode etik karena tidak profesional dalam menjalankan tugas.
Melansir sumselupdate.com-jaringan Suara.com, ketiganya dijatuhi sanksi demosi selama dua tahun, dicap melakukan perbuatan tercela, serta diwajibkan menyampaikan permintaan maaf secara terbuka.
Selain itu, sejumlah anggota lain juga mendapat sanksi dalam kasus berbeda, mulai dari keterlibatan dalam narkoba, pelanggaran moral, hingga pencurian aset negara.
Baca Juga:Dewan Kopi Sumsel: Filosofi Tunggu Tubang Jadi Inspirasi Pelestarian Kopi Semendo
Bripka W, misalnya, harus menjalani demosi sepuluh tahun setelah videonya menyebar luas, sementara Briptu A.R.B. direkomendasikan untuk diberhentikan tidak dengan hormat setelah terbukti positif narkoba.
Langkah disipliner ini ditegaskan oleh Kabid Propam Polda Sumsel, Kombes Raden Azis Safiri, sebagai bentuk komitmen institusi untuk tidak memberikan ruang bagi personel yang mencederai disiplin dan mencoreng integritas Polri.
Kabid Humas Polda Sumsel, Kombes Nandang Mu’min Wijaya, menambahkan bahwa penindakan ini juga menjadi bukti keseriusan Polda Sumsel untuk berbenah dan menjaga kepercayaan publik.
Meski demikian, publik tetap menyimpan kegelisahan. Apakah sanksi etik dan demosi cukup menjadi jawaban atas hilangnya nyawa Briptu Farras? Apakah langkah korektif ini mampu menyentuh akar persoalan, yaitu lemahnya prosedur, budaya proteksi internal, dan minimnya pengawasan publik?
Kasus ini jelas bukan sekadar tragedi individu, melainkan sebuah cermin dari rapuhnya mekanisme internal penegakan hukum.
Baca Juga:Inflasi Sumsel Naik 0,27 Persen pada September 2025, BI Pastikan Masih dalam Sasaran
Ke depan, publik menuntut adanya audit menyeluruh terhadap SOP penggerebekan, pelatihan ulang, serta keterlibatan masyarakat dalam pengawasan agar reformasi tidak berhenti di atas kertas.
Sebab, setiap pengabdian seorang aparat negara seharusnya tidak berakhir dengan pengorbanan yang sia-sia, dan setiap nyawa yang hilang mesti dibalas dengan keadilan yang nyata.