Di Balik Riuh Festival Bidar Palembang: Tradisi yang Menyatukan dan Menghidupi

Ia telah bertransformasi menjadi tribun bagi masyarakat, menampung puluhan ribu pasang mata yang menjadi saksi sebuah acara tahunan paling kolosal di Palembang.

Tasmalinda
Minggu, 17 Agustus 2025 | 20:07 WIB
Di Balik Riuh Festival Bidar Palembang: Tradisi yang Menyatukan dan Menghidupi
Festival bidar tradisional Palembang yang digelar Minggu (17/8/2025).

SuaraSumsel.id - Jembatan Ampera berdiri megah, namun hari ini, Minggu (17/8/2025), fungsinya bukan lagi sekadar sebagai penghubung.

Ia telah bertransformasi menjadi tribun bagi masyarakat, menampung puluhan ribu pasang mata yang menjadi saksi sebuah acara tahunan paling kolosal di Palembang, yakni Festival Perahu Bidar.

Di bawahnya, Sungai Musi yang legendaris tak lagi hanya aliran air, melainkan sebuah panggung akbar tempat gengsi, tradisi dan geliat ekonomi rakyat, beradu dalam harmoni yang riuh.

Festival perahu bidar tradisional Palembang adalah momen tahunan di mana sekat-sekat sosial di Palembang seolah luruh dan larut ke dalam aliran Musi.

Baca Juga:Dul Muluk hingga Film Dokumenter Warnai Festival Perahu Bidar 2025 di BKB Palembang

Di sepanjang bantaran sungai, dari pelataran Benteng Kuto Besak hingga ke lorong-lorong sempit di Seberang Ulu, lautan manusia menyatu.

Pejabat tinggi daerah, pengusaha, mahasiswa, pedagang asongan, hingga nelayan, semuanya berdiri berdampingan, disatukan oleh satu antusiasme.

Mereka tidak peduli terik matahari yang menyengat, karena energi kolektif yang terpancar jauh lebih panas.

Ini adalah bukti nyata bahwa Bidar adalah perekat sosial paling kuat bagi Wong Kito.

Lomba ini bukan sekadar adu cepat, melainkan pertaruhan harga diri antar kampung atau wilayah.

Baca Juga:Deretan Peserta Lomba Perahu Bidar Tradisional 2025, Siapa yang Jadi Jawara di Sungai Musi?

Para pendayung bukanlah atlet profesional, melainkan warga nelayan, buruh, pemuda yang membawa nama baik lingkungannya di pundak mereka, atau pegawai yang mewakili lembaga.

"Bagi kami, ini bukan soal hadiah. Ini soal adu kemampuan. Kalau perahu kampung kami menang, rasanya bangga sekali setahun ke depan. Semua lelah latihan  itu terbayar lunas," ungkap Iskandar, salah seorang pendayung dari tim Tangga Buntung, dengan napas terengah usai menyelesaikan babak penyisihan.

Semangat komunal inilah yang menjadi jiwa dari festival ini, sebuah tradisi yang diwariskan dari tradisi transportasi zaman dahulu yang kini menjadi milik seluruh rakyat.

Namun, di balik semangat persatuan dan gegap gempita budaya, ada roda ekonomi raksasa yang berputar kencang. Festival Bidar adalah hari panen raya bagi ribuan pelaku ekonomi mikro di Palembang.

Geliatnya terasa nyata di setiap sudut.

Lihat saja ratusan perahu ketek dan speedboat yang lalu-lalang.

Hari itu, mereka berhenti menarik penumpang reguler dan beralih fungsi menjadi pendayung dadakan.

"Sejak pagi buta sudah narik. Orang rela bayar mahal demi nonton dari dekat. Bisa untuk tambah-tambah biaya sekolah anak," ujar Mang Ujang, seorang pengemudi ketek yang wajahnya berpeluh keringat namun matanya berbinar ceria.

Geliat ekonomi tak berhenti di sana.

Di darat, aroma pempek panggang, tekwan, dan model bercampur dengan bakso bakar, menciptakan surga kuliner dadakan.

Para pedagang kaki lima, dari penjual minuman dingin hingga dagangan lain yang diserbu pembeli.

Omzet mereka melonjak drastis. Hotel-hotel di sekitar Sungai Musi juga melaporkan tingkat okupansi meningkat, sementara para pengrajin oleh-oleh kebanjiran pesanan.

"Ini adalah contoh sempurna bagaimana sebuah aset budaya yang otentik dapat menjadi katalisator ekonomi kerakyatan. Kekuatan Bidar adalah ia menarik massa secara organik. Pemerintah hanya perlu memfasilitasi, dan roda ekonomi akan berputar dengan sendirinya," ujar Kepala Dinas Pariwisata Palembang, Sulaiman Amin menjelaskan.

Fenomena ini menunjukkan bahwa budaya dan ekonomi bukanlah dua kutub yang terpisah.

Di Palembang, keduanya menyatu dalam kayuhan dayung perahu bidar.

Semakin kuat gengsi budaya dipertaruhkan di atas sungai, semakin deras pula aliran rupiah yang masuk ke kantong-kantong masyarakat di tepiannya, sebagai rezeki musiman.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini

Tampilkan lebih banyak