Kutukan Sapatha Sriwijaya: Warisan Kuno yang Masih Menjerat Pejabat Hari Ini

Di balik kemegahan kerajaan bahari Sriwijaya, terdapat sebuah warisan hukum sakral yang tak lekang oleh zaman yakni Sapatha

Tasmalinda
Selasa, 15 Juli 2025 | 11:40 WIB
Kutukan Sapatha Sriwijaya: Warisan Kuno yang Masih Menjerat Pejabat Hari Ini
Kutukan Sapatha Sriwijaya

SuaraSumsel.id - Di balik kemegahan kerajaan bahari Sriwijaya, terdapat sebuah warisan hukum sakral yang tak lekang oleh zaman yakni Sapatha yakni sumpah atau kutukan kuno yang dipercaya akan menimpa siapa pun yang mengkhianati kepercayaan, merusak tatanan, atau menyalahgunakan kekuasaan.

Sapatha bukan hanya simbol ketaatan pada datu, tapi juga perangkat kekuasaan spiritual yang menjaga stabilitas kerajaan dengan ancaman metafisik, berupa kutukan yang diyakini bisa menimpa pelaku hingga anak-cucunya.

Dalam seminar hasil kajian Museum Sriwijaya, sejarawan Dr. Dedi Irwanto, M.A., dari Universitas Sriwijaya (Unsri) mengungkapkan bahwa sapatha adalah sistem keadilan dan kontrol sosial yang sudah dikenal luas dalam prasasti-prasasti Kedatuan Sriwijaya.

Namun, menurut Dedi, ideologi sapatha ini masih terasa hingga kini, terutama dalam sumpah jabatan yang diucapkan pejabat publik.

Baca Juga:Ironi PLTU Sumsel 1: Kebun Sawit Warga Digusur, Ganti Rugi Tak Masuk Akal

Bahkan, Dedi menyebut bahwa kasus hukum yang menimpa mantan Wali Kota Palembang Harnojoyo bisa dianggap sebagai “kutukan sapatha” yang termanifestasi dalam era modern.

“Sapatha bukan hanya tentang masa lalu. Ia hidup dalam sistem nilai kita hari ini. Integritas dan pengkhianatan tetap jadi tolok ukur kutukan atau berkah,” ujarnya.

Kutukan Tak Hanya untuk Individu, Tapi Sampai ke Keturunan

Peneliti Epigrafi BRIN dan Ketua PAEI, Wahyu Rizky Andhifani, menegaskan bahwa sapatha digunakan Sriwijaya untuk menegakkan ketaatan total melalui kutukan kolektif.

Pelanggaran terhadap datu dianggap bukan hanya kejahatan politik, tetapi dosa kosmik, yang akan dibalas dengan kegilaan, sakit, kematian, atau kejatuhan moral.

“Kutukannya meluas hingga keluarga dan keturunan. Ini bentuk kekuasaan simbolik dan performatif Sriwijaya,” tegas Wahyu.

Menurut arkeolog Sondang Martini Siregar dari BRIN, Sriwijaya banyak mengeluarkan prasasti kutukan karena merupakan pernyataan otoritas dan cara mengamankan wilayah kekuasaan. Kekhawatiran akan pemberontakan dan pengkhianatan membuat kutukan jadi alat ampuh untuk mengendalikan loyalitas.

Baca Juga:Fakta Miris! Perempuan Lulusan SMA & Kuliah di Sumsel Lebih Sulit Dapat Kerja dari Laki-Laki

“Jika ada yang membujuk orang untuk berkhianat pun ikut kena kutuk. Bukan hanya pelaku, tapi seluruh keluarganya,” tegas Sondang.

Dari Sapatha ke Spiritualitas Islam dan Buddha

Dedi Irwanto juga mengaitkan sapatha dengan ajaran sufi dan Buddha. Dalam agama Buddha, dikenal istilah syarira, yakni sosok yang tubuh dan pikirannya bersih karena selalu berbuat baik. Dalam Islam, tahapan syariat hingga makrifat juga dianggap sebagai bentuk pertumbuhan spiritual yang memurnikan niat dan tindakan seseorang.

Ia menyebut, jika pejabat memahami nilai-nilai ini, maka kutukan sapatha bisa dihindari dan justru berubah menjadi berkah. Dengan kata lain, mereka yang berbuat benar akan mendapatkan “sapatha” berupa kesejahteraan dan keberkahan hidup.

Lebih dari sekadar warisan sejarah, sapatha adalah alarm spiritual dan etis bagi siapa pun yang memegang kekuasaan. Di era modern, ia hadir dalam bentuk integritas, kejujuran, dan tanggung jawab publik. Jika diabaikan, sejarah bisa berulang—kutukan kembali jatuh pada pengkhianat rakyat.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini