Iuran Wajib Wisuda Sekolah Dasar Rp300 Ribu di Palembang Picu Protes

Iuran Wisuda Sekolah Dasar (SD) di Palembang sebesar Rp300 Ribu picu protes

Tasmalinda
Rabu, 07 Mei 2025 | 12:36 WIB
Iuran Wajib Wisuda Sekolah Dasar Rp300 Ribu di Palembang Picu Protes
Wisuda sekolah dasar (SD) di Palembang picu protes

SuaraSumsel.id - Rasa bahagia menyambut kelulusan anak kelas VI Sekolah Dasar (SD) berubah menjadi kegelisahan dan keluhan bagi sejumlah orangtua murid di salah satu Sekolah Dasar Negeri di Kota Palembang.

Penyebabnya: iuran wisuda yang diwajibkan dengan nominal antara Rp250.000 hingga Rp300.000 per siswa.

Hal ini mencuat ke permukaan setelah Wali Kota Palembang, Ratu Dewa, melakukan inspeksi langsung ke sekolah yang dilaporkan masyarakat.

Kunjungannya dilakukan untuk menindaklanjuti keluhan sejumlah orangtua yang mengaku keberatan atas iuran yang dianggap memberatkan, apalagi menjelang biaya masuk ke jenjang pendidikan berikutnya.

Baca Juga:Bank Sumsel Babel Perkuat Program GEBRAK Palembang dengan Bantuan CSR

“Ada list-nya, Bu. Saya lihat dan dikirimkan ke ponsel saya,” ungkap Ratu Dewa, Rabu (7/5/2025).

Dalam dialog singkat di halaman sekolah, beberapa orangtua murid membenarkan bahwa iuran tersebut bersifat wajib dan tidak disosialisasikan dengan musyawarah terbuka.

“Benar Pak, kami diminta ikut dan bayar,” ucap salah satu wali murid yang hadir.

“Kami ini sedang bersiap-siap untuk masuk SMP. Banyak kebutuhan lain. Biaya wisuda seperti ini jelas menambah beban,” tambahnya.

Wisuda SD: Tradisi atau Beban Finansial?

Baca Juga:Ngutang Rokok Ditolak, Remaja di Palembang Tikam Bude Berkali-kali hingga Tewas

Tradisi wisuda di tingkat sekolah dasar yang dulu hanya simbolis kini mulai berubah menjadi seremoni formal dengan atribut toga, panggung dekoratif, dan foto dokumentasi. Sayangnya, euforia ini kerap menambah tekanan ekonomi bagi keluarga, terlebih yang berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah.

“Anak saya belum tentu paham apa arti wisuda. Tapi kami dipaksa bayar. Seolah kalau tidak ikut, anak kami akan dikucilkan,” kata seorang wali murid lain yang enggan disebut namanya.

Keluhan semacam ini semakin sering terdengar di berbagai sekolah di Palembang, dan akhirnya sampai ke telinga Wali Kota.

Wali Kota: Jangan Dipaksakan, Gunakan Fasilitas Sekolah

Dalam arahannya, Ratu Dewa meminta pihak sekolah agar mengevaluasi ulang kebijakan pengumpulan iuran wisuda, terutama jika tidak ada transparansi dan kesepakatan bersama dari semua orangtua.

“Kita mohon iuran tersebut jangan wajib, jangan membebankan, karena orangtua masih banyak pengeluaran sekolah lainnya,” ujar Ratu Dewa tegas.

Ia juga mengingatkan bahwa wisuda bukan program wajib pemerintah, melainkan tradisi yang bersifat opsional.

Bila pun ingin digelar, Ratu Dewa menyarankan agar dilaksanakan secara sederhana dengan menggunakan fasilitas yang ada di sekolah.

Kepala sekolah yang ditemui di lokasi mengaku tidak mengetahui secara rinci soal pengumpulan iuran tersebut.

Hal ini pun memantik pertanyaan mengenai fungsi pengawasan internal sekolah terhadap kegiatan non-akademik yang menyangkut pembiayaan orangtua.

Instruksi ke Dinas Pendidikan: Bertindak Tegas

Tak berhenti di sekolah, Ratu Dewa langsung menghubungi Kepala Dinas Pendidikan Kota Palembang setelah dari lokasi kunjungan.

Ia meminta agar pihak dinas mengambil langkah tegas sesuai keputusan resmi yang telah dikeluarkan.

“Kita sudah punya kebijakan jelas bahwa wisuda bukan kegiatan wajib. Jika tetap ingin dilaksanakan, buatlah dengan cara yang tidak membebani,” tegasnya.

Wali Kota menambahkan bahwa semangat pendidikan dasar harus inklusif dan adil, tidak boleh menimbulkan kesenjangan hanya karena kemampuan finansial.

Fenomena Seremoni di Dunia Pendidikan: Antara Apresiasi dan Eksklusivitas

Fenomena wisuda dari tingkat TK hingga SD kini menjamur, namun tidak lepas dari kritik. Banyak yang menilai seremoni semacam ini lebih berorientasi pada gengsi daripada substansi.

Tren wisuda kerap menciptakan tekanan sosial terselubung.

Kisruh iuran wisuda Rp300 ribu ini mengungkap realitas sosial yang kerap tersembunyi di balik dinding sekolah.

Ketika euforia perayaan menenggelamkan rasa empati dan keadilan sosial, maka perlu ada keberanian dari pemimpin untuk bersuara.

Kehadiran Wali Kota Ratu Dewa menjadi simbol keberpihakan terhadap suara rakyat kecil—mereka yang seringkali memilih diam karena takut anaknya jadi sasaran perlakuan tidak adil.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini

Tampilkan lebih banyak