SuaraSumsel.id - Allahu Akbar…
Allahu Akbar…
Allahu Akbar…
La Illaha Ilallahu Allahu Akbar, Allahu Akbar wa lillahil hamdu…
Baca Juga:Jemaah Muhammadiyah di Sumsel Gelar Salat Id, Padati Sejumlah Masjid Dan Lapangan
Gema takbir lembut dan cukup samar terdengar diantara bisingnya mesin kendaraan yang melintas di kawasan Masjid Jami’ 4 Ulu yang berlokasi di Jalan K.H Azari Kecamatan Seberang Ulu 1 Kota Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel).
Tepat pada hari ini (21/4/2023) Umat Muslim Muhammadiyah melaksanakan lebaran satu hari lebih dulu dibandingkan dengan umat muslim lainnya di Indonesia. Hal ini, tentu menjadikan sejumlah masjid telah bersiap melakukan ibadah bersama solat idulfitri, salah satunya Masjid Jami’ 4 Ulu Palembang.
Jamaah solat idulfitri yang berasal dari berbagai wilayah di ulu Palembang terlihat mulai memadati masjid tua ini sejak pukul 06.30 WIB, bahkan nuansa khidmat begitu terasa saat imam memulai pelaksanaan solat dengan tujuh kali takbir pada rakaat pertama, hanya suara lantunan surah-surah Al-Quran yang terdengar berpadu dengan desir angin yang sesekali terlihat menyingkap mukenah jamaah perempuan yang berdiri jauh di belakang bangunan utama masjid.
Meskipun tidak lagi berlebaran secara serentak dengan sejumlah umat muslim lainnya di Indonesia seperti tahun-tahun lalu, tetapi Umat Muslim Muhammadiyah mengaku senantiasa menjunjung tinggi sikap toleransi dari keberagaman, seperti dengan membatasi aktivitas makan dan minum di tempat-tempat terbuka tatkala melihat umat muslim dari golongan lainnya masih melakukan puasa ramadan hingga sekarang.
Hal tersebut disampaikan langsung oleh Khotib Solat Idulfitri di Masjid Jami’ 4 Ulu sekaligus anggota Pimpinan Muhammadiyah Provinsi Sumsel, Abu Somah kepada jurnalis Suara.com usai solat idulfitri berlangsung.
Baca Juga:Kemenag Sumsel Berpesan agar Umat Jaga Ukhuwah Islamiyah Walau Berbeda 1 Syawal 1444 H
Menggunakan baju koko dipadukan dengan rumpak songket khas Palembang, Abu Somah mengatakan sampai hari ini perbedaan yang terjadi antara Muhammadiyah dan umat muslim lainnya dalam merayakan Ramadan dan Idulfitri di kota Pempek telah berjalan dengan damai, tanpa adanya gesekan satu sama lain.
Sebagai warga Muhammadiyah, Abu mengaku bangga dengan perilaku toleransi yang ada di Palembang hingga sekarang.
“Alhamdulillah di Palembang sampai saat ini tidak ada perselisihan yang besar dan mencolok untuk perbedaan ini, kalau pada wilayah akademis, mungkin diskusi antara pendekatan hisab dengan rukyat itu biasa saja dan memang harus didiskusikan. Tapi kalau sudah sampai pada keputusan, rasanya tidak ada saling gesek-gesekan dan kita lihat sampai tahun ini, tidak ada gangguan dari masing-masing pihak,” katanya saat diwawancarai Suara.com
Bahkan pembatasan tempat ibadah yang sempat terjadi di beberapa daerah di Indonesia, disebutnya belum pernah terjadi di Kota Palembang, dengan demikian dia menilai masyarakat sekitar telah sangat dewasa dalam memahami dan menerima perbedaan yang berdampak pada kerukunan warga,
“Mungkin beberapa waktu ini kita sempat menerima informasi kalau ada Umat Muhammadiyah yang menerima batasan tempat ibadah untuk pelaksanaan solat ied, tapi Alhamdulillah di Palembang, kita yang berbeda akan saling menghargai dan menjunjung toleransi. Ini patut untuk diapresiasi, saya rasa juga warga Palembang sudah cukup dewasa untuk menerima perbedaan ini,” sambungnya.
Umat Muslim Muhammadiyah juga dianjurkan untuk membatasi aktivitas makan dan minum di tempat-tempat umum sebagai lingkup aktivitas bagi umat islam lain yang masih melakukan ibadah puasa ramadan terakhir di hari ini. Hal itu terus dia sampaikan kepada jamaah solat ied kali ini.
Sejauh ini diketahui ada sebanyak sekitar 15 ribu jiwa warga di Palembang sebagai Muhammadiyah, hal itu tergambar dari perhitungan pelajar yang tergabung pada lembaga pendidikan Muhammadiyah di Palembang baik dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Dengan jumlah tersebut dia sangat menyakini seluruh dapat memahami makna toleransi, khsusunya pada saat perbedaan pelaksanaan hari besar islam.
Dia menilai aka nada banyak sekali pertukaran tradisi dan kebiasaan yang bisa dipelajari dan dibagikan satu sama lainnya, bahkan saat ini tidak sedikit tradisi dan adat Muhammadiyah yang sudah membaur dengan masyarakat, sehingga bagi dia gelar Darussalam memang pantas disematkan bagi Kota Palembang.
Sesuai dengan harapan masyarakatnya yang dapat hidup berdampingan dengan aman, damai dan tentram meskipun berbeda aliran, agama, suku, ras dan kebudayaan.
Berangkat dari situlah kemudian jurnalis suara.com turut bertanya mengenai adanya tradisi Umat Muslim Muhammadiyah yang biasa dilakukan pada saat lebaran tiba, dan kali ini Abu kembali menerangkan bahwa Muslim Muhammadiyah tidak dianjurkan untuk melakukan adat takziah di pemakaman pada hari suci seperti ini, hal tersebut bermaksud sebagai penghormatan akan datangnya bulan baik untuk melakukan silaturahmi kepada sesama manusia terlebih dahulu.
“Untuk tradisi hari raya ini tidak ada perbedaan dengan pelaksanaan pada umumnya, sepeti saling mengunjungi, memaafkan dan bahkan umat muslim Muhammadiyah juga turut melaksanakan apa yang dikatakan sebagai Halal bi halal jadi secara umum tidak berbeda. Untuk meluapkan kesenangan sama saja, paling perbedaannya kami warga Muhammadiyah tidak menganjurkan untuk adanya momen ziarah ke pemakaman pada hari ini, silahkan takziah tapi tidak dikhususnya pada saat idul fitri, kalaupun ada yang datang itu tidak menjadi masalah, namun jangan sampai membiasakan diri untuk mengkhususkan takziah ke pemakaman pada hari suci seperti ini,” ujarnya.
Abu sangat berharap dengan berakhirnya pelaksanaan ibadah puasa di tahun ini, umat Muslim Muhammadiyah dapat memetik nilai kebaikan selama ramadan yang telah berlangsung sebagai bekal awal sebagai manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya dan dapat mengaplikasikan islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin.
Masjid Jami’ 4 Ulu Beri Gambaran Toleransi Umat Beragama di Palembang
Hampir sama dengan perjalanan sejarah masjid tua lainnya di Palembang, Masjid Jami’ 4 Ulu pun memiliki cerita unik tersendiri.
Dikenal sebagai salah satu Masjid Muhammadiyah yang kerap digunakan sebagai pelaksanaan ibadah solat ied di kawasan ulu Palembang, ternyata masjid ini telah berdiri sejak tahun 1890 silam. Dimana berdasarkan penuturan ketua pengurus masjid, Abdurahman Ahmad Sabudin dijelaskan masjid tersebut digadang-gadang sebagai cikal bakal rumah ibadah pertama kali bagi Umat Muslim Muhammadiyah di Palembang pada eranya.
Di dalam buku karya penulis Belanda bernama John Petter yang membahas mengenai perkembangan islam melayu di Palembang, Abdurahman mengaku banyak membaca sejarah perjalanan pembangunan serta perizinan pelaksanaan ibadah umat muslim di Palembang pada zaman penjajahan Belanda di Indonesia saat itu.
Pada Bab kedua buku tersebut, penulis banyak membahas mengenai asal mula perizinan ibadah di Masjid Jami’ 4 Ulu tersebut.
Dimana pada awal pendiriannya, masyarakat dan pemerintah Belanda yang berada di Palembang sempat begejolak akibat pembatasan aktivitas masjid yang dinilai bertentangan dengan hak yang seharusnya diterima umat beragama di Indonesia saat itu.
“Saya sempat berkunjung ke kedutaan Belanda beberapa waktu lalu, dan di sana saya mendapatkan referensi sebuah buku yang banyak membahas mengenai perkembangan islam di Palembang dan salah satunya Masjid Jami’ ini pada Bab II nya. Disana, dipaparkan mengenai penerapan ibadah solat Jumat di sini yang sempat terbatas, akibatnya orang-orang terdahulu meminta agar pemerintah Belanda yang ada di sini dapat mengoperasikan masjid ini sebagai sarana ibadah, akrena kalau solat Jumat waktu itu sangat jauh, harus ke kawasan 12 Ulu,” ceritanya
Sayangnya permintaan tersebut justru mendapat penolakan dari pemerintah setempat, yang menyebabkan Umat Muslim Muhammadiyah akhirnya mengajukan banding ke pemerintahan pusat di Jakarta yang saat itu pun masih dalam kekuasaan Belanda. Setelah menunggu dalam waktu yang panjang, akhirnya permintaan itu membuahkan hasil, dimana pemerintah pusat memberikan izin kepada masyarakat agar bisa melakukan ibadah keagamaan di Masjid Jami’ 4 Ulu.
Atas keputusan tersebut, hingga kini seluruh kegiatan keagamaan bagi Muslim Muhammadiyah terus berlanjut di masjid yang didominasi yang gaya arsitektur kesultanan Palembang Darussalam itu. Diterangkan lagi oleh Abdurahman, sebagian besar bangunan masjid masih mempertahankan ornamen pada awal pembangunan, seperti empat tiang utama dan plafon masjid yang melambangkan kekuatan dan kesederhanaan.
“Tidak hanya itu, mimbar yang ada di dalam sini juga merupakan mimbar pertama saat Masjid Jami’ baru dioperasikan sebagai rumah ibdaha khususnya pelaksanaan solat Jumat, sampai sekarang tampilannya masih bagus dan kokoh, tentunya ini belum pernah sama sekali digantikan dengan yang baru,” sambung dia.
Meskipun hingga hari ini Masjid Jami’ 4 Ulu dikenal dengan istilah Masjidnya orang Muhammadiyah di Palembang, akan tetapi Abdurahman tidak melarang siapapun dan dari golongan islam manapun untuk bisa beribadah di sana. Sebab, baginya ibadah kepada sang pencipta dapat dilakukan dimanapun tanpa menciptakan sekat-sekat perbedaan satu sama lain ataupun atar golongan dan umat beragama.
“Kalaupun memang ada umat Muslim Nahdatul Ulama yang ingin melaksanakan solat ied di masjid ini, tentunya akan kami sambut dengan baik. Hanya saja, memang sampai sekarang permintaan itu belum pernah disampaikan kepda kami,” tutur dia.
Besar harapannya, agar kesatuan yang tergambar dari Masjid Jami’ dapat terus mengalir hingga ke anak dan cucunya nanti, sehingga tidak lagi ada perpecahan ditengah-tengah khidmat ibadah. Meskipun saat ini terjadi perbedaan pelaksaan lebaran, akan tetapi dia terus mengajarkan toleransi kepada keluarganya.
“Toleransi itu penting, mangkanya kami disini tidak pernah mau membeda-bedakan ini islam NU dan ini islam Muhammadiyah,” tutupnya.
Kontributor: Mita Rosnita