SuaraSumsel.id - Malam kian larut ketika I masih terperangkap di busana badut tokoh kartun yang terkenal di Malaysia ini. Hari ini, dia memerankan menjadi salah satu tokoh kembar di film kartun milik Malaysia tersebut. Modalnya hanya menggerakkan tubuh, agar tampak mirip gaya tokoh kartun yang ia perankan.
Menggemaskan memang, meski begitu tujuannya tetap satu. Pecahan rupiah dari pengendara jalan yang berada di lampu-lampu merah Kota Palembang, Sumatera Selatan yang menaruh iba pada dirinya.
Dengan tinggi tubuh yang belum ideal dengan kostum tokoh kartun tersebut, I masih berusaha menyesuaikan geraknya agar terlihat menggemaskan. Setelah menggerakkan tubuh di hadapan pengendara, ia langsung menadahkan kantong guna mengumpulkan pecahan rupiah.
Malam ini, tampaknya bukan malam baik bagi I. Pecahan rupiah yang terkumpul tidak seperti diinginkan. Apalagi untuk hanya bisa pulang ke rumahnya yang berada di daerah Pusri, Palembang.
Baca Juga:Akhir Pekan di Sumsel, Cuaca Berawan Dengan Potensi Hujan Disertai Petir
Ia tampak hanya mendapatkan beberapa lembar uang dua ribuan, sekaligus koin-koin uang seribu rupiah. Uang tersebut dikumpulkan I, hanya untuk bisa kembali ke rumah serta membeli makan mengisi perut pada malam itu. “Sekolah pagi, terus ke jalan,” ujarnya berusaha ramah saat ditanya pengendara.
Dia pun mengungkapkan pekerjaan ini bukan pekerjaan baru baginya. Di keluarganya, dengan orang tua sudah tidak utuh, ia mengenal dunia anak jalanan. “Biasanya saling tahu, mesti bukan saudara atau keluarga,” akunya. Sama-sama saling berkenalan di jalan hingga akhirnya berteman dan saling kenal satu dengan lainnya.
Kostum tokoh itu pun didapat dari disewa. Kostum tokoh film anak-anak yang sengaja dipilih agar terlihat menghibur. “Sudah dari sekolah dasar atau SD di jalanan, dulu hanya bawa kemoceng,” sambung dia.
Anak sulung ini mengungkapkan jika ibunya pun hidup di jalanan sejak remaja. Sang ibu sempat menikah namun berpisah hingga kini memiliki dua anak yang juga kembali ke jalanan. “ Sudah berpisah, ditinggal pergi. Kami bertiga bergantian ke kawasan lampu merah ini. Adik, siang sama ibu,” ujarnya.
Sudah berumur belasan tahun, I pun mengaku tinggal kelas. Hal itu, tidak lain karena desakan ekonomi yang dihadapi ketika ibu pun berusaha meninggalkan dia bersama sang adik. “Tidak naik kelas, karena jarang masuk. Waktu itu, ibu juga pernah pergi, jadi jaga adik dan cari uang” ujarnya dengan mata berbinar mengisahkan jalan hidup yang harus dihabiskan di jalanan kota Palembang.
Baca Juga:Cerita Getir Pelajar di Sumsel: Disekap Berhari-Hari, Disetubuhi 6 Pria Sampai Dijual Rp 1 Juta
Kostum tokoh kartun tersebut pun diakui I, dibeli dengan cara dibayar beberapa kali dari seseorang kenalan baru. Membeli kostum badut bekas ini sebagai bentuk Inisiatif agar tidak lagi jadi manusia silver yang harus mengecat tubuh saat berinteraksi di jalanan.
“Dulu mangkalnya malah lebih jauh, di simpang lampu empat DPRD, kan ramai di sana, ada tempat ngumpulnya, saling kenal,” ujar I yang mengungkapkan jika sudah lebih 10 tahun menghabiskan usia di jalanan.
Tapi sejak razia soal manusia silver, aktivitas di kawasan pusat kota Palembang tersebut berangsur menurun. “Ada teman menawarkan kostum kartun bekas, coba saya tawarkan sama ibu, dan kami sewa,” ujarnya.
Ibu pun diakui I, pakai kostum itu jika pagi hari. Pada siang hari bersama adik yang masih berusia 7 tahun, hanya duduk di salah satu ruas pertokoan menjual tisu sekaligus mengemis. “Jika siang, kadang ibu bawa kostum, tapi jual balon dan tisu juga,” ujarnya.
Pagi hari, I bersekolah meski sering tidak masuk sekolah karena kadang ibu menyuruh menjaga adik. Diakui I, kehidupannya lebih baik.
Beberapa anak jalanan di Palembang diungkapnya hanya dipekerjakan oleh keluarga mereka yang lebih tua namun, lalu hasilnya disetor. Jika tidak mau bekerja, biasanya keluarga tersebut tidak segan memukul di jalanan.
“Ibuku, lebih baik. Tidak marah-marah, tapi memang aku harus kerja daripada sekolah,” akunya.
Kehidupan I memang lebih baik dari dua bersaudara yang menjadi manusia badut di kawasan simpang empat RS Charitas Palembang.
Kakak beradik yang berada di kawasan simpang empat RS Charitas Palembang ini pun sudah lama berada di jalanan. Kali ini kostum yang dipakai adalah tokoh kartun robot Jepang. Tokoh kartun yang dikenal bisa menyelesaikan berbagai masalah dari kantong ajaib yang dimiliki.
Sayangnya meski memerankan robot Jepang dengan kantong ajaib, kedua adik kakak ini tidak berkesempatan memperoleh mengubah hidup lebih baik. Mereka mendapatkan kostum buluk tersebut dengan menyewa.
Sewa kostum badut tersebut Rp 15.000 per hari. Diutarakan keduanya, kedua orang tuanya pun sudah berpisah. Keduanya kini hidup bersama ibunya dengan keberadaan sang ayah yang tidak pernah diketahui.
R, salah satu anak pun menceritakan jika tinggal kelas. Kakak beradik tersebut menceritakan pengalamannya di jalanan sebelum menjadi badut tokoh kartun.
Saat mangkal di kawasan RS Charitas Palembang ini, kakak beradik ini berbagi tugas. Ada yang bawa kemoceng namun kemudian juga meminta uang pada pengendara. “Dulu ikut-ikutan jadi manusia silver, hasilnya pun sangat tidak menentu, ibu juga sering marah, jadinya tidak pulang ke rumah,” aku R.
R mengakui dominan anak jalanan di Palembang bernasib hampir sama. Mereka berasal dari keluarga yang tidak utuh, mengenal dunia jalanan lebih muda hingga ikut-ikutan apa yang banyak dilakukan, misalnya memalak sopir, hingga mengenal obat-obatan terlarang.
“Juga tidak terima bantuan. Misalnya bantuan sekolah, saya tidak terima. Benar-benar harus berjuang sendiri, mau percaya pada orang terdekat, mereka juga yang membuat kami di jalanan,” ungkap R dengan lirih.
Diakui R jika kekerasan biasanya terjadi jika anak jalanan yang tidak jelas siapa yang bawa ke jalanan. "Tapi jika jelas ada orang yang bawa, dan ada kawanan, biasanya tidak diincar. Diincar ini karena dia datang-datang sendiri, jadi yang incar ingin menakut-nakutin dan "pegang" dia," ujar R
Beberapa kali terjaring razia, R mengaku hanya didata dan dibina oleh pemerintah daerah. Pembinaan yang kemudian membuat mereka tidak bisa lagi bekerja di jalanan dan menghasilkan uang untuk diri sendiri dan keluarga. “Padahal di keluarga yang sudah tidak utuh, kami butuh uang untuk makan,” ujar R.
Kekerasan Tertinggi di Palembang
Berdasarkan data angka kekerasan di Sumatera Selatan terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2022 angka kekerasan di Sumatera Selatan mencapai 341 kasus.
Meski berkurang 6,58 persen dibandingkan tahun sebelumnya, namun kekerasan yang dialami di Sumsel merupakan kekerasan fisik, yang mencapai 184 kasus. Setelah itu, kekerasan lainnya yakni kekerasan seksual mencapai 161 kasus dan kekerasan psikis mencapai 139 kasus.
“Faktanya, korban kasus kekerasan sebagian besar adalah perempuan yang masih anak-anak mencapai 165 kasus. Kasus kekerasan pada perempuan dewasa pada urutan kedua terbesar,” ujar data BPS Sumatera Selatan.
Jika dilihat dari kota dan kabupaten, maka kota Palembang menjadi wilayah di Sumsel yang paling banyak terjadi kekerasan pada anak.
Di tahun 2020, tercatat sebanyak 85 kasus kekerasan terjadi di Kota Palembang. Bentuk kekerasan yang banyak terjadi di Palembang yakni kekerasan fisik sebanyak 50 kasus, dan kekerasan psikis sebanyak 37 kasus.
Setelah kota Palembang, disusul dengan kabupaten Ogan Komering Ulu dengan jumlah kekerasan pada anak mencapai 35 kasus. Bentuk kekerasan yang paling sering terjadi di kabupaten itu adalah kekerasan fisik yakni 25 kasus dan kekerasan seksual mencapai 22 kasus.
Menurut lembaga Women Crisis Center (WCC) Palembang, kekerasan terutama kekerasan seksual ini ibarat fenomena gunung es. Fenomena yang baru sedikit terungkap di permukaan dengan banyak ditemukan yang belum terungkap.
Banyak korban yang memilih untuk tidak melaporkan peristiwa kekerasan atau pelecehan seksual tersebut dengan berbagai alasan diantaranya relasi hubungan kuasa yang kuat atau tidak imbang antar pelaku dan korban.
Selain itu itu, proses hukum yang panjang sekaligus tekanan sosial atas nama menjaga nama baik institusi atau lembaga.
"Jika di lembaga pendidikan ini, tidak adanya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual yang melindungi korban, terutama kerahasiaan dan keamanan korban," ujar Ketua Dewan Pengurus WCC Palembang, Yeni Roslaini Izzi kepada Suara.com belum lama ini.
Pandemi Mendorong Angka Kekerasan Meningkat
Situasi pandemi mengakibatkan kehidupan ekonomi yang makin terdesak, apalagi kebutuhan pendidikan bagi anak-anak. Situasi pandemi membuat laju ekonomi yang melambat membuat anak-anak pun menjadi korban. Baik dari sisi pendidikan, hingga harus menanggung beban keluarga.
Menanggung beban keluarga ini yang biasanya terjadi pada anak-anak jalanan.
"Selain perlunya edukasi mental kepada mereka. Jeratan orang-orang dekat, keluarga, bahkan kejadian ibu yang tidak segan memukul anak-anak jika tidak bekerja di jalanan jadi potret menahun mereka,” ujar Yenni.
Solusi atas fenomena menahun ini adalah terus menerus menjawab permasalahan mereka. Dari pihak kepolisian pun mengungkapkan upaya “memberantas” anak jalanan membutuhkan sinergisitas, terutama Pemerintah Daerah.
Kontributor: Achmad Fadli.