95 Persen Kasus COVID-19 Disebabkan Varian Delta

Data yang ada menyebutkan 95 persen kasus COVID-19 di Indonesia adalah jenis varian delta.

Wakos Reza Gautama
Sabtu, 17 Juli 2021 | 13:36 WIB
95 Persen Kasus COVID-19 Disebabkan Varian Delta
Ilustrasi COVID-19. Lonjakan kasus COVID-19 di Indonesia disebabkan varian delta. [Unsplash/Martin Sanchez]

SuaraSumsel.id - Ledakan kasus COVID-19 di Indonesia kemungkinan besar disebabkan COVID-19 varian delta

Data yang ada menyebutkan 95 persen kasus COVID-19 di Indonesia adalah jenis varian delta

Mendominasinya varian delta dalam kasus COVID-19 di Indonesia dipaparkan Ketua Tim Pengurutan Genom Menyeluruh (Whole Genom Sequencing/WGS) SARS-CoV-2 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Sugiyono Saputra.

Sugiyono mengatakan kemungkinan besar lonjakan kasus COVID-19 di Indonesia disebabkan oleh varian delta.

Baca Juga:6 Perjuangan Syifa Adik Ayu Ting Ting Melawan Covid-19, Sesak Napas Hingga Saturasi Turun

"Jika dilihat dari data GISAID yaitu data genom SARS-CoV-2 yang berhasil di-sequencing dan diidentifikasi selama tiga pekan terakhir, lebih dari 95 persen merupakan varian delta dan sisanya adalah varian alfa dan varian lokal Indonesia," kata Sugiyono dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (17/7/2021) dilansir dari ANTARA.

Sugiyono menuturkan dari penelitian yang dilakukan di laboratorium Bio Safety Level (BSL) 3 LIPI, dengan melakukan pengambilan sampel selama delapan hari terhitung dari tanggal 10-18 Juni 2021, ditemukan hampir 100 persen adalah varian delta.

"Berdasarkan data yang ada, terbukti bahwa lonjakan kasus yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh paparan virus SARS-CoV-2 varian delta," ujar Sugiyono.

Sejak beberapa pekan belakangan, kasus COVID-19 di Indonesia mengalami lonjakan yang sangat signifikan.

Bahkan, pada rentang waktu 2-15 Juli 2021 tercatat penambahan total kasus positif COVID-19 mencapai 523.695 kasus.

Baca Juga:Sejak Bulan Lalu Kasus Covid-19 Anak di Kulon Progo Tembus 400 Orang

Pada 11 Juli 2021 Indonesia tercatat sebagai negara dengan kasus kematian tertinggi di dunia, yaitu mencapai 1.007 orang dalam satu hari.

Merebaknya kasus COVID-19 di Indonesia ditengarai oleh varian baru dari virus SARS-CoV-2 varian delta yang diketahui pertama kali ditemukan di India.

Menurut sugiyono, faktor utama yang menyebabkan varian delta begitu berbahaya dan penyebarannya sangat masif adalah karena karakteristik dari varian delta memiliki tingkat penularan yang sangat tinggi dibanding varian lain.

"Material genetik yang ditemukan di varian delta punya karakter yang bisa menurunkan efektifitas dari vaksinasi dan terapi obat yang saat ini dilakukan," ujarnya.

Sugiyono menuturkan berdasarkan data yang diperoleh dari Inggris, varian delta sangat berkorelasi dengan peningkatan jumlah huni rumah sakit.

Itu berarti varian tersebut mempunyai efek terhadap keparahan kondisi pasien COVID-19.

Menurut dia, kasus COVID-19 di Indonesia tidak hanya disebabkan oleh varian delta. Berdasarkan riset yang dilakukan, juga ditemukan varian baru asal Indonesia, yaitu varian B.1.466.

Sugiyono menuturkan sebelum varian delta masuk ke Indonesia, varian baru asal Indonesia mendominasi kasus COVID-19 di Indonesia.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan Indonesia agar varian lokal terus dimonitor, karena secara genetik varian itu mampu meningkatkan transmisi atau penularan di masyarakat.

Selain itu, varian tersebut juga dapat menyebabkan penurunan efektifitas vaksin dan terapi obat.

"Akan tetapi, sampai saat ini, bukti ilmiah terkait efek secara epidemiologi atau bukti ilmiah yang menunjukkan langsung efek dari mutasi yang terjadi belum ada. Varian lokal saat ini kasusnya tidak banyak dan sampai saat ini varian delta lebih berbahaya," ujar Sugiyono.

Sejak penelitian COVID-19 dilakukan di Indonesia, selama lebih dari satu tahun telah ditemukan lebih dari 10 varian COVID-19.

Namun, varian yang menjadi perhatian adalah varian delta, alfa, dan varian of interest, yaitu gama.

"Walaupun dunia saat ini telah dihebohkan oleh varian baru COVID-19, yaitu varian gama dan lamda, varian ini belum kami temukan di Indonesia sesuai data dari GISAID," tutur Sugiyono.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini