Diputar di Palembang, Film Kinipan Potret Konflik Masyarakat Menjaga Alam

Film besutan Watchdoc, Kinipan diputar di Palembang.

Tasmalinda
Jum'at, 09 April 2021 | 14:17 WIB
Diputar di Palembang, Film Kinipan Potret Konflik Masyarakat Menjaga Alam
Nobar film Kinipan Watchdoc di Palembang [Fitria/Suara.com] Diputar di Palembang, Film Kinipan Potret Konflik Berkepanjangan Masyarakat

Penolakan terjadi pada buruh, para pekerja dan mahasiswa sebagai calon pekerja. UU sapu jagat tersebut melahirkan 10 juta orang pengangguran akibat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Kondisi pangan juga berhubungan dengan food estate yang dibuat pemerintah dianggap tidak berpihak pada rakyat, konsepnya ingin mendatangkan investor namun mendatangkan krisis bagi masyarakat Indonesia.

Pemerintah sampai mengerahkan anggota TNI untuk mensukseskan proyek besar itu. Namun nyatanya, hasil pangan yang diperoleh dari proyek ini tidak lebih banyak daripada saat pertanian dikelola oleh masyarakat asli.

Kemudian sebelum epilog, Film Kinipan menguak tentang perusahaan restorasi. Kebijakan pemerintah untuk merestorasi ekosistem menyebabkan konflik antara koorporasi, PT. Alama Bukit Tigapuluh dan PT. Restorasi Ekosistem Indonesia dan masyarakat yang tinggal di wilayah Sumatera bagian tengah.

Baca Juga:KPK Periksa 5 Saksi Kasus Suap Dinas PUPR Muara Enim di Polda Sumsel

Masyarakat dan koorporasi saling tuduh atas kebakaran hutan pada tahun 2009. Menurut Film tersebut Pemerintah seharusnya melibatkan masyarakat untuk merestorasi ekosistem karena sudah dari dulu mempunyai cara untuk melindungi hutan.

Akademisi Sriwijaya Palembang Julian Junaedi atau JJ Polong berpendapat Watchdoc selalu menampilkan film yang didalamnya terdapat sebuah pertarungan.

Nobar Filim Kinipan {Fitria/Suara.com]
Nobar Filim Kinipan {Fitria/Suara.com]

Seperti pada film Kinipan ini adanya pertarungan antara orang yang berkuasa dan masyarakat yang mengandalkan pada kearifan lokal.

“Lalu ada segelintir orang yang memiliki pengetahuan modern dengan dengan teknologinya, melalui kekuasaan bukannya ingin melindungi, memberdayakan atau berbagi tetapi ingin menaklukan dan eksploitasi,” ujarnya usai Nobar film yang disutradarai oleh Dandhy Dwi Laksono dan Indra Jati ini.

Watak kapitalis dalam film ini tergambar jelas melihat serakahnya penguasa dengan terus melakukan eksploitasi, akumulasi dan ekspansi.

Baca Juga:Kabar Duka, Mantan Gubernur Sumsel Prof Mahyuddin Meninggal Dunia

Polong menyebut cara pandang masyarakat dan pemilik pemikiran kapitalis berbeda mengenai hutan. Seperti masyarakat yang menganggap hutan adalah pusat kehidupan yang telah memenuhi kebutuhan  kesehariannya, sedangkan penganut kapitalis justru melihat hutan sebagai suatu hal  yang harus di eksploitasi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini