SuaraSumsel.id - Di tengah makin nyaringnya peringatan dunia soal krisis iklim dan pangan yang mengintai, harapan itu berakar diam-diam di lereng-lereng Bukit Barisan, tepatnya di wilayah Semende, Sumatera Selatan.
Harapan itu tumbuh dalam bentuk bulir-bulir padi lokal yang dipelihara dengan penuh mencinta oleh masyarakat adat melalui sistem warisan leluhur: Tunggu Tubang.
Ahmad Karmansyah, seorang tokoh masyarakat dari Desa Palak Tanah, Semende Darat Tengah, menyebut bahwa di daerahnya masih ditanam beragam jenis padi tradisional.
Ada padi pulut, padi berang, padi sebur putih, dan padi sebur kuning—semuanya bukan hanya sekadar tanaman pangan, melainkan bagian dari identitas dan perlawanan terhadap hegemoni benih industri serta ancaman krisis iklim.
“Mereka yang menanam ini adalah para Tunggu Tubang,” ujar Karmansyah.
“Mereka penjaga pusaka, juga penjaga padi warisan dari puyang-puyang kami dulu,” sambungnya.
Tunggu Tubang bukan sekadar adat, melainkan sistem sosial khas Suku Semende.
Dalam sistem ini, anak perempuan dipercaya untuk menjaga pusaka keluarga seperti rumah, sawah, kebun, dan tebat atau danau buatan.
Tugas itu tak ringan—mereka menjadi garda terdepan yang memastikan tanah tak dijual, tradisi tetap hidup, dan benih lokal tetap tumbuh, bahkan ketika dunia terus berubah.
Baca Juga: Panduan SPMB SMP Palembang 2025: Jadwal dan Jalur Masuk, Orang Tua Wajib Tahu
Umaya, perempuan 44 tahun yang kini menjadi Tunggu Tubang generasi ke-13 menceritakan dengan bangga bahwa ia masih merawat empat jenis padi lokal.
Masing-masing punya fungsi sendiri: padi pulut untuk sedekah dan undangan meraje (tokoh adat laki-laki), padi berang untuk tapai dan pengobatan bibir pecah-pecah, sementara padi sebur putih dan kuning untuk konsumsi sehari-hari.
“Kalau padi sebur itu tahan cuaca. Anginnya sekarang makin sering, hujan kadang datang tiba-tiba. Tapi sebur kuning dan putih ini kuat, rumpunnya besar,” ujarUmaya menjelaskan.
Pilihan masyarakat Semende untuk mempertahankan padi lokal bukan tanpa alasan.
Selain menyangkut tradisi dan nilai budaya, jenis-jenis padi lokal ini terbukti lebih adaptif terhadap perubahan iklim. Mereka tidak membutuhkan pupuk kimia tinggi, dan tahan terhadap kemarau serta serangan hama, asalkan pola tanam dan pengairan dijaga.
Dalam sistem Tunggu Tubang, ada pula sosok meraje, yakni laki-laki dalam keluarga yang bertugas membimbing dan mengawasi.
Tag
Berita Terkait
-
Panduan SPMB SMP Palembang 2025: Jadwal dan Jalur Masuk, Orang Tua Wajib Tahu
-
Top 5 Daerah Tersembunyi di Sumatera Selatan yang Wajib Kamu Kunjungi
-
Bank Sumsel Babel Salurkan KUR pada Petani Banyuasin: Dukung Gerakan Indonesia Menanam
-
Sidak Kawasan Pasar 16, Ratu Dewa Curigai Pol PP 'Masuk Angin' Terima Setoran
-
Herman Deru Kembali Pimpin NasDem Sumsel, Siapkan Gebrakan Untuk Pemilu 2029
Terpopuler
- Selamat Tinggal Jay Idzes, Mohon Maaf Pintu Klub Sudah Ditutup
- Resmi! Thijs Dallinga Pemain Termahal Timnas Indonesia 1 Detik Usai Naturalisasi
- Makin Menguat, Striker Cetak 3 Gol di Serie A Liga Italia Dinaturalisasi Bersama Mauro Zijlstra
- Thijs Dallinga Ogah Bahas Peluang Bela Belanda, Sepakat Perkuat Timnas Indonesia?
- 1 Detik Naturalisasi 9 Pemain Keturunan Ini Harga Pasaran Timnas Indonesia Tembus Rp 1 Triliunan!
Pilihan
-
OJK Beberkan Fintech Penyumbang Terbanyak Pengaduan Debt Collector Galak
-
Tarif Trump 19% Berlaku 7 Agustus, RI & Thailand Kena 'Diskon' Sama, Singapura Paling Murah!
-
Pemerintah Dunia dan Tenryuubito: Antagonis One Piece yang Pungut Pajak Seenaknya
-
Persija Jakarta Bisa Lampaui Persib di Super League 2025/2026? Eks MU Beri Tanggapan
-
Tiga Hari Merosot Tajam, Harga Saham BBCA Diramal Tembus Segini
Terkini
-
Selvi Gibran Borong Songket di Palembang, Produk UMKM Sumsel Langsung Ludes
-
Sumsel Tuan Rumah Pornas Korpri 2025, ASN dari Seluruh Indonesia Datang
-
Laba Semen Baturaja Melejit, Dari Single ke Double Digit di Semester I 2025
-
Kelas Jurnalisme AJI Palembang Kupas Cara Sebar Liputan Energi Bersih di Medsos
-
Dana Aman! Bank Sumsel Babel Imbau Nasabah Tetap Tenang dan Aktif Bertransaksi