Jika seorang Tunggu Tubang lalai, seperti menjual sawah warisan, meraje bisa turun tangan memberi peringatan. Bahkan, secara adat, diyakini ada “bala’” atau musibah bagi mereka yang melanggar titah leluhur.
Di saat banyak wilayah menggantungkan nasib pada beras impor dan varietas hibrida, masyarakat Semende justru menunjukkan bahwa solusi bisa ditemukan dalam tradisi.
Mereka tidak menolak modernitas, namun menempatkan kearifan lokal sebagai fondasi.
Ketika dunia bicara soal ketahanan pangan dan perubahan iklim, masyarakat Semende sudah lebih dahulu menanam jawabannya—dalam setiap bulir padi lokal yang tumbuh dari tangan para Tunggu Tubang.
Baca Juga: Panduan SPMB SMP Palembang 2025: Jadwal dan Jalur Masuk, Orang Tua Wajib Tahu
Mengajak generasi muda
Di tengah ancaman krisis pangan global yang semakin nyata, peran generasi muda menjadi sorotan utama dalam upaya mitigasi yang berkelanjutan.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri telah menekankan pentingnya keterlibatan anak muda sejak 2024, mengingat mereka adalah kelompok yang paling terdampak sekaligus memiliki potensi besar untuk menciptakan perubahan.
Di Palembang, sekelompok anak muda yang tergabung dalam komunitas Ghompok Kolektif menjawab panggilan tersebut dengan cara yang unik—melalui visual storytelling.
Mereka tengah menggarap sebuah film dokumenter dan buku foto bertajuk Tunggu Tubang Tak Akan Tumbang, yang mengeksplorasi kearifan lokal di wilayah Semende, Sumatera Selatan.
Baca Juga: Top 5 Daerah Tersembunyi di Sumatera Selatan yang Wajib Kamu Kunjungi
Proyek ini bukan sekadar dokumentasi budaya, tetapi juga menjadi media pembelajaran bagi 25 pemuda lokal yang dilibatkan secara aktif dalam proses kreatif.
Dengan dukungan dari Kementerian Kebudayaan, LPDP, dan Dana Indonesiana, karya ini diharapkan rampung akhir tahun dan akan dipublikasikan secara perdana di Palembang dan Semende.
“Kami ingin menunjukkan bahwa budaya lokal seperti sistem adat Tunggu Tubang punya nilai penting dalam menjaga ketahanan pangan dan ekologi,” ujar Prabu, salah satu inisiator.
Melalui lensa kamera dan narasi visual, Ghompok Kolektif berupaya membangun kesadaran bahwa krisis pangan bukan hanya soal pasokan makanan, tapi juga tentang keberlanjutan identitas, tanah, dan warisan budaya yang tak ternilai harganya.
Makin Terancam
Kepunahan varietas padi lokal bukan sekadar kehilangan tanaman, melainkan juga hilangnya sejarah, pengetahuan leluhur, dan identitas budaya suatu komunitas.
Berita Terkait
-
Panduan SPMB SMP Palembang 2025: Jadwal dan Jalur Masuk, Orang Tua Wajib Tahu
-
Top 5 Daerah Tersembunyi di Sumatera Selatan yang Wajib Kamu Kunjungi
-
Bank Sumsel Babel Salurkan KUR pada Petani Banyuasin: Dukung Gerakan Indonesia Menanam
-
Sidak Kawasan Pasar 16, Ratu Dewa Curigai Pol PP 'Masuk Angin' Terima Setoran
-
Herman Deru Kembali Pimpin NasDem Sumsel, Siapkan Gebrakan Untuk Pemilu 2029
Tag
Terpopuler
- 6 Pilihan HP Samsung Murah Harga Rp1 Jutaan: RAM 6 GB, Performa Terbaik
- 6 Mobil Matic Bekas di Bawah Rp 40 Juta: Cocok untuk Pemula dan Ramah di Kantong
- Keluarkan Rp7 Juta untuk Tebus Ijazah Eks Satpam, Wamenaker Noel: Perusahaan Membangkang Negara
- 8 Rekomendasi HP Harga Rp1 Jutaan Spesifikasi Tinggi: Layar AMOLED, Kamera 50 MP!
- 5 Mobil Keluarga Terbaik yang Kuat Tanjakan, Segini Beda Harga Bekas vs Baru
Pilihan
-
Kesombongan Pemain Klub Israel: Kami Tak Takut dengan Rudal Iran!
-
3 Kerugian Ole Romeny dan Marselino Ferdinan Tampil di Piala Presiden 2025
-
Perang Iran-Israel Kian Panas, Pasar Keuangan Global Panik
-
Harga Emas Antam Terbang Tinggi di Awal Pekan, Dibanderol Rp 1.968.000 per Gram
-
Bayern Munich Perkasa di Piala Dunia Antarklub: Bantai Auckland City 10-0
Terkini
-
7 Link DANA Kaget Asli, Begini Cara Aman Klaim Saldo Gratis!
-
HP 1 Jutaan Terlaris Juni 2025: Infinix Hot 50, Samsung A06 & Realme Note 50 Juaranya
-
3 Motor Listrik Subsidi Terbaik 2025, Harga Mulai Rp 12 Jutaan
-
Resmi Raja Sneaker 2025! Ini Bedanya New Balance 550 & 990, Kenapa Banyak yang Borong
-
Sumsel Sepekan: Warga Muratara Blokir Jalan Tolak Tambang Emas, Mahasiswa Papua Suarakan Raja Ampat