Scroll untuk membaca artikel
Tasmalinda
Senin, 07 April 2025 | 15:14 WIB
Ilustrasi panas bumi. Warga Tanjung Sakti Ingin blokade jalan nasional tolak proyek panas bumi.

SuaraSumsel.id - Warga Tanjung Sakti, Lahat, Sumatera Selatan dengan tegas menyuarakan penolakannya terhadap proyek eksplorasi panas bumi yang saat ini tengah digulirkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui PT Hitay Tanjung Sakti Energy.

Dalam pernyataannya, tokoh pemuda Ivan Charlie kepada Sumselupdate.com-jaringan Suara.com pada Senin (7/4/2025) memastikan rencana aksi lanjutan yang jauh lebih besar, melibatkan massa dari dua kecamatan dan perwakilan 50 orang dari setiap desa.

Aksi ini, menurutnya, bukan sekadar unjuk rasa biasa, melainkan bentuk penolakan masyarakat yang merasa diabaikan dalam proses pengambilan keputusan.

"Kami siap blokade jalan nasional menuju Tanjung Sakti," tegas Ivan, menandai eskalasi protes yang sebelumnya masih bersifat simbolik.

Baca Juga: Lebaran di OKU Kacau Balau, Banjir Setinggi Lutut Rendam Rumah Warga

Ia menilai, penunjukan PT Hitay Tanjung Sakti Energy untuk melakukan survei pendahuluan merupakan langkah gegabah yang dilakukan tanpa kajian lingkungan secara menyeluruh dan tanpa keterlibatan aktif masyarakat lokal sebagai pihak yang paling terdampak.

Bagi Ivan dan para pemuda di wilayah itu, proyek ini tak hanya berpotensi merusak ekosistem setempat. 

Keputusan Menteri ESDM No. 2906 K/30/MEM/2013 yang memberikan mandat kepada PT Hitay Tanjung Sakti Energy untuk melakukan survei pendahuluan panas bumi di sejumlah wilayah di Sumatera Selatan dan Bengkulu, termasuk Tanjung Sakti, telah memicu gelombang kekhawatiran yang semakin meluas di kalangan masyarakat lokal.

Meski proyek ini dibalut dengan narasi besar tentang pengembangan energi baru terbarukan demi ketahanan energi nasional, warga di garis depan justru merasa menjadi pihak yang paling dirugikan.

“Kami tidak menolak kemajuan, tetapi menolak jika pembangunan dilakukan dengan mengorbankan kehidupan masyarakat,” ujar Ivan, menegaskan bahwa keberatan masyarakat bukanlah bentuk anti-pembangunan, melainkan panggilan untuk keadilan dan keterlibatan yang sejati.

Baca Juga: Ambulans RSUD Kosong Sopir dan BBM, Keluarga Nangis Histeris Urus Jenazah Sendiri

Suasana pertemuan pejabat Pemkab Lahat dan perwakilan PT Hitay Tanjung Sakti Energy. (Foto; Sumselupdate.com/Istimewa)

Bagi Ivan dan warga Tanjung Sakti, pembangunan harus dilakukan secara inklusif, dengan mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan, sosial, dan budaya masyarakat adat yang telah lama hidup berdampingan dengan alam.

Selain merancang aksi unjuk rasa sebagai bentuk perlawanan terbuka, Ivan Charlie juga mengungkapkan bahwa masyarakat Tanjung Sakti akan menginisiasi langkah dialogis melalui forum diskusi kelompok (FGD) yang akan digelar di kantor kecamatan.

Forum ini akan melibatkan berbagai elemen penting, mulai dari perwakilan DPRD, pemerintah desa, tokoh masyarakat, pihak perusahaan, hingga dinas terkait, guna merumuskan sikap kolektif dan rekomendasi resmi yang akan dikirimkan kepada Pemkab Lahat, Pemprov Sumatera Selatan, hingga Kementerian ESDM di Jakarta.

Bagi Ivan, forum ini menjadi ruang penting untuk memastikan bahwa suara masyarakat terdengar secara formal dan bermartabat, bukan sekadar teriakan di jalanan.

Namun ia juga menegaskan, jika hasil FGD ini diabaikan dan aspirasi warga kembali tidak mendapatkan respons yang pantas, maka masyarakat siap melangkah lebih jauh dengan menggelar aksi damai langsung di depan Kantor Bupati Lahat.

Aksi ini dirancang sebagai jembatan suara rakyat menuju pemerintah pusat, agar mereka menyadari bahwa kebijakan energi tidak bisa berjalan tanpa mempertimbangkan keberlangsungan hidup warga yang terdampak.

“Jika tak ada respon, kami akan aksi damai lanjutan dengan kekuatan massa dari dua kecamatan, masing-masing desa mengirim 50 orang. Kami siap blokade jalan nasional menuju Tanjung Sakti,” ujarnya.

Ditambahkan Ivan Charlie, masyarakat menuntut Gubernur, Bupati, Kapolda, dan Kapolres turun langsung ke Tanjung Sakti dan membuat nota kesepakatan bersama untuk menyampaikan penolakan resmi dari 32 desa kepada Kementerian ESDM, agar SK eksploitasi tidak diterbitkan.

“Situasi ini menjadi ujian bagi pemerintah untuk menunjukkan komitmen terhadap prinsip partisipatif dalam setiap proyek strategis, terlebih yang menyangkut hajat hidup dan lingkungan masyarakat adat dan petani di pedesaan,” pungkasnya.

Load More