Scroll untuk membaca artikel
Tasmalinda
Rabu, 02 April 2025 | 16:19 WIB
Sanjo atau bersanjo (silaturahmi) ala Palembang, Sumatera Selatan

SuaraSumsel.id - Di tanah bersejarah Palembang, Sumatera Selatan, tempat Sungai Musi mengalir tenang sebagai saksi zaman, tradisi Besanjo tetap hidup, mengakar kuat dalam denyut kehidupan warganya.

Saat gema takbir mereda dan pagi Syawal menyingsing dengan cahaya penuh berkah, langkah-langkah kecil penuh kehangatan menyusuri lorong-lorong perkampungan.

Dari satu rumah ke rumah lainnya, tangan-tangan saling berjabat, senyum tersungging, dan doa-doa mengalun lirih dalam kebersamaan yang suci.

Bagi warga Palembang seperti Rohalik (67), lelaki sepuh yang rambutnya telah memutih oleh perjalanan waktu, Besanjo bukan sekadar silaturahim biasa, melainkan jejak masa lampau yang terus dijaga.

Baca Juga: Debat Paslon PSU Pilkada Empat Lawang Dipindah ke Palembang, Ada Apa?

Ia percaya, tradisi ini telah ada sejak Palembang berdenyut sebagai kota tertua di negeri ini, diwariskan dari generasi ke generasi sebagai pengikat batin antarwarga.

Usai menunaikan Shalat Id, tanpa aba-aba, penduduk bergegas keluar dari rumah mereka, menyambangi satu sama lain dalam suasana yang sarat akan kehangatan dan persaudaraan.

Seperti arus Sungai Musi yang tak henti mengalir, begitu pula Besanjo, terus menembus waktu, menjaga jiwa Palembang tetap erat dalam bingkai kebersamaan

Namun Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang dalam penelitiannya mengungkapkan terjadi pergeseran nilai budaya dalam tradisi sanjo saat perayaan Idul Fitri.

Tradisi yang dulunya sarat dengan nilai kekeluargaan dan silaturahmi kini mulai berubah seiring perkembangan zaman.

Baca Juga: 7 Alasan Lebaran di Palembang Selalu Spesial dan Penuh Keunikan

Jika dahulu sanjo menjadi momentum sakral untuk saling berkunjung dan mempererat hubungan antargenerasi, kini tradisi tersebut semakin tergerus oleh pola komunikasi modern dan gaya hidup yang lebih individualistis.

Perubahan ini memunculkan pertanyaan besar: apakah sanjo akan tetap bertahan sebagai warisan budaya, atau perlahan terkikis oleh dinamika sosial yang terus berkembang?

Penelitian yang dilakukan oleh Devi Safitri, Dr. Wijaya, M.Si, Ph.D, dan Sofia Hayati, M.Ag mengungkap bahwa modernisasi dan perkembangan teknologi telah mengubah esensi tradisi sanjo, yang dulunya menjadi sarana utama mempererat silaturahmi.

Dengan pendekatan sosiologis melalui observasi, wawancara, dan studi literatur, penelitian ini menyoroti bagaimana nilai-nilai budaya dalam tradisi sanjo mengalami pergeseran dari generasi ke generasi.

Data yang dikumpulkan dari warga Palembang, baik generasi tua maupun muda, menunjukkan bahwa meskipun tradisi ini masih bertahan, cara pelaksanaannya mulai berubah—dari pertemuan langsung yang penuh kehangatan menjadi interaksi yang lebih praktis melalui teknologi digital.

Hal ini menimbulkan dilema budaya: apakah sanjo akan tetap lestari dalam bentuk aslinya, atau beradaptasi dengan pola komunikasi masa kini?

Load More