SuaraSumsel.id - Dewa Laut, yang sering diasosiasikan dengan Dewi Mazu atau Ma Tsu memiliki keterkaitan yang erat dengan kelenteng-kelenteng di Palembang, Sumatera Selatan. Hal ini dinyakini karena sejarah dan kondisi geografis kota tersebut yang dikenal sebagai wilayah maritim dan sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya.
Budayawan Thionghoa asal Palembang, Tjik Harun menjelaskan Dewa Laut memang identik dengan kelenteng di Palembang yang juga ramai dikunjungi saat perayaan tahun baru, Imlek. Hal tersebut dikarernakan sejumlah alasan mengapa Dewa laut identik dengan persembahan di klenteng-klenteng Palembang.
"Karena memang sejarahnya, Dewa atau Dewi Mazu atau Dewi Ma Tzu dinyakini memberikan keselamatan terutama bagi mereka nelayan, masyarakat perairan atau mereka yang berbisnis di bidang tersebut," ujar Harun kepada Suara.com, Rabu (27/1/2025).
Harun menyebutkan Palembang, yang terletak di sepanjang Sungai Musi, memiliki sejarah panjang sebagai pusat perdagangan maritim. Sebagai salah satu kota pelabuhan penting di Nusantara, Palembang menjadi tempat singgah pedagang Tionghoa yang mengandalkan jalur laut dan sungai untuk berdagang. Dewa Laut, khususnya Dewi Mazu, dihormati oleh para pelaut dan pedagang sebagai pelindung perjalanan mereka di laut.
"Di ribuan tahun yang lalu, kepergian masyarakat dari China daratan juga membawa Dewi ini. Di setiap pemberhentian, maka Dewi akan dibuatkan rumahnya, yang bisa sekarang juga ditempatkan di klenteng," ucapnya.
Alasan kedua yakni Sungai Musi menjadi jalur transportasi utama di Palembang. Banyak aktivitas perdagangan dan kehidupan sehari-hari masyarakat, termasuk komunitas Tionghoa, bergantung pada sungai ini. Kehadiran Dewa Laut di kelenteng mencerminkan penghormatan dan rasa syukur atas keselamatan yang diberikan selama menggunakan jalur air.
Dalam budaya Tionghoa, Dewa Laut, terutama Dewi Mazu, dipercaya memberikan perlindungan kepada mereka yang bekerja di laut, seperti nelayan, pedagang, dan pelaut. Kepercayaan ini terbawa oleh komunitas Tionghoa yang bermigrasi ke Palembang, yang sebagian besar bekerja di sektor maritim atau perdagangan.
Kelenteng di Palembang sering menjadi tempat bagi pelaut dan pedagang untuk memohon perlindungan sebelum memulai perjalanan di sungai atau laut. Mereka percaya bahwa Dewa Laut dapat menjaga mereka dari bahaya, seperti badai, tenggelam, atau serangan bajak laut, yang dulu sering terjadi.
Sebagian besar komunitas Tionghoa di Palembang berasal dari suku Hokkian, yang memiliki tradisi kuat dalam menghormati Dewi Mazu. Tradisi ini dibawa ke Palembang dan diwariskan dari generasi ke generasi, sehingga kelenteng-kelenteng di kota ini banyak yang didedikasikan untuk Dewa Laut.
Baca Juga: Kelenteng-Kelenteng Ramai di Palembang Saat Imlek, Simbol Harmoni dan Doa
Dewa Laut tidak hanya dianggap sebagai pelindung, tetapi juga sebagai simbol keberuntungan dan kesejahteraan. Kehadirannya di kelenteng mencerminkan harapan komunitas Tionghoa untuk mendapatkan perlindungan, rezeki, dan hubungan harmonis dengan alam, khususnya air.
"Mereka yang menyembah atau berdoa ke dewa ini, memohon keselamatan di laut. Ada juga pesan penting, agar mereka menjaga lautan, perairan, sebagai sumber kehidupan (ekonomi)," ucapnya.
Kelenteng-Kelenteng dengan Dewa Laut di Palembang
Beberapa kelenteng di Palembang, seperti Kelenteng See Hin Kiong dan Kelenteng Dewi Kwan Im, memiliki altar atau patung yang didedikasikan untuk Dewa Laut. Ritual-ritual khusus untuk menghormati Dewa Laut sering dilakukan, terutama menjelang perayaan besar seperti Tahun Baru Imlek atau saat memulai usaha baru.
Identitas Dewa Laut di kelenteng-kelenteng di Palembang mencerminkan perpaduan antara sejarah maritim, kepercayaan tradisional Tionghoa, dan kehidupan masyarakat yang bergantung pada jalur air. Penghormatan kepada Dewa Laut adalah bentuk penghargaan terhadap elemen alam yang telah memberikan kehidupan dan perlindungan bagi komunitas Tionghoa di Palembang.
Berita Terkait
-
Kelenteng-Kelenteng Ramai di Palembang Saat Imlek, Simbol Harmoni dan Doa
-
Ramai Sambut Imlek 2025: Warga Palembang Berburu Kue Keranjang dan Permen
-
Berburu Promo Imlek di Palembang: Makan Malam Sampai Paket Menginap Spesial
-
Harga Cabai Merah Tembus Rp80.000 per Kilogram di Palembang, Ini Penyebabnya
-
Perayaan Imlek di Palembang: Pesona 10 Klenteng Bersejarah Penuh Tradisi
Terpopuler
- Naksir Avanza Tahun 2015? Harga Tinggal Segini, Intip Pajak dan Spesifikasi Lengkap
- 5 Krim Kolagen Terbaik yang Bikin Wajah Kencang, Cocok untuk Usia 30 Tahun ke Atas
- 7 Rekomendasi Ban Motor Anti Slip dan Tidak Cepat Botak, Cocok Buat Ojol
- 5 Mobil Bekas Senyaman Karimun Budget Rp60 Jutaan untuk Anak Kuliah
- 5 Rekomendasi Bedak Waterproof Terbaik, Anti Luntur Saat Musim Hujan
Pilihan
-
Google Munculkan Peringatan saat Pencarian Bencana Banjir dan Longsor
-
Google Year in Search 2025: Dari Budaya Timur hingga AI, Purbaya dan Ahmad Sahroni Ikut Jadi Sorotan
-
Seberapa Kaya Haji Halim? Crazy Rich dengan Kerajaan Kekayaan tapi Didakwa Rp127 Miliar
-
Toba Pulp Lestari Dituding Biang Kerok Bencana, Ini Fakta Perusahaan, Pemilik dan Reaksi Luhut
-
Viral Bupati Bireuen Sebut Tanah Banjir Cocok Ditanami Sawit, Tuai Kecaman Publik
Terkini
-
Bandara SMB II Siaga Jelang Nataru, Layanan 24 Jam Disiapkan demi Antisipasi Lonjakan Penumpang
-
Bank Sumsel Babel & Pemprov Sumsel Bersatu Bantu Korban di Aceh, Sumut, dan Sumbar
-
Haji Halim Pengusaha Apa? Kekayaan Crazy Rich Palembang Disorot Usai Dakwaan Rp127 Miliar
-
5 Bedak dengan Wangi Nostalgia yang Paling Disukai dari Dulu hingga Sekarang
-
7 Mobil Matic Bekas dengan Biaya Perawatan Transmisi Termurah, Anti Bikin Dompet Kaget