Tasmalinda
Sabtu, 07 Januari 2023 | 21:23 WIB
Rumah warga Palembang terendam banjir [ist]

SuaraSumsel.id - Tepat satu tahun setelah  banjir besar melanda kota Palembang, Sumsel selama 31 tahun terakhir. Awal pekan di tahun 2023 ini, Mualimin Pardi warga Palembang masih mengulang kekecewaan yang sama. Kediamannya kembali kebanjiran saban musim hujan.

Cuaca yang mendung sore hari, membuat Mualimin mengenang banjir yang membuat sumber ilmu pengetahuannya tidak lagi bermanfaat. Kumpulan buku koleksinya hancur akibat bencana ekologis di kediaman sendiri. Banyak buku koleksi mengenai hukum, kemanusian, lingkungan dan keadilan yang diletakkan di ruang khusus di rumahnya sudah tidak bisa lagi dibaca.

Tepat 25 Desember 2021 lalu, banjir besar melanda rumah Mualimin tanpa ada mitigasi, baik informasi intensitas hujan dan lokasi pengungsian lainnya dari Pemerintah. BMKG baru merilis jika banjir yang terjadi bertepatan dengan libur natal tahun lalu ialah banjir dengan intensitas hujan terbesar sejak tahun 1990.

Kekecewaan ini pula yang membuat Mualimin, mewakili masyarakat sipil mengugat Wali Kota Palembang, Harnojoyo. “Saat sidang, saya bawa buku Menggugat Keadilan Ekologis yang sudah hancur. Saya hibahkan buku sekaligus pengetahuan di buku itu, sebagai bagian dari publik yang kecewa pada pemimpinnya,” ujar Mualimin dengan nada sarkasnya kepada Suara.com, Sabtu (7/1/2023).

Baca Juga: Kepergok Mandi di WC SPBU, Tiga Anak Gadis di OKU Sumsel Disekap

Upaya menggugat banjir ke PTUN telah berlangsung selama satu tahun terakhir berujung vonis menyatakan Pemerintah Kota (Pemkot) Palembang  yang terwakilkan Wali Kota Harjoyo bersalah.

Wali Kota Harnojoyo dinilai lalai sekaligus abai dalam menjalankan mitigasi kebencanaan, menciptakan daya dukung, daya tampung lingkungan hidup, sekaligus melanggar penataan tata ruang dan tata wilayah dengan mengalihkan kawasan resapan air.

Meski Wali Kota telah divonis bersalah namun di sore ini, Mualimin masih kecewa. Dia tetap menjadi korban banjir kesekian kalinya meski sudah menggugat Pemda.  Beberapa hari yang lalu, kediaman di kawasan Yuka Sukabangun II Palembang kembali banjir. Hampir sama seperti banjir yang 'dibawanya' ke meja pengadilan.

Mualimin merupakan satu dari tiga warga yang melayangkan gugatan banjir Palembang bersama Walhi, dan LBH Palembang, pada akhir tahun 2021. “Tapi sampai hari ini (awal Januari 2023), saya masih korban banjir. Ini bukan soal nilai gugatan tapi ketidakpatuhan pemerintah akan hukum, melaksanakan vonis dengan melaksanakan 6 tuntutan dalam gugatan,” ujarnya.

Berdasarkan putusan perkara Gugatan Tindakan Faktual Nomor: 10/GTF/2022/PTUN.PLG yang sudah memiliki keputusan hukum tetap maka Pemkot Palembang mewajibkan kepada tergugat Wali kota Palembang menyediakan  Ruang Terbuka Hijau (RTH) 30% dari luas wilayah kota Palembang.

Baca Juga: Tiga Anak Gadis Disekap di WC Toilet SPBU OKU Sumsel, Orang Tua Emosi

Setelahnya, mengembalikan fungsi Rawa Konservasi seluas 2.106,13 Ha sebagai pengendali banjir, menyediakan Kolam Retensi secara cukup sebagai fungsi Pengendalian Banjir serta saluran Drainase yang memadai yang meliputi saluran primer, sekunder dan tersier serta terhubung dengan kolam retensi.

Banjir terus mengepung

Selain rumah  Mualimin, kota Palembang kekinian masih dikepung banjir. Pada awal Desember 2022, hujan mengguyur Palembang selama dua jam, mengakibatkan banjir di sejumlah ruas jalan protokol dan pemukiman.

Ketinggian air minimal 30 centimeter telah mengakibatkan pemukiman penduduk seperti di kawasan Sekip, Bendung, Demang Lebar Daun, Dwikora, Rawa Sari (belakang kampus UIN Raden Fatah Palembang) sekaligus jalan Simanjuntak.

ANTARA menyebutkan ruas jalan yang banjir di antaranya kawasan Soekarno Hatta, Sultan Mahmud Badaruddin II, KM 11, Jalan Jepang, Kecamatan Alang Alang Lebar, Kolonel Berlian, jalan Basuki Rahmat, Jalan Sukamto, Jalan Demang Lebar Daun, Jalan Mayor Ruslan, Bay Salim, dan Jalan protokol Sudirman juga terendam banjir.

Banjir pada awal Desember itu juga  membuat kemacetan lalu lintas seperti saban musim hujan di Palembang. Tidak sedikit kendaraan roda dua dan empat mogok akibat kemasukan air.

“Yang kami gugat, ialah kepentingan publik. Bukan atas nama pribadi, kami pun merasakan bagaimana publik kewalahan dan pelik menghadapi banjir. Bencana itu punya efek ganda pada kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Tentu merugi, jauh lebih besar dari kerugian yang kami gugat. Tidak hanya pengetahuan, aset kendaraan rusak, pendapatan menurun, sampai potensi sakit mental menghadapi macet setiap hujan turun”, beber Mualimin yang keseharian berprofesi sebagai advokat.

Suara.com berusaha merangkum titik banjir di Palembang selama medio tahun 2022. Pencarian lokasi banjir dengan menggunakan aplikasi google map merupakan perangkat digital bersumber dari data terbuka. Selain google map, juga menggunakan google earth yang merupakan layanan globe virtual, guna memetakkan bumi dengan pemetaan satelit, fotografi udara serta globe GIS 3D.

Suara.com merangkum informasi berdasarkan pemberitaan media massa sekaligus perbincangan publik di media sosial instagram dan facebook. Hal ini karena data kawasan banjir dari lembaga Pemerintah daerah, tidak banyak tersedia.

Salah satu yang ditemukan ialah di website Balai Sungai Kementerian PUPR yakni https://sda.pu.go.id/balai/bbwssumatera8/3874-2/, data itu hanya berupa tangkapan pemetaan. 

Sayangnya meski data terbuka, namun tidak banyak informasi sehingga akhirnya lembaga tersebut pun bersedia memberikan informasi dalam bentuk data penanggulangan banjir. Lokasi ini sebenarnya mencerminkan lokasi rawan banjir di Palembang.

Terdapat 38 lokasi yang setidaknya dikatagorikan lembaga tersebut sebagai kawasan rawan banjir berdasarkan data yang dikumpulkan. Data kawasan rawan banjir di Palembang, dapat dilihat di link ini,

https://docs.google.com/spreadsheets/d/1YYAS4m4T4U6d3jZ-DvjaAex8kdRF1w004ybry05JyyM/edit#gid=949423070

Dari data ini, titik rawan banjir dilakukan identifikasi di google map dengan hasil ini,

https://www.google.com/maps/place/SPBU+KM.+12+ROMI+HERTON/@-2.9128847,104.6847769,3a,75y,90t/data=!3m8!1e2!3m6!1sAF1QipOxgPn70ZzpUzAc6JXRU5DGGBHDxjlYKEKJI6_x!2e10!3e12!6shttps:%2F%2Flh5.googleusercontent.com%2Fp%2FAF1QipOxgPn70ZzpUzAc6JXRU5DGGBHDxjlYKEKJI6_x%3Dw114-h86-k-no!7i4160!8i3120!4m5!3m4!1s0x2e3b7367213e4e1d:0xee20cdc6db897bd2!8m2!3d-2.9129635!4d104.6847767

Selain itu juga diformulasikan di google earth dengan hasil tampilannya seperti di bawah ini.

Titik-titik banjir di Palembang [Google Earth]

Pada aplikasi yang sama, bisa dibandingkan tampilan kawasan banjir pada tahun 2022 dengan  pada tahun 1985, terdapat pembukaan kawasan yang luas, termasuk kawasan aliran sungai dan anak sungai di Palembang.

Google earth Palembang pada tahun 1985 [instagram]

Dari analisis yang dilakukan diperoleh kesimpulan pemetaan yakni, kota Palembang kerap dikepung banjir karena banyak kawasan yang menghambat ruang bagi air hujan mengalir ke saluran primer, seperti anak-anak Sungai Musi.

Situasi ini yang mengakibatkan saban musim hujan, Palembang akan selalu banjir. Bencana ekologi banjir (genangan) disebabkan karena penyumbatan air mengalir ke saluran primer, hingga mengalir ke saluran primer, ruang yang membawa air ke anak Sungai Musi atau ke Sungai Musi yang hilang. 

Hujan kemudian mengepung hampir sebagian besar wilayah meski kota Palembang berada di pesisir Sungai Musi sekaligus dikelilingi anak-anak Sungai Musi.


Hampir 404,19 Ha Rawa dan RTH Palembang Dialihfungsikan

Manager Program Perkumpulan Lingkar Hijau, M. Arif mengungkapkan bencana ekologis, banjir di Palembang sudah bisa diprediksi sejak lama. 

Lembaga ini mendasarkan hasil riset Program Jurnalisme Data Kompas, 24 Agustus 2021 yang menyebutkan Palembang, menjadi satu dari tujuh kota di Indonesia dengan kerentanan tinggi atas krisis iklim yakni naiknya permukaan air laut.

"Pemkot Palembang juga telah membahas dengan DPRD sekaligus merevisi RTRW seakan menjadi proyek proyek perusakan Rawa dan Ruang Terbuka Hijau (RTH)," ujarnya belum lama ini.

Berdasarkan analisis peta dengan menggunakan Peta tata ruang Kota Palembang 2012-2032, dan pencitraan jarak jauh serta pengecekan lapangan sedikitnya 207 kasus kejahatan tata ruang terhadap Perda RTRW Kota Palembang 2012-2032 berupa alih fungsi RTH dan Rawa konservasi maupun rawa budidaya yang diduga menjadi kawasan industri, seperti industri properti/perumahan, hotel, showroom mobil, peternakan dan industri lainnya yang tersebar di 13 Kecamatan, 25 Kelurahan di kota Palembang. 

Dengan aktivitas itu, alih fungsi lahan RTH dan Rawa telah mencapai 404,19 hektar dengan analisis data sejak 2014 - 2021.

Dia menjelaskan kondisi ini sebagai kejahatan lingkungan yang bisa dijerat pelanggaran tata ruang, seperti peraturan Perda Nomor 11 Tahun 2012 tentang Rawa, Perda Nomor 15 Tahun 2012 tentang RTRW kota Palembang 2012 - 2032, UU 26 tahun 2007 tentang tata ruang dan juga undang undang 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup khususnya terkait Amdal dan Izin Lingkungan.

“Pemerintah, industri properti dan lainnyajelas-jelas telah pengalihan rawa dan RTH sebagai bentuk kejahatan tata ruang yang seharusnya juga mengganti kerugian publik,” ujarnya.

Wawako Fitrianti Agustinda sempat mengungkapkan setidaknya Palembang memiliki 200 titik penyumbatan pemicu banjir. Salah satu penyebab ialah bangunan yang menutupi aliran sehingga mengakibatkan saluran sungai mengecil.

Pelanggaran Perda Rawa yang Konsisten

Senada dikatakan Pengamat Lingkungan Kota, Taufik Anwar yang menilai akar persoalan dari banjir ialah Pemerintah yang tidak patuh pada Perda Rawa. Hal ini membuat masyarakat berasumsi diperbolehkan menimbun rawa asalkan membayar retribusi ke Pemda.

“Ini yang saya kritik dari Pemerintah, mendudukkan persoalan hanya sebatas membayar pajak retribusi tanpa adanya pembangunan berwawasan lingkungan,” ujarnya.

Apalagi Pemerintah cenderung meninjau lokasi banjir hanya saat terjadi banjir. “Jika sudah banjir baru menelusuri penyebab banjir, jika sudah surut maka tidak dilakukan. Maka tidak ada penanganan lebih lanjut, pada intinya air yang jatuh dari langit itu (hujan) butuh daerah resapan yang membawanya ke sungai dan anak-anak sungai,” sambung dia.

Sejatinya sifat air yang mencari wilayah lebih rendah memerlukan wilayah resapan lebih banyak. Air perlu mengalir sehingga tidak mengenang lagi. “Butuh saluran mengantarkannya ke wilayah lebih rendah agar bukan jadi genangan (banjir),” imbuh Taufik.

Ibarat mengharuskan air cepat kembali ke sungai, Pemkot Palembang lebih yakin dengan upaya pompanisasi guna mengatasi banjir.

Sekda Palembang, Ratu Dewa mengatakan perlu adanya penambahan pompa guna mendorong air sampai ke lokasi seharusnya. Karena itu, Pemerintah tengah menyusun anggaran lanjutan guna pembelian sejumlah pompa bagi kawasan rawan banjir Palembang.

Selain pompa, Sekda Ratu Dewa baru menyebutkan membutuhkan pembangunan kolam retensi guna menekan resiko banjir selama musim hujan.

Melansir ANTARA, Ratu Dewa mengutip kajian Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Penelitian dan Pengembangan kota Palembang, yang menyebutkan setidaknya Palembang membutuhkan 20 kolam retensi. 

Palembang kekinian baru memiliki tujuh kolam retensi yang juga perlu penataan dan pengerukan rutin. Jika menghitung kebutuhan tersebut, pertanyaannya ialah apakah Palembang memiliki lahan yang cukup guna membangun 20 kolam retensi seiring pembangunan properti makin pesat di kawasan rawa yang berfungsi sebagai daerah resapan air.

Load More