Scroll untuk membaca artikel
Tasmalinda
Senin, 21 Februari 2022 | 19:20 WIB
Perajin tempe di Palembang, Sumatera Selatan [Suara.com/Welly JT]

SuaraSumsel.id - Harga kedelai yang mahal mencapai Rp11.500 membuat para pengerajin tahu tempe di  kota Palembang,.Sumatera Selatan pusing.  Salah satu siasat agar tidak terlalu merugi, para pengerajin mengecilkan ukuran tempe. 

Langkah mengurangi ukuran itu dilakukan pengerajin tempe di Jalan Macan Lindungan, Kota Palembang, Ismail. Jika biasanya, ukuran tempe yang dibuatnya sebesar telapak tangan orang dewasa namun saat harga kedelai mahal, maka ukuran produksi menyusut.

"Waktu harga kedelai murah , ukuran rumayan besar. Tapi untuk sekarang tidak karena harga kedelai yang sangat mahal. Jadi mau tidak mau ukuran tempe diperkecil agar pengerajin tempe tetap memproduksi tempe," katanya,Senin (21/2/2022). 

Selain ukuran tempe yang diperkecil, Ismail juga mengurangi jumlah produksi tempenya. Sebelumnya menggunakan 200 kg kedelai sehari, namun saat ini hanya 180 kg per hari. 

Baca Juga: Dilema Perajin Tahu Tempe di Sumsel: Tetap Produksi Meski Kedelai Mahal, demi Pertahankan Usaha

"Ukuran diperkecil dan jumlah produksi juga tidak banyak namun harga tidak naik. Saya menjual tempe ke pasar Jakabaring dengan harga Rp2.000," ujarnya.

Ismail sudah lama menjadi pengerajin tempe di kota Metropolis ini.

Di saat harga kedelai naik ia juga harus bertahan dengan berbagai cara, dengan tetap memproduksi tempe. "Dengan seperti ini kita tetap bertahan dan harus pintar - pintar kalau tidak seperti ini bagaimana mau bertahan ," akunya.

Senada dengan Abdul Hamid pengerajin tempe di kota Palembang lainnya yang juga memaksa memutar otak agar produksi tetap laku di pasaran.

"Jika harga kedelai terus melonjak hingga Rp11.500 per kilogram, maka produsen tempe harus mengurangi produksi. Yakni dari 150 kilogram per hari kini menjadi 140 kilogram per hari," katanya.

Baca Juga: Prakiraan Cuaca 21 Februari 2022, Sumsel Bakal Berawan dari Pagi hingga Dini Hari

"Ini agar tidak mengalami kerugian lebih besar. Kita terpaksa mengurangi produksi sekitar 10 kilogram karena kedelai mahal. Sebab kalau kualitasnya dikurangi atau harganya dinaikkan orang tidak akan beli," ungkapnya.

Ia menuturkan, hingga saat ini, belum ada bahan utama pengganti kedelai untuk pembuatan tempe. "Alternatif saat ini belum ada, kami mau saja kalau kacang tanah bisa digunakan kami gunakan, tapi ini tidak bisa, hanya kedelai itulah satu- satunya," pungkasnya. 

Dinas Perdagangan Sumatera Selatan (Disdag Sumsel) meminta produsen tempe untuk menyesuaikan produksi tempe dengan harga kedelai yang makin melejit.

"Biasanya kalau (kenaikan harga) kedelai, pedagang cepat menyesuaikan diri dengan mengurangi ukuran produksi seperti mengurangi ukuran tempe," ujar Kepala Disdag Sumsel, Ahmad Rizali. 

Kenaikan harga kedelai bukan hal baru dan bukan pertama kali dihadapi para produsen tempe. Sehingga produsen tempe sudah terbiasa dan dianggap mampu cepat beradaptrasi dengan kondisi yang ada.

"Sulitnya mengendalikan harga kedelai tidak lepas dari ketergantungan impor kedelai yang tinggi sementara produksi dalam negeri tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan produksi," katanya.

Saat ini pemerintah daerah juga sedang mencari solusi untuk mengendalikan tingginya harga kedelai. Yakni upaya subsidi yang menjadi salah satu skema dalam pertimbangan menekan harga penjualan kedelai.

“Sedang dicari skema subsidinya. Tidak seperti minyak goreng, skema subsidi kedelai ini lebih susah karen bahan bakunya impor. Mungkin subsidinya dari bea impor," ujarnya.

Load More