Scroll untuk membaca artikel
Wakos Reza Gautama
Senin, 17 Januari 2022 | 15:20 WIB
ilustrasi petani sadap karet. Pabrik karet di Sumsel impor bahan baku olahan karet karena kekurangan pasokan dari petani. [ANTARA]

SuaraSumsel.id - Sejumlah pabrik karet di Sumatera Selatan mengalami kekurangan bahan baku berupa bahan olahan karet (bokar). Kondisi ini membuat pabrik-pabrik karet mengimpor bokar dari luar negeri. 

Impor bahan baku olahan karet ini berasal dari Vietnam,Myamar hingga negara dari Afrika. Kondisi ini terjadi di Sumsel sudah sejak pertengahan 2021. 

Ketua Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Sumatera Selatan Alex K Eddy mengatakan, impor diambil karena pabrik kesulitan mendapatkan pasokan bahan baku dari petani.

“Ini terpaksa mereka (pengusaha pabrik karet) lakukan demi menjaga kelangsungan bisnis, supaya tidak tutup,” kata Alex, Senin (17/1/2022) dikutip dari ANTARA.

Baca Juga: Viral Penemuan Nisan Kuno di 16 Ilir, Ini Hasil Pertemuan Tim Arkeolog Palembang dengan Waskita Karya

Alex mengatakan untuk tetap bertahan, pabrik karet harus mendapatkan pasokan bahan baku yang cukup sesuai dengan kapasitas terpasang dari mesin olahan bokarnya.

Sejauh ini, rata-rata pabrik karet di Sumsel hanya mampu memanfaatkan 50-60 kapasitas terpasang.

“Pabrik dengan kapasitas sedang yakni 10.000 ton per bulan, bisa dikatakan sudah bagus jika mereka bisa mengolah 6.000 ton per bulan. Yang sulit ini pabrik dengan kapasitas 15.000 ton per bulan, terkadang hanya bisa mengolah 9.000 ton per bulan,” kata dia.

Kondisi ini membuat tak banyak pabrik yang mampu bertahan, bahkan Gapkindo Sumsel mencatat terdapat dua pabrik berkapasitas 6.000 ton per bulan sudah gulung tikar. Padahal dua pabrik itu masing-masing memiliki tenaga kerja sekitar 200 orang.

Sebagian perusahaan terpaksa memutar otak, mulai dari mengimpor pasokan bahan baku dari luar negeri, efisiensi pabrik, hingga mengurangi ship kerja karyawan.

Baca Juga: Ekonomi Domestik Makin Membaik, Impor Desember 2021 Naik 21,36 Miliar Dolar AS

Untuk impor bokar ini, negara tidak melarang perusahaan pemilik pabrik karet melakukannya asalkan ketika diekspor sudah dalam bentuk karet spesifikasi teknis (TSR).

“Dengan begini saja masih sulit untuk bertahan. Bisa dikatakan untung sangat tipis sekali,” ujar dia.

Tapi ini menjadi pilihan pengusaha demi menghindari kerugian yang lebih besar yakni pinalti atas kontrak kerja dari pihak pembeli lantaran tak mampu memenuhi kewajiban.

Jika ini terjadi maka dipastikan buyer (pembeli) akan berpindah ke perusahaan lain, yang mungkin ada di negara lain karena saat ini bukan Indonesia saja yang mengandalkan komoditas karet.

Terkait ini, Gapkindo telah menyampaikan ke pemerintah untuk meminta solusi atas permasalahan ini demi menjaga keberlangsungan sektor perkebunan karet.

Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Selatan Rudi Arpian mengatakan produksi karet Sumsel mengalami penurunan dari 1,1 juta ton pada 2020 menjadi hanya 900.000 ton pada 2021.

Penurunan ini diperkirakan disebabkan tiga faktor yakni menurunnya produktivitas kebun karena sudah berusia tua (belum diremajakan), menurunnya gairah petani untuk memanen karena harga yang rendah, hingga pengalihfungsian lahan karet menjadi lahan sawit.

Saat ini harga karet di tingkat petani yang dijual melalui Unit Pengolahan dan Pemasaran Bokar Rp12.000 per kg untuk masa pengeringan satu minggu atau KKK 60 persen.

Sementara jika menjual ke tengkulak, petani hanya mendapatkan harga sekitar Rp10.000 per kg hingga Rp8.000 per kg.

“Kami melihat persoalan harga ini yang membuat petani malas menyadap (memanen), karena umumnya mereka juga hanya buruh yang menerapkan sistem bagi hasil dengan pemilik lahan,” kata Rudi.

Beragam upaya dilakukan pemerintah, menurut Rudi, di antaranya meningkatkan serapan dalam negeri agar harga karet dapat terkerek naik atau tidak tergantung pasar internasional. (ANTARA)

Load More