Scroll untuk membaca artikel
Tasmalinda
Selasa, 28 Desember 2021 | 16:01 WIB
Tanaman nyamplung di Desa Peringgi Talang Nangka, OKI Sumsel [Suara.com/Tasmalinda]

SuaraSumsel.id - Tanaman nyamplung baru dikenalkan di Sumatera Selatan. Dibudidayakan di lahan basah sebagai bagian merestorasi gambut rusak menjadi asa energi nabati yang dikembangkan dengan konsep agroforesty.

Lahan yang dikelola H Nungcik, pernah terbakar besar di tahun 1997. Saat itu, lahan gambut itu kerap terbakar saat musim kering.

Di tahun 2015 lalu, lahan seluas lebih dari 3 hektar (ha) kembali terbakar, meski sudah dikelola dengan menanam padi sonor atau padi semai.

H Nungcik adalah warga asli Desa Peringgi Talang Nangka, Pangkalan Lampam, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) yang menjadi saksi bagaimana lahan-lahan gambut kerap terbakar di wilayah tersebut.

Baca Juga: Ditantang Maju di Pilgub Sumsel, Ketua Demokrat Cik Ujang: Harus Hitung Kalkulasi

Diakuinya, aktivitas membakar lahan karena ingin membersihkan atau membuka kembali saat budidaya padi sonor. Sistem tanam padi dengan satu kali panen setiap tahunnya ialah satu-satunya usaha produksi yang dilakukan di lahan bergambut dalam tersebut.

Usai panen, petani cenderung membakar saat air gambut mengering. Selain karena ketiadaan alat produksi yang memadai di lahan gambut, pilihan membakar juga untuk menekan biaya produksi. Mengingat hasil panen hanya satu kali dalam setahun bertanam.

Selain padi sonor, masyarakat mengoptimalkan tanaman purun. Komoditas purun ini dikelola menjadi tikar dan kerajinan yang dijual di desa. Sayangnya, produksi purun juga tidak berkesinambungan.

Tanaman nyamplung di Desa Peringgi Talang Nangka, OKI Sumsel [Suara.com/Tasmalinda]

“Dari lahan gambut ini, kami menanam padi dan mengambil purun. Hanya itu nilai yang bisa dioptimalkan,” aku Nungcik saat ditemui akhir pekan lalu.

Untuk satu hektar lahan, hanya menghasilkan 3-4 ton beras dari padi semai, namun produksinya bisa tidak menentu karena sangat tergantung pada cuaca. Produksi padinya dikonsumsi untuk kebutuhan keluarga dan dijual.

Baca Juga: Palembang Diguyur Hujan Sore Ini, Berikut Prakiraan Cuaca Sumsel 28 Desember 2021

Sementara produksi purun, bisa menghasilkan sekitar 10 lembar tikar dalam beberapa bulan. Produksi purun pun dijual dengan harga pasaran Rp60.000 per lembar tikar.

Diakui Nungcik, ia dan beberapa warga lainnya kerap bingung untuk mengoptimalkan lahan gambut. Dengan karakter lahan yang berbeda dengan lahan Talang, gambut membutuhkan perlakuan khusus, dalam menjaga keasaman air atau lahan.

Nungcik akhirnya terlibat dalam sebuah program penelitian Universitas Sriwijaya atau Unsri bersama dengan lembaga CIFOR.

Penelitian ini mengenalkan ragam tanaman kayu, seperti Belangeran (Shorea balangeran), Jelutung (Dyera lowii), Bintaro (Cerbera Manghas), Meranti swamp (Shorea pauciflora), Perepat (Combretocarpus rotundatus), and Medang maras (Blumeodendron kurzii),

Untuk jenis tanaman Nyamplung, Nungcik mengakui baru mengenalnya. Tanaman yang dikenalkan dengan banyak manfaatnya tersebut juga disebut sumber energi nabati. “Nyamplung memang baru kenal, pernah diceritakan ditanam di Pulau Jawa, dan Kalimantan. Di Sumsel, baru di desa saya ini,” akunya.

Nungcik makin mendapatkan informasi mengenai tanaman Nyamplung ini. Diakuinya, menanam tanaman Nyamplung adalah bagian dari mengoptimalkan lahan gambut dalam miliknya.

Petani Desa Peringgi Talang Nangka, OKI Sumsel kembangkan nyamplung [Suara.com/Tasmalinda]

Selain tanaman hutan, dalam konsep agroforestry yang dikenalkan juga terdapat tanaman musiman lainnya, seperti tanaman nanas dan masih menanam padi.

Selain tanaman, di lahan gambut seluas 3 hektar (Ha) itu juga dikembangkan perikanan.

Nungcik di lahan gambutnya, juga membuka kolam-kolam ikan. Jenis ikan yang dibudidayakan juga mulai dari ikan Lele, sekaligus ikan endemik gambut seperti ikan Tembakang, Ikan Betok, hingga ikan Gabus.

“Untuk kolam ikan, pernah coba ikan Gurami, namun tidak maksimal. Butuh pengelolaan kadar asam air, akhirnya coba ikan yang memang biasa ditangkap (bekarang), seperti ikan Gabus dan Betok,” katanya.

Sebelum memulai membuka kolam ikan, memang dibutuhkan perlakuan seperti menambahkan senyawa kapur agar air gambut tidak terlalu asam untuk budidaya ikan.

“Saya akhirnya banyak mengetahui berbagai perlakuan pada lahan gambut, terutama gambut dalam. Misalnya mengkondisikan gundukan sebagai lokasi tanam, misalnya bagaimana ketinggian gundukan yang pas buat tanaman Nyamplung, dan tanaman lainnya,” ujarnya.

Ditemani dengan Sumatri, yang juga menjadi bagian dari komunitas Gambut yang melibatkan anak-anak muda di desa tersebut, diperoleh banyak potensi dan kemungkinan pembudidayaan tanaman di lahan basah.

Petani Desa Peringgi Talang Nangka, OKI Sumsel kembangkan nyamplung [Suara.com/Tasmalinda]

Dikatakan Sumantri, lahan milik Nungcik merupakan satu-satunya lahan percontohan di desa. Namun dari lokasi ini, masyarakat desa juga makin tertarik mencontoh bagaimana gambut bisa dimaksimalkan.

“Nantinya, bakal ada pengembangan nyamplung dengan mangga, ada juga nyamplung untuk produksi madu,” ujarnya.

Pengenalan menanam nyamplung ini tergolong baru untuk lahan gambut (peatland). Pada umumnya, tanaman hutan ini ditanam di tanah mineral atau lahan-lahan pesisir pantai sebagai penahan angin.

“Bisa dikatakan yang di lahan gambut ini, trial bagaimana nyamplung sebagai tanaman untuk restorasi gambut. Tujuan awalnya ialah mengoptimalkan lahan gambut yang kerap terbakar, sehingga juga tidak hanya bisa padi sonor dan purun,” ujar Peneliti CIFOR, Yustina Artati saat dihubungi Suara.com, Selasa (21/12/2021).

Mulanya pengenalan tanaman ini, ialah upaya restorasi yang merupakan upaya memperbaiki sekaligus meningkatkan produktivitas lahan yang rusak. Restorasi gambut gambut untuk meningkatkan produktivitas lahan gambut yang terdegradasi sekaligus sebagai usaha preventif terjadinya kebakaran hutan dan lahan atau karhutla.

“Sehingga Nyamplung ini benar-benar, komoditas baru yang dikenalkan di masyarakat Sumsel, dan baru diuji coba ditanam di lahan gambut. Karena kan selama ini, gambut dikenal hanya tanaman musiman, seperti padi dan buah, jika nyamplung ini berupa tanaman kayu, atau kehutanan,” terangnya.

Di Pulau Kalimantan, tanaman nyamplung sudah dicuba di lahan gambut lebih dahulu. Plot penelitian uji coba tanaman bioenergi di Desa Buntoi, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah

Di lokasi ini, ada bioenergi species, yaitu Nyamplung, Kemiri Sunan, Kaliandra dan Gamal yang juga ditanam pada lahan gambut yang sama, salah satunya tanaman Nyamplung.

Selain di Pulang Pisang, tanaman Nyamplung juga ditanam di Kalampangan, Palangkaraya. Namun di dua lokasi ini, tanaman Nyamplung berasal dari dua indukan tanaman yang berbeda.

Dari hasil penanaman yang dilakukan sejak tahun 2016, tanaman Nyamplung mampu hidup di lahan gambut di Pulau Kalimantan. Kemampuan hidup (survival rate) mencapai 90 persen. “Dari uji coba ini, Nyamplung bisa dikatakan tumbuh di lahan gambut dengan kriteria gambut di Pulau Kalimantan,” ujarnya.

Untuk di Desa Perigi Talang Nangka, Pangkalan Lampam Sumatera Selatan ini, biji Nyamplung berasal dari Dompu, Nusa Tenggara Barat. Benih ini berbeda dibandingkan tanaman Nyamplung yang sudah terlebih dahulu di tanam di Pulau Kalimantan. Selain Nyamplung, juga ditanam delapan varietas hutan lainnya di lahan gambut tersebut.

Tanaman Nyamplung di Sumatera Selatan mulai ditanam pada awal tahun 2018 lalu. Berdasarkan perkembangannya, diketahui kemampuan hidupnya lebih tinggi dari uji coba tanaman Nyamplung di Pulau Kalimantan, yakni di atas 90 persen.

Selain sudah mampu beradaptasi di lahan Gambut, plot penelitian yang bekerjasama dengan Universitas Sriwijaya (Unsri) masih harus membuktikan proses generatif tanaman Nyamplung-nya.

Jika dibandingkan di Kalimantan,Nyamplung mulai berbunga atau berbiji di tahun keempat. Sementara di Sumatera Selatan, baru berusia tiga tahun.

“Penelitian ini mulanya, bagaimana menentukan komoditas yang sesuai untuk restorasi/pemulihan lahan gambut yang sudah rusak (terdegradasi) gambut, sehingga dicoba beberapa jenis tanaman, termasuk tanaman kayu atau kehutanan seperti Nyamplung. Saat ini, tinggal menunggu proses generatifnya,” katanya.

Tanaman Nyamplung di Pulau Kalimantan sudah ada yang memperlihatkan perkembangan generatif seperti muncul buah dan bunga.

“Untuk lahan gambut memang beda, karena unsur nutrisi rendah. Butuh waktu lebih dari 3 tahun untuk berbuah atau berbunga, jika berdasarkan pengalaman di Pulau Kalimantan,” imbuhnya.

Selain berpotensi untuk restorasi lahan gambut, tanaman Nyamplung juga menjadi sumber energi nabati yang sudah lebih dahulu diproses menjadi biofuel. 

Petani Desa Peringgi Talang Nangka, OKI Sumsel kembangkan nyamplung [Suara.com/Tasmalinda]

Tanaman Nyamplung menjadi salah satu tanaman sumber energi nabati yang dikembangkan di Sumatera Selatan, setelah tanaman Jarak.

Peneliti ahli utama Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Budi Leksono mengatakan nyamplung di Sumatera Selatan tengah diuji coba di lahan gambut. Selain memperbaiki kerusakan sekaligus mampu menjadi bahan bakar nabati selain tanaman sawit.

Potensi bahan bakar nabati Nyamplung sebenarnya berpotensi di seluruh Indonesia, terutama di lahan kritis. Kelebihan tanaman Nyamplung di antaranya produksi buah yang banyak, mampu berbuah sepanjang tahun, sekaligus rendemen minyak tinggi antara 30=74 persen sekaligus limbahnya bisa didaur ulang.

Dalam webinar daring yang diselenggarakan Mongabay Indonesia dan Yayasan Madani Berkelanjutan, belum lama ini, Nyamplung diceritakan sudah mampu menghasilkan minyak yang berkualitas serta pernah diuji coba pada kendaraan.

“Di Sumsel ini, Nyamplung ditanam di lahan-lahan gambut yang pernah terbakar dan tentu mengalami degradasi, yang kemudian harus dipulihkan. Tanaman Jarak dan Nyamplung, sama-sama sumber energi nabati, namun Nyamplung lagi diuji coba ditanam di lahan gambut kritis, dengan tujuan manfaat lainnya,” tutupnya.

Ke depan, Unsri juga bisa bekerjasama dalam pengembangan produk turunan, saat produksi tanaman Nyamplung sudah bisa dipanen pada lahan gambut penelitiannya.

-----------------------------------------------------------------------

Liputan ini program Fellowship yang diselenggarakan oleh Yayasan Madani Berkelanjutan dan Mongabay Indonesia

Load More